tirto.id - Oshichi-chan, putri penjual sayur-mayur (yaoya) baru beranjak remaja ketika kebakaran besar melanda kotanya, Edo (kini Tokyo). Ribuan orang kehilangan nyawa dalam kebakaran yang dikenal sebagai Tenna no Taika (kebakaran besar di tahun Tenna, tahun Masehi Desember 1682). Keluarga Yaoya Oshichi terpaksa mengungsi ke sebuah kuil Buddha hingga rumahnya selesai diperbaiki dan daerah sekitarnya aman untuk ditinggali kembali.
Di pengungsian, Oshichi yang berusia 15 tahun bertemu dengan Ikuta Shonoshuke, pemuda yang bekerja di kuil dan membantu para pengungsi. Pada Ikuta, Oshichi melabuhkan cinta pertamanya. Saat rumah Oshichi sudah dapat ditempati lagi, dengan berat hati ia meninggalkan kuil Buddha dan berpisah dengan Ikuta.
Bulan berlalu, namun api cinta dalam dada Oshichi tak kunjung padam, justru makin membara. Ia sangat ingin melihat Ikuta lagi, tetapi bagaimana caranya? Di masa itu, mustahil seorang perempuan muda datang seorang diri menemui seorang laki-laki. Oshichi berpikir keras.
Lalu tepercik sebuah ide dalam benak Oshichi. Jika dulu kebakaran yang membuatnya berjumpa dengan Ikuta, maka kebakaran jugalah yang akan mempertemukannya kembali dengan Ikuta. Maka pada awal tahun 1683, Oshichi melancarkan gagasannya. Ia membakar kota demi dapat bertemu Ikuta. Untungnya, upaya pembakaran itu segera diketahui warga dan dapat digagalkan. Oshichi pun dibawa ke pengadilan.
Tindakan sengaja melakukan pembakaran, meski masih dalam tahap percobaan, merupakan kejahatan besar di Edo. Dengan konstruksi rumah dari kayu yang rentan terbakar dan setiap rumah memiliki tungku berbahan bakar arang, Edo telah mengalami beberapa kali kebakaran besar, baik yang disengaja maupun tidak. Konon, “api dan kelahi, adalah bunga-bunga yang menghiasi Edo.” Demikian catatan tentang Edo dalam “Seri Menyusuri Monumen di Edo-Tokyo”, edisi 1 Januari 2007).
Dalam rentang 1601-1867, Edo setidaknya mengalami 1.798 kali kebakaran. Karena itulah, kota metropolitan yang populasi dan kebutuhan permukimannya tumbuh pesat itu sejak abad ke-17 memberlakukan hukuman mati bagi siapa saja yang menyulut api (Kuroki, Kyo. 1999, Edo no Kaji, hlm. 4).
Hakim yang memimpin persidangan Yaoya Oshichi sebenarnya tidak tega bila Oshichi yang masih sangat muda mesti mati di tiang pembakaran. Di masa itu, sebelum usia 16 tahun dianggap belum dewasa dan tidak dapat dikenai hukuman mati. Hakim tahu usia Oshichi sudah menginjak 16 tahun, tetapi karena pencatatan kependudukan juga belum terlalu rapi, hakim mencoba menyelamatkan Oshichi.
“Umurmu baru 15 tahun, kan?” tanya sang hakim. Tetapi Oshichi menjawab dengan tegas bahwa umurnya 16 tahun. Hakim mengulangi pertanyaannya, berharap Oshichi menangkap maksudnya sehingga hukuman mati tak perlu menimpa gadis belia itu. Namun Oshichi bersikeras bahwa umurnya 16 tahun.
Maka jatuhlah hukuman mati untuk Yaoya Oshichi. Pada 29 Maret 1683, tepat hari ini 339 tahun lalu, Yaoya Oshichi dibakar di tiang pembakaran.
Peristiwa kematian Oshichi segera menjadi buah bibir di kota Edo. Kisahnya kemudian muncul sebagai cerita bunraku (pertunjukan boneka) yang mulai berkembang sejak awal abad ke-17. Bagi masyarakat Jepang di masa itu, bunraku berperan selayaknya tabloid yang mengisahkan skandal-skandal yang menggegerkan. Bunraku berlaku juga sebagai dokumentasi kejadian di suatu kota. (The Japan Foundation, Bunraku: Seni Bercerita, Musik, dan Sandiwara Boneka, 2021).
Peristiwa hukuman mati Yaoya Oshichi di tiang pembakaran ditampilkan dalam pertunjukan bunraku berjudul Date Musume Koi no Higanoko, drama delapan babak yang ditampilkan di Osaka pada 1773. Cerita bunraku ini merupakan pengembangan cerita dari pertunjukan berjudul Yaoya Oshichi yang ditampilkan 20 tahun setelah kematiannya.
Pertunjukan-pertunjukan bunraku tersebut merupakan turunan dari kumpulan cerita berjudul Koshoku Gonin Onna (Lima Perempuan yang Mencintai Cinta) karya penulis terkenal, Ihara Saikaku, yang mengisahkan peristiwa Oshichi hanya tiga tahun setelah kematiannya. Pada 1856, kisah Oshichi juga diadaptasi dalam bentuk kabuki, teater tradisional Jepang. Selama zaman Edo (1603-1867), Yaoya Oshichi merupakan karakter perempuan yang paling populer. (Leiter, Samuel L. 2014. Historical Dictionary of Japanese Traditional Theater, hlm. 618).
Pertunjukan yang menampilkan Yaoya Oshichi berhasil memunculkan perlunya karakter gadis muda (musume-gata) dalam pertunjukan kabuki—semua karakter diperankan laki-laki. Diperkirakan kabuki yang mengisahkan Yaoya Oshichi pertama kali tercatat dipentaskan di Osaka pada 1705. Dalam pertunjukan itu, Oshichi diperankan oleh seorang aktor bernama Arashi Kiyosaburo. Tiga belas tahun kemudian, Sanjo Kantaro, pemuda berusia 17 tahun sukses memerankan Oshichi dan menjadi bintang panggung, dengan banyak pujian dari para kritikus seni. (Kyozo, Takei. 2007. The Onnagata in Kabuki, from Kamigata to Edo, hlm. 193-194).
Selain menginspirasi lahirnya karya sastra dan seni pertunjukan, kisah Oshichi juga muncul dalam seni lukis cungkil kayu Jepang, ukiyo-e. Seniman-seniman ukiyo-e terkemuka Jepang seperti Tsukioka Yoshitoshi, Kunichika Toyohara, dan Toyokuni III Utagawa mengabadikan kisah Yaoya Oshichi dalam karya seni klasik yang masih diburu kolektor hingga hari ini.
Oshichi juga abadi hingga masa modern lewat sebuah lagu pop berjudul namanya yang dinyanyikan oleh aktris dan penyanyi legendaris Jepang, Hibari Misora. Oshichi pun muncul dalam seri video gim Shin Megami Tensei sebagai hantu dengan nama karakter “Oshichi”, dengan kekuatan kobaran api yang mematikan lawan.
Hinoe Uma, Tahun Kuda Api
Cinta Yaoya Oshichi yang membara hingga hampir membakar kota pada akhirnya menjadi inspirasi lahirnya berbagai karya seni, baik dalam seni klasik maupun pop. Tetapi rupanya Oshichi juga meninggalkan satu pengetahuan kolektif mengenai kepercayaan terkait tahun kelahirannya.
Dilahirkan pada 1666, menjadikan Oshichi berada di bawah shio Kuda Api atau hinoe uma, yang hanya muncul 60 tahun sekali. Perempuan yang lahir sebagai hinoe uma dipercaya memiliki temperamen kuat dan panas seperti api. Angka kelahiran turun drastis di tahun-tahun hinoe uma, karena perempuan hinoe uma akan sulit mendapatkan jodoh mengingat ia dipercaya dapat membahayakan suami dengan temperamennya yang mudah terbakar. Yaoya Oshichi, perempuan hinoe uma yang hampir menghanguskan kota semakin memperkuat kepercayaan ini dan bertahan hingga masa modern.
Pada 1966 yang merupakan tahun kuda api, Jepang mengalami penurunan angka kelahiran sangat signifikan. Selama dekade 1960-an, angka kelahiran di Jepang adalah 2,0 – 2,1 kelahiran per perempuan, tetapi hanya pada 1966 angka tersebut anjlok menjadi 1,6 kelahiran per perempuan.
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi