tirto.id - Mungkin berlebihan jika menyebut pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini memasuki senja kala. Namun apa daya, kenyataan yang terjadi sepanjang tahun ini sulit untuk tak menyebut demikian. Korupsi masih ditemui di sana-sini, di banyak lembaga dan sektor lini.
Seakan bukan habis tercerabut, korupsi justru laten membumi dan menggurita di pelbagai lapisan. Deretan kasus yang terkuak belakangan ini, dapat menjadi gambaran betapa korupsi di Indonesia sudah terjadi di banyak tempat.
Teranyar, kasus dugaan korupsi yang menyeret Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba, menambah panjang daftar pimpinan daerah yang tersandung rasuah. Ghani diduga cawe-cawe dalam penentuan kontraktor yang hendak dimenangkan pada sebuah proyek. Duit sebanyak Rp2,5 miliar jadi bukti awal untuk memperkarakan dia.
Kongsi jahat antara pimpinan atau pejabat daerah dengan pihak perusahaan seolah-olah jadi rahasia umum. Deretan kasus korupsi yang menyandung pimpinan daerah marak bertalian ihwal pemenangan proyek atau kepentingan izin usaha. Keadilan dan etika pemimpin yang jujur dan memihak masyarakat, murah dilelang demi kepentingan para pemodal.
Tentu bukan cuap kosong belaka jika korupsi menginfeksi pelbagai lapisan lembaga, bahkan di badan penegak hukum sendiri. Baru-baru ini, operasi tangkap tangan menyikat pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Sorong, Papua. Kasus ini diduga menyeret pimpinan BPK yang kantornya ikut disegel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu, operasi tangkap tangan penegak hukum juga terjadi di Bondowoso, Jawa Timur. KPK menciduk Kepala Kejaksaan Negeri Bondowoso, Puji Triasmoro, dan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Bondowoso, Alexander Kristian Diliyanto Silaen. Jangan lupakan juga kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Di lembaga eksekutif, korupsi tak luput hinggap di meja para pimpinan kementerian. Teranyar, KPK menetapkan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi. Selain itu, perkara korupsi di proyek BTS Kominfo juga membuat geger publik karena menyeret bekas Menkominfo Johnny G Plate sebagai terdakwa.
Pusaran perkara proyek BTS bahkan memancar jauh menjerat berbagai aktor licik dari pemerintah serta swasta. Lebih lanjut, diduga ada aliran dana yang sampai ke kantong sektor legislatif. Kasus ini sendiri masih terus bergulir dan belum lengkap terkuak.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tibiko Zabar, menyatakan 2023 ini belum ada kemajuan dari pencegahan dan pemberantasan korupsi. Kasus-kasus korupsi tahun ini bahkan justru makin tampak terang dalam berbagai bentuk.
“Praktik ugal-ugalan korupsi, konflik kepentingan, peningkatan harta tak wajar, penyimpangan hukum oleh penegak hukum, hingga tindakan rasuah yang menimbulkan kerugian keuangan negara terjadi dan saling bertautan satu sama lain,” kata Tibiko dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/12/2023).
Tibiko menilai, penegakan hukum kasus korupsi juga belum dapat memberikan efek jera bagi koruptor. Masih minim tindakan tegas untuk kasus pidana pencucian uang hingga sekarang, instrumen perampasan aset juga tak kunjung dibahas dan disahkan oleh DPR.
“Terlebih, dalam konteks kasus korupsi oleh pembantu Presiden Jokowi ada kasus yang terkait dengan kebutuhan publik akan akses informasi dan jaringan internet terjadi. Tentu hal itu sangat memilukan,” ucap Tibiko.
Firli Bahuri dan Redup KPK
Episentrum korupsi yang menyita perhatian publik justru terjadi di KPK sendiri. Ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi oleh Polda Metro Jaya. Ironi ini berkaitan dengan penanganan kasus korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) oleh KPK, yang menjerat bekas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Firli sendiri tampaknya semakin terdesak. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak praperadilan yang diajukan Firli atas penetapan tersangka dirinya. Dewan Pengawas KPK juga menyatakan Firli melanggar kode etik dan perilaku, karena terbukti melakukan pertemuan dengan SYL yang tengah berperkara.
Pensiunan polisi jenderal bintang tiga itu juga mengajukan pengunduran diri sebagai Ketua KPK kepada Presiden Jokowi. Tampaknya, tinggal menunggu waktu sampai kepolisian menyeret Firli ke dalam bui. Hal yang kencang didesak oleh para pegiat antikorupsi untuk segera dilakukan pihak polisi.
“Firli Bahuri jadi sejarah kelam yang mencoreng pemberantasan korupsi di Indonesia. Ibarat mimpi buruk jadi nyata, sejak awal sebetulnya telah banyak laporan dugaan pelanggaran etik bahkan pidana oleh yang bersangkutan,” ujar Tibiko.
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah alias Castro, menilai kasus pidana yang menyandung Firli membuktikan pelemahan KPK betul terjadi. Dia menyatakan, KPK ibarat dihancurkan dari luar dan dibunuh dari dalam.
“Undang-Undang (KPK) direvisi di luar, dan orang-orang bermasalah disimpan dalam KPK. Penetapan Firli sebagai tersangka itu, sejarah terburuk KPK sejak kelahirannya,” ujar Castro dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/12/2023).
Maka tidak menjadi heran menyebut performa KPK mengalami longsor. Hal ini bisa dilihat dari turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dengan skor 34 dibanding tahun sebelumnya, dengan nilai 38. Castro menyatakan, hal Ini membuktikan strategi KPK yang berfokus di pencegahan korupsi justru tidak berjalan efektif.
“Dan skor sangat ditentukan kinerja KPK sebagai leading sector. KPK berkinerja buruk, maka buruk pula skor IPK kita,” kata Castro.
Kinerja KPK yang merosot juga terekam dari tingkat kepercayaan yang semakin terkikis di masyarakat. Survei CSIS teranyar periode 13-18 Desember 2023 mencatat, KPK berada di urutan kedua dari bawah dalam daftar tingkat kepercayaan publik pada lembaga negara.
Sebanyak 40,1 persen responden tidak percaya KPK, dan ada 58,8 persen responden yang mengaku percaya. KPK hanya satu tingkat di atas DPR sebagai lembaga dengan tingkat kepercayaan paling rendah, dari sembilan lembaga negara yang disurvei.
Masih dalam survei yang sama, ketidakpuasan masyarakat atas kinerja pemerintah saat ini dalam pembenahan korupsi tergolong tinggi. Sebanyak 50,3 persen responden mengaku tidak puas terhadap pemerintah Jokowi dalam mengurangi angka korupsi. Adapun 48,4 persen responden lain mengaku puas atas kinerja pemerintah mengurangi korupsi saat ini.
“Tidak ada harapan lagi di KPK, setidaknya bagi saya. Kalau sapunya kotor, ya sulit berharap apa-apa, ini yang membuat public trust melemah,” tegas Castro.
Urgensi Pembenahan KPK
Lemahnya performa menandai urgensi pembenahan yang radikal dalam tubuh KPK. Sejumlah pegiat antikorupsi lantang menyerukan agar Undang-Undang KPK dikembalikan seperti sebelum direvisi. Revisi UU dinilai menjadi akar mandulnya performa lembaga antikorupsi karena menghilangkan independensi dan muruah KPK sebagai penggebuk koruptor.
Ketua IM57+ Institute, M Praswad Nugraha, menyatakan langkah awal penguatan kembali lembaga antikorupsi harus dilakukan dengan mengganti pucuk pimpinan seluruhnya. Hal ini dilakukan untuk kembali menarik kepercayaan publik yang semakin terkikis.
Selain itu, kata dia, jangan ada intervensi politik dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hal ini agar pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan menjunjung tinggi independensi.
“Sehingga tidak dijadikan alat gebuk politik sekaligus melindungi kepentingan tertentu,” kata Praswad kepada reporter Tirto.
Dia menambahkan, pemerintah juga harus menjamin perlindungan bagi pegiat antikorupsi. Langkah tersebut dinilai menjadi prasyarat agar peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi bisa ikut dihadirkan.
“Pada kasus Firli, menjadi penting menggunakan momentum ini untuk merestart KPK sehingga menjadikan KPK sebagai lembaga independen kembali,” ujar Praswad.
Senada, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman, menilai kinerja KPK akhir-akhir ini jauh dari harapan. Ditambah, pemerintah dan DPR justru minim dalam memberikan dukungan penguatan pemberantasan korupsi yang marak terjadi.
“Negara perlu menyediakan instrumen pemberantasan korupsi yang efektif dengan mengesahkan RUU perampasan aset, RUU pembatasan transaksi uang kartal, dan mengkriminalisasi illicit enrichment dalam Undang-Undang Tipikor,” kata Zaenur kepada reporter Tirto, Rabu (27/12/2023).
Lebih lanjut, kata Zaenur, perlu ada pembenahan dan pembersihan di institusi penegak hukum dengan melakukan reformasi di institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung. “Dan juga memperbaiki KPK dengan mengembalikan independensinya.”
Sederet pembenahan ini diharapkan mampu dilakukan agar ada secercah harapan untuk membabat korupsi di negeri ini. Sungguh ironi jika taji para penegak hukum justru tidak mempan menggetarkan lutut para koruptor. Atau sebaliknya, justru kongkalikong untuk memperkaya diri dengan duit haram.
Momen Perbaikan
Ketua KPK, Nawawi Pomolango, mengakui bahwa 2023 bukanlah tahun yang mudah bagi KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Sebab, kata dia, mempertahankan kepercayaan masyarakat saat ini cukup sulit.
“Hal ini seperti dalam enam bulan terakhir, banyak gelombang yang menghantam dengan berkurangnya dukungan masyarakat dibarengi pemberitaan negatif institusi ini,” kata Nawawi dalam keterangan resmi, Rabu (27/12/2023).
Untuk itu, lanjut Nawawi, KPK mendorong dan memastikan bagaimana arah dan kebijakan dalam melakukan tugas-tugas yang diemban, dan mengutamakan soliditas dan kesetaraan antarinstitusi.
“Kinerja dan perilaku institusi harus terus diperbaiki, ditingkatkan, sehingga menjunjung tinggi amanat undang-undang yang diberikan kepada KPK untuk menjaga kepercayaan masyarakat,” ungkap Nawawi.
Nawawi berpesan kepada seluruh insan KPK untuk terus berkolaborasi guna menjaga kinerja yang optimal dan lebih baik. “Muruah KPK sebagai lembaga antirasuah harus tetap terjaga pada level tertinggi,” ujar dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz