tirto.id - Operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK yang menyeret Gubernur Maluku Utara (Malut), Abdul Gani Kasuba, menambah daftar panjang kepala daerah yang terlibat kasus rasuah. Pria kelahiran 21 Desember 1951 itu ditangkap KPK saat berada di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (18/12/2023).
Abdul Gani Kasuba diduga menerima suap dan gratifikasi pengadaan proyek infrastruktur di Provinsi Malut. Tak hanya itu, komisi antirasuah juga mengendus penerimaan setoran untuk lelang jabatan oleh gubernur dua periode tersebut.
“Kasus ini berawal atas dasar adanya laporan dan informasi dari masyarakat atas dugaan korupsi oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya terkait proyek di Provinsi Maluku Utara,” kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (20/12/2023).
Menurut Alex, tim penyidik menerima informasi bahwa pada hari itu akan ada pemberian sejumlah uang melalui transfer rekening ke rekening penampugan yang dipegang seseorang bernama Ramadhan Ibrahim. Saat itu, tim penyidik telah mengetahui bahwa Ramadhan merupakan orang kepercayaan Abdul Gani.
Tim penyidik langsung melakukan OTT di sejumlah rumah pribadi hingga restoran di daerah Ternate, Malut. Lalu, mengamankan 18 orang untuk dilakukan pemeriksaan awal.
Alex merinci, dari OTT yang dilakukan di Ternate dan Jakarta, selain Abdul Gani juga diamankan tiga ajudan bernama Ramadhan Ibrahim, Mahdi Hanafi, dan Riznur. Kemudian, pihak swasta bernama Asmawan Ibrahim, Reinaldi, Jazir K, Windy Caludia, Ismi Bahmid, dan Stevi Thomas.
Lalu, sejumlah pejabat pemrov, yaitu Daud Ismail selaku Kadis PUPR, Imran Yakub selaku Kadis Disdik, Ridwan Arsan selaku Kepala BPPBJ, dan Adnan Hasanudin selaku Kadis Perumahan dan Pemukiman. Selain itu, turut diamankan tiga staf bernama Waldi Askur, Rizky Aditya Samad, dan Abdul Muid, serta PNS bernama M. Saleh.
“Diamankan uang tunai dalam kegiatan ini sekitar Rp725 juta sebagai bagian dari dugaan penerimaan Rp2,2 miliar,” ungkap Alex.
Usai melakukan pemeriksaan kepada belasan orang itu, akhirnya diperoleh kecukupan alat bukti untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan. Dalam gelar perkara ditetapkan tersangka terhadap Abdul Gani, Adnan Hasanudin, Daud Ismail, Ridwan Arsan, Ramadhan Ibrahim, serta Stevi Thomas dan Kristian Wuisan selaku pihak swasta. Kendati demikian, hingga saat ini Kristian Wuisan belum ditangkap.
“Untuk kebutuhan penyidikan, tim penyidik menahan tersangka AGK, AH, DI, RA, RI, dan ST masing-masing 20 hari pertama mulai 19 Desember 2023 sampai dengan 7 Januari 2024,” kata Alex di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (20/12/2023).
Alex menjelaskan, saat melakukan OTT, tim penyidik menyita Rp725 juta. Sedangkan, secara keseluruhan uang yang diterima Abdul Gani sebagai Gubernur Malut mencapai Rp2,2 miliar.
Dijelaskan Alex, dalam rangka mempercepat proses pengadaan dan pembangunan infrastruktur di Maluku Utara, Abdul Gani memiliki prioritas untuk menentukan siapa kontraktor yang ditunjuk. Kemudian, dia memenangkan salah satu kontraktor dalam lelang dengan imbalan yang diberikan.
“Untuk menjalankan misinya tersebut, AGK kemudian memerintahkan AH selaku Kadis Perumahan dan Pemukiman, DI selaku Kadis PUPR, dan RA selaku Kepala BPPBJ untuk menyampaikan berbagai proyek di Propinsi Maluku Utara," ucap Alex.
Adapun besaran berbagai nilai proyek infrastruktur jalan dan jembatan tersebut, kata Alex, mencapai pagu anggaran lebih dari Rp500 miliar. Pembangunan itu berupa jalan dan jembatan ruas Matuting-Rangaranga, serta pembangunan jalan dan jembatan ruas Saketa-Dehepodo.
“Dari proyek-proyek tersebut, AGK kemudian menentukan besaran yang menjadi setoran dari para kontraktor,” tutur Alex.
Menurut Alex, Abdul Gani juga meminta Adnan, Daud, dan Ridwan untuk memanipulasi progres pekerjaan seolah-olah telah selesai di atas 50% agar pencairan anggaran dapat segera dicairkan. Kontraktor yang menyanggupi upah itu sendiri adalah dua tersangka dari pihak swasta.
Tersangka Stevi, kata Alex, telah memberikan uang kepada Abdul Gani melalui Ridwan untuk pengurusan perizinan pembangunan jalan yang melewati perusahannnya. Teknis penyerahan uang melalui tunai maupun rekening penampung dengan menggunakan nama rekening bank atas nama pihak lain maupun pihak swasta.
Alex membeberkan, penggunaan rekening penampungan itu berdasarkan ide Abdul Gani dan Ramadhan. Kemudian, uang-uang itu dugunkan untuk kepentingan pribadi Abdul Gani guna menginap hotel dan pembayaran dokter gigi.
“Untuk tersangka KW, tim penyidik akan melakukan pemanggilan dan diharapkan untuk kooperatif mengikuti proses hukum yang berlaku,” ujar Alex.
Sementara itu, Abdul Gani saat hendak diboyong ke sel tahanan mengaku bahwa dirinya hanya memegang uang Rp1,4 juta saat ditangkap di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan.
“Di hotel itu, kalau di hotel itu, saya punya uang kontan Rp1,4 juta, tapi kemungkinan, ada transaksi di luar dugaan saya,” ungkap Abdul Gani.
Menurut Abdul Gani, apa yang dialaminya saat ini hanyalah risiko dari jabatan yang diembannya. Padahal, dia telah berupaya untuk mengupayakan yang terbaik segala tuntutan masyarakat.
“Sebagai gubernur saya meminta maaf kepada masyarakat, kalau ada hal-hal sampai terjadi seperti ini menurut saya, artinya sudah berusaha selama 2 periode, tapi akhirnya jabatan terakhir, tersandung persoalan seperti itu, saya kira itu risiko jabatan,” kata dia.
Lelang Jabatan Jadi Lahan Transaksional, Pengawasan KPK Gagal?
Alex sebut, penyidikan dalam kasus ini tak berhenti sampai di sini saja. Sebab, KPK menemukan indikasi adanya penerimaan setoran dari para aparatur sipil negara (ASN) kepada Abdul Gani untuk memperoleh rekomendasi dan mendapatkan lelang jabatan.
“AGK juga diduga menerima uang dari para ASN di Pemprov Maluku Utara untuk mendapatkan rekomendasi dan persetujuan menduduki jabatan di Pemprov Maluku Utara,” kata Alex.
Alex sebut, penyidik akan mendalami siapa saja dan berapa setoran yang diberikan dari lelang jabatan di lingkungan Pemprov Malut. Bahkan, pendalaman akan dilakukan kepada lima orang yang baru saja dilantik sebelum OTT dilakukan.
“Terkait melantik lima pejabat, salah satunya saya sampaikan tadi ada pemberian-pemberian. Apakah semua memang hanya kepala dinas saja atau yang lain juga ada,” ujar Alex.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan KPK seharusnya lebih menguatkan upaya pencegahan dibanding penindakan. Keberhasilan lembaga antirasuah itu akan lebih bermartabat, apabila tidak ada lagi yang terjaring OTT karena kesuksesan pencegahan.
“KPK sebenarnya kalau mau OTT tiap hari bisa karena ada tiga hal, tentang izin yang diperdagangkan, promosi dan mutasi pejabat yang diperdagangkan, dan proyek yang diperdagangkan. Jadi gampang saja kalau mau dilakukan,” tutur Boyamin kepada reporter Tirto, Rabu (20/12/2023).
Di sisi lain, Boyamin memandang, KPK memang seharusnya sudah naik kelas dalam melakukan penindakan. Bahkan, dia sangat berharap di kepemimpinan Nawawi Pomolango ini taring KPK lebih terlihat dan tak lagi tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.
“Apa pun levelnya sudah agak naik karena yang di-OTT lagi, bukan bupati atau camat lagi, bukan hanya sekadar pimpinan proyek, ini gubernur yang levelnya agak tinggi. Selamat lah,” kata Boyamin.
KPK Seharusnya Tak Tanggung-Tanggung Bekerja
Dalam perkara ini, KPK menyangkakan tersangka Stevi, Adnan, Daud, dan Kristian sebagai pemberi suap dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan Abdul Gani, Ridwan, dan Ramadhan sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Meski demikian, Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Universitas Indonesia, Yenti Ganarsih, memandang kerja penyidik KPK nanggung. Sebab, kata dia, sangkaan pasal TPPU selalu dipisah dari perkara pokoknya.
Menurut Yenti, hal itu justru bisa dijadikan celah oleh para tersangka untuk melakukan TPPU. Sebab, upaya pemblokiran rekening saja tidak dilakukan penyidik KPK.
“Agar ketika menangani korupsi langsung ditelusuri ke mana uang hasil korupsinya, pada siapa uang hasil korupsi bermuara, dan jadi apa. Kalau sekaligus ada TPPU-nya, maka sejak awal bisa disita atau blokir kalau dana di bank,” tutur Yenti kepada reporter Tirto, Selasa (19/12/2023) malam.
Yenti mengingatkan, semua komisioner sejak dulu berjanji akan gabungkan kasus korupsi dan TPPU. Oleh karenanya, dia berharap di internal KPK memiliki satu kesamaan pandangan bahwa dakwaan kepada kasus korupsi dan TPPU harus disatukan.
“Jadi ketika putusan sekaligus dirampas semua hasil korupsinya, jangan hanya perkara saja. Jadi tidak dibiarkan hilang dan malah digunakan untuk pemilu, jangan,” ungkap Yenti.
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Abdul Aziz