tirto.id - Saat membahas teater musikal, sebagian orang mungkin akan langsung ingat dengan pementasan yang sejak dekade 1980-an dipopulerkan di panggung hiburan Broadway, New York atau distrik wisata West End, London seperti Cats, Le Misérables, atau The Phantom of the Opera. Beberapa yang lain mungkin teringat pada tari Can-canasal Prancis yang dilakukan barisan perempuan berkaki jenjang dalam kabaret Lido atau Moulin Rouge.
Di satu kota kecil di barat daya Jepang, terdapat grup teater dengan kualitas pementasan yang tak kalah bagus dari produksi kota-kota besar di atas. Namanya Takarazuka Kageki. Asalnya dari Takarazuka, kota dengan populasi 200 ribu jiwa di Prefektur Hyogo, sekitar empat jam perjalanan naik Shinkansen dari ibu kota Tokyo.
Takarazuka Kageki mempunyai dua gedung pertunjukan. Pertama ada di tanah kelahirannya, Takarazuka Grand Theater, yang arsitekturnya menyerupai kemegahan kastil Eropa. Satunya lagi di Tokyo.
Para pemeran merupakan lulusan dari Takarazuka Ongaku Gakkō, sekolah swasta setingkat SMA yang dikelola perusahaan. Setiap tahun mereka menerima 40 siswa, yang dilatih teknik tari, vokal, dan seni peran selama dua tahun sampai dinyatakan siap pentas. Mereka juga memiliki tim kreatif sendiri, dari sutradara, penulis naskah, penata kostum, sampai rombongan pemusik orkestra.
Takarazuka berbeda dari produksi teater pada umumnya karena semua pemerannya perempuan. Aturan kerja di sana pun tergolong ketat, salah satunya dilarang menikah sejak memulai pendidikan sampai kontraknya sebagai staf Takarazuka berakhir—yang rentang waktunya bisa menembus sepuluh tahun. Sekilas, sistem pembinaan ini mengingatkan pada jalan berliku untuk menjadi idola K-pop.
Selama pendidikan, setiap murid dibina sesuai karakteristik tubuh dan suara masing-masing. Mereka yang berbadan jangkung, tinggi sekitar 170 sentimeter, diarahkan jadi pemeran tokoh laki-laki (disebut otokoyaku), sedangkan yang suaranya cenderung melengking dan berbadan mungil memerankan karakter perempuan (musumeyaku).
Artis-artis otokoyaku paling sering menuai pujian dan punya penggemar. Orang yang pertama kali menyaksikan pentasnya mungkin tidak akan menyangka seorang perempuan bisa memerankan tokoh laki-laki yang sedemikian maskulin dan gagah. Ketika otokoyaku dan musumeyaku memerankan karakter sepasang kekasih atau berdansa, setiap adegan terlihat natural: pemeran laki-laki tampil bersolek—riasan hidung mancung, mata besar—dengan pembawaan hangat sekaligus tegas; sementara perempuan lebih gemulai dan cenderung manja.
Terdapat lima kelompok pementasan—Bunga, Salju, Bulan, Bintang, dan Langit—yang tampil bergantian sepanjang tahun. Masing-masing grup membawakan naskah berbeda untuk dipentaskan selama satu-dua bulan. Tim kreatif menciptakan naskah asli namun beberapa kali membawakan karya adaptasi, misalnya Romeo and Juliet karya William Shakespeare atau serial manga populer dekade 1970-an Versailles no Bara ciptaan Ryoko Ikeda. Mereka juga menampilkan musikal Broadway seperti West Side Story dan Guys & Dolls—tentunya semua dialog dan lagu dialihbahasakan ke dalam bahasa Jepang.
Satu kali pementasan bisa berlangsung sampai tiga jam. Sesi pertama menampilkan drama berdasarkan naskah cerita seperti di atas. Sedangkan sesi kedua disebut revue, semacam penampilan multibabak, terdiri atas tari-tarian, nyanyian, sampai parade kostum yang terinspirasi dari panggung hiburan kabaret Prancis.
Tiket sering cepat habis terjual meski harganya cukup mahal, dari 3.500 sampai 12.500 yen (antara Rp400 ribu hingga Rp1,5 juta). Pasar utama Takarazuka adalah kaum perempuan dari mulai anak sekolah, ibu rumah tangga, pekerja profesional, sampai kalangan sepuh.
Lahir Berkat Modernisasi
Sejarah Takarazuka lekat dengan riwayat modernisasi dan industrialisasi Jepang sejak awal abad ke-20 atau pada pengujung era Meiji (1868-1912). Persisnya pada 1913, grup teater ini digagas oleh Ichizō Kobayashi.
Kobayashi (1873-1957) merupakan konglomerat pendiri jalur kereta swasta Hankyū yang beroperasi sejak 1910 di kota-kota besar kawasan barat daya Jepang, meliputi Kobe, Osaka, dan Kyoto. Ia juga yang memelopori Hankyū Department Store, pusat perbelanjaan pertama di Jepang yang berafiliasi dengan jalur kereta pada 1929.
Sebagaimana pengusaha, Kobayashi juga ingin memperluas cakupan jaringan keretanya sampai ke daerah-daerah, tak terkecuali Takarazuka. Di sana ia membangun semacam resor atau sentra wisata bagi keluarga yang terdiri dari pertokoan, kebun binatang, pemandian air panas, sampai kolam renang dalam ruangan. Sayangnya, bisnis itu kurang laku.
Kobayashi pun berpikir untuk merombak kolam renangnya jadi panggung pertunjukan. Ia lantas merekrut belasan perempuan remaja setempat untuk dilatih menari dan bernyanyi. Pementasan pertama berlangsung pada 1914, di antaranya menampilkan drama yang diadaptasi dari cerita rakyat Momotarō dan tarian berjudul Kochō (Kupu-kupu).
Empat tahun kemudian, dengan izin Kementerian Pendidikan, diresmikanlah sekolah khusus untuk melatih para calon bintang Takarazuka. Tahun 1918 juga mereka mulai tampil di Tokyo—dan pada 1934 membangun gedung teater baru di sana.
Nama Takarazuka semakin terkenal berkat pementasan grup teater perempuannya, alih-alih resor wisata atau nama kota.
Simbol Perempuan Modern
Tidak bisa dimungkiri bahwa daya tarik utama grup musikal ini adalah seluruh pemerannya perempuan. Aspek ini pula kerap jadi topik pembahasan para sejarawan dan budayawan.
Makiko Yamanashi dalam buku A History of the Takarazuka Revue since 1914: modernity, girls’ culture, Japan pop (2012), misalnya, menjelaskan latar belakang sosial-budaya yang memungkinkan perempuan muncul di panggung-panggung seperti ini. Popularitas Takarazuka tidak bisa dipisahkan dari mekarnya ide tentang kebebasan atau emansipasi perempuan di negara tersebut pada dekade 1910-1920. Gagasan ini sendiri didorong oleh industri media cetak yang tengah memopulerkan modan gāru atau modern girl, istilah yang disematkan bagi perempuan yang mendapat kesempatan bekerja di luar rumah.
Bersamaan dengan itu, lanskap urban Jepang pun semakin jamak diwarnai oleh perempuan-perempuan yang tak lagi malu mengekspresikan diri.
Pertunjukan revue menjadi alternatif mata pencaharian yang menarik bagi perempuan kala itu, tak terkecuali para penari dan penyanyi Takarazuka. Mereka, tulis Yamanashi, “dipertimbangkan sebagai perempuan modern yang bisa meraih pendidikan, berpakaian modis, dapat kesempatan bekerja, namun masih mempertahankan nilai-nilai tradisional keluarga dan respek terhadap pernikahan dan kewanitaan.”
Ketika itu citra dunia pertunjukan tidak begitu baik. Konsepnya bisa dibilang menyerupai prostitusi karena seni peran dipandang memerlukan daya tarik seksual untuk menarik minat konsumen terutama laki-laki. Apa yang dilakukan oleh Kobayashi adalah membingkai ulang itu menjadi dunia yang lebih bermartabat—atau ia menyebutnya “Opera Perempuan yang bisa dinikmati satu keluarga tanpa rasa malu.”
Kobayashi hanya merekrut murid-murid dari keluarga kelas menengah. Masih menurut Yamanashi, anak perempuan dari latar sosio-ekonomi menengah-atas sengaja dipilih karena dianggap tidak punya motivasi untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, tapi lebih terdorong oleh cita-cita ingin berkontribusi untuk dunia hiburan yang terhormat.
Konsep tentang martabat ini ditanamkan kuat-kuat oleh Kobayashi lewat moto kiyoku, tadashiku, utsukushiku—'kesucian, integritas, keanggunan'. Di samping mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung saat pentas, ketiga poin tersebut juga dipandang sebagai standar perilaku bagi para staf demi menjaga nama baik dan status sosial tinggi Takarazuka sebagai badan perusahaan.
Yamanashi kurang sepakat dengan pandangan antropolog Jennifer Robertson, penulis buku Takarazuka: Sexual Politics and Popular Culture in Modern Japan (1998). Dalam bukunya, Robertson menganggap motivasi Kobayashi mendirikan Takarazuka sudah dilatarbelakangi oleh dorongan patriarkis, yaitu untuk mendominasi atau mengontrol perempuan. Menurut Yamanashi, tujuan Kobayashi lebih untuk “melindungi dan memberikan hak istimewa” kepada para staf perempuan Takarazuka. Dirinya merasa harus jadi “ayah yang dapat diandalkan untuk anak-anak perempuan berharga dari keluarga baik-baik,” di samping bertanggung jawab atas keberlangsungan teater, termasuk menjaga kualitas pendidikan dan kesehatan sumber daya manusianya.
Takarazuka Era Perang
Takarazuka terpengaruh dalam permainan elite politik seiring rezim militer semakin agresif pada pertengahan abad ke-20. Sebagai contoh kecil, lawatan pertama mereka ke luar negeri pada 1938 adalah ke negara-negara sekutu Jepang yang sama-sama fasis, yakni Jerman dan Italia (termasuk Polandia). Jepang dan Nazi Jerman baru meresmikan hubungan pada 1936 lewat kesepakatan anti-komunis Pakta Anti-Komintern, diikuti Italia setahun kemudian. Kunjungan Takarazuka disebut bagian dari “misi persahabatan seni Jepang-Jerman-Italia”.
Kembali melansir buku Yamanashi, Perang Dunia II juga memengaruhi konten pementasan Takarazuka. Kostum-kostum berubah dari awalnya jas formal untuk acara pesta menjadi seragam tentara. Lokasi cerita bukan lagi tanah impian yang romantis melainkan medan perang dengan dekorasi kapal dan pesawat. Tokoh-tokohnya pun tak jauh dari karakter tentara, pilot pesawat, atau pelaut—kelak cerita-cerita heroiknya mengundang lebih banyak minat dari pemirsa laki-laki.
Pada 1944, ketika perang semakin berkecamuk, otoritas memerintahkan penutupan semua institusi hiburan. Takarazuka pun berhenti merekrut siswa baru dan menangguhkan pementasan, baik di Takarazuka maupun Tokyo. Angkatan Laut Jepang sempat memanfaatkan gedung teaternya sebagai barak. Kemudian, setelah Jepang kalah perang, pasukan AS mendudukinya sebentar.
Takarazuka mulai pentas lagi di kampung halamannya tak lama setelah perang usai. Minami no Aishū—'Duka di Selatan' yang diproduksi pada 1947 mengambil set Tahiti yang indah dan romantis.
Ada pula kisah cinta yang mengambil latar Hindia Belanda, berjudul Jawa no Odoriko—'Penari Jawa', dipentaskan pada 1952, 1982 dan 2004. Ini bercerita tentang hubungan asmara antara penari kerajaan sekaligus pemimpin gerakan pkemerdekaan Indonesia, Adinan, dengan kekasihnya, Alvia. Pementasan menampilkan kostum dengan pakaian khas tradisional Jawa, lagu tentang bunga melati, bahkan potongan dialog bahasa Indonesia.
Masih Populer dan Relevan
Takarazuka mampu bertahan sebagai hiburan yang populer dan tetap relevan hingga sekarang. Selama satu tahun saja, mereka bisa menampilkan sampai 900 kali pertunjukan. Pada 2018, jumlah penontonnya menembus 2,77 juta orang—rekor tertinggi dalam sejarah.
Salah satu alasan menarik di balik popularitas Takarazuka pada hari ini pernah dibahas oleh Karen Nakamura dan Hisako Matsuo dalam studi berjudul “Female masculinity and fantasy spaces: Transcending genders in the Takarazuka Theatre and Japanese popular culture” (2003). Menurut mereka, Takarazuka sudah menyediakan ruang—semacam dunia fantasi—bagi para penonton untuk melarikan diri sesaat dari peranan dan ekspektasi gender sehari-hari.
Di masyarakat Jepang peran gender tradisional memang masih mengakar kuat. Tingkat ketimpangan gender memprihatinkan di antara negara-negara ekonomi mapan dan partisipasi perempuan rendah di ranah ekonomi sampai politik. Perempuan masih menanggung beban kerja rumah tangga jauh lebih besar daripada laki-laki, di samping menghadapi tantangan-tantangan lebih berat di pasar kerja.
Takarazuka, melalui karakter-karakter otokoyaku, berusaha menampilkan perempuan yang perkasa dan dominan. “Maskulinitas perempuan” inilah yang dipandang sudah memberikan ruang berimajinasi lebih luas bagi penonton terutama ibu rumah tangga yang selama ini merupakan konsumen utama Takarazuka, selain tentu saja memang merupakan selingan yang menghibur.
Editor: Rio Apinino