tirto.id - Teater Pandora, yang dikenal atas inovasi dan keberaniannya dalam bereksperimen dengan ruang, kembali menghadirkan sebuah pementasan luar biasa.
Kali ini, mereka menyelenggarakan pertunjukan bertajuk Constellations di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum MACAN).
Museum, tentu saja, selama ini kita kenal sebagai ruang untuk pameran seni, alih-alih arena bagi pertunjukan teater.
Constellations menjadi contoh nyata dari gagasan konseptual Teater Pandora sejak 2019, yang mereka sebut “mempermainkan ruang”.
Konsep ini bukan hanya sekadar mengubah lokasi pertunjukan, melainkan juga bertujuan untuk menjadikan teater lebih mudah diakses bagi masyarakat luas.
Pandora mulai menggagas kampanye mempermainkan ruang dengan membuat pertunjukan di lokasi-lokasi yang tidak lazim, bahkan menyulap tempat-tempat seperti pabrik, warung kopi, dan bar menjadi panggung teater.
“Sebenarnya ini tidak disengaja. Dulu, kita tahu, berteater itu pasti pentas di gedung-gedung pertunjukan,” ujar Yoga Muhammad, Co-Founder dan Sutradara Teater Pandora.
Namun setelah menjalani pengalaman tersebut, mereka merasa bahwa teater seharusnya lebih bisa diakses oleh berbagai kalangan, tidak hanya yang berada di sekitar gedung pertunjukan.
“Kebetulan, dulu, penonton kita itu kalangannya memang anak-anak kuliah. Akhirnya, kita bikin pertunjukan yang aksesibel buat siapa pun,” tambahnya.
Dengan mengadopsi konsep mempermainkan ruang, Pandora berhasil meningkatkan produktivitasnya secara signifikan.
Dalam setahun, mereka mampu menghasilkan hingga 12 produksi pertunjukan. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan jika mereka hanya mengandalkan gedung pertunjukan konvensional yang kapasitas dan jangkauan aksesnya terbatas.
Menerapkan konsep ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Persiapan untuk pertunjukan Constellations di Museum MACAN, misalnya, memakan waktu berbulan-bulan.
“Persiapannya 3 bulan. Tantangannya adalah karena ini bagian dari campaign Pandora mempermainkan ruang. Jadi, kita harus benar-benar bikin panggung dari nol, menyulap Museum MACAN yang tadinya tempat galeri jadi panggung pertunjukan,” tambah Yoga.
Segalanya dikerjakan dengan tangan mereka sendiri, mulai dari pembuatan set, kursi, hingga lighting.
Konsep mempermainkan ruang disambut baik oleh Museum MACAN, yang terus berinovasi dengan menciptakan pengalaman seni yang mengundang lebih banyak orang untuk terlibat.
“Seni sebenarnya jadi pintu masuk untuk membahas isu-isu yang lebih besar lagi, misalnya, isu politik, sejarah. Sebenarnya ini jadi perpanjangan cara kami mengedukasi publik,” ujar Nin Djani, Kurator Edukasi dan Program Publik Museum MACAN.
Museum MACAN juga berkomitmen menciptakan ruang yang lebih inklusif dan dapat diakses oleh berbagai komunitas, termasuk dalam pertunjukan Constellations ini, yang mengundang teman-teman tuli dengan menyediakan Juru Bahasa Isyarat.
“Kami punya fasilitas, misalnya, audiens yang berkursi roda, kami pastikan secara tata ruang, buat ruang disabilitas. Untuk teman-teman tuli, kami ada akses panduan Bisindo,” ujarnya.
“Program-program museum MACAN juga beragam. Misalnya workshop, penampilan musik, teater, seperti sekarang. Jadi, lebih dinamis,” tambahnya.
Teuku Rifnu Wikana, aktor teater dan film Indonesia, mengungkapkan pendapatnya tentang keberadaan ruang berkesenian di Jakarta.
“Ruang berkesenian di Jakarta khususnya, saya rasa, semakin lama, semakin sedikit,” ungkap Rifnu.
Menurutnya, tantangan terbesar dalam dunia seni di Indonesia adalah terbatasnya ruang dan tingginya biaya yang sering membuat pertunjukan sulit dijangkau masyarakat.
“Dulu pertunjukan mahal, tidak terjangkau. Belum lagi seniman-seniman yang mengalami kesulitan menjalani pertunjukan. Selalu berbenturan dengan uang dan ruang,” tambah Rifnu.
Rifnu sendiri mengakui bahwa konsep mempermainkan ruang dapat menjadi solusi untuk mendekatkan seni ke masyarakat.
“Dengan mempermainkan ruang di museum ini, aku rasa untuk Museum MACAN dan Teater Pandora, mungkin kami mengharapkan, itu bisa jadi program khusus,” ujarnya.
Ia menambahkan, melalui konsep ini, pengunjung, terutama pelajar, dapat lebih memahami berbagai topik seperti sejarah, karya seni, dan tarian melalui pertunjukan teater.
Bagi Teater Pandora, Constellations menjadi pementasan yang istimewa. Bukan hanya karena kisahnya yang mendalam, melainkan juga sebagai bagian dari selebrasi ulang tahun ke-10 Pandora.
Constellations, yang diadaptasi dari naskah terkenal karya dramaturg Inggris Nick Payne, mengisahkan hubungan romantis antara ahli fisika Marianne dan peternak lebah Roland, dengan penceritaan nonlinear.
Setiap pilihan yang mereka buat membuka kemungkinan baru dalam dimensi yang tak terduga.
Pementasan ini merupakan yang pertama di Indonesia, dengan terjemahan resmi naskah yang diakui oleh agen lisensi Nick Payne, Curtis Brown.
Dalam perjalanan panjangnya, Teater Pandora telah melalui banyak tantangan, termasuk kehilangan tempat pentas dan menghadapi situasi yang kadang tak terduga, seperti batalnya pertunjukan.
Meski begitu, seperti yang diungkapkan oleh sutradara, naskah Constellations menjadi cermin dari perjalanan cinta yang dialami oleh banyak orang, termasuk anggota Teater Pandora sendiri.
“Persis di 10 tahun Pandora ini, beberapa kawan-kawan dari Pandora saya rasa juga dari teman-teman, lagi banyak mengalami kehilangan. Kehilangan keluarga, orang-orang dicintai,” ujarnya.
“Tapi tidak menutup juga bahwa di Pandora ini sudah banyak orang-orang yang akhirnya juga baru menikah, memiliki anak. Jadi, ini bagian yang sangat universal dan harus diselebarasi.”
Penonton yang hadir diharapkan dapat merasakan kedalaman emosi yang lebih kompleks daripada sekadar kisah cinta yang manis.
“Constellations ini adalah perjalanan cinta yang persis seperti Teater Pandora. Bahwa cinta itu nggak melulu senang-senang, haru biru, tapi kadang juga harus melalui rasa sakit yang luar biasa,” ujar Yoga.
Pementasan ini juga relevan dengan film yang sempat tayang di bioskop Indonesia pada tahun ini, berjudul We Live In Time, skenario yang ditulis oleh Nick Payne.
“Tepat momennya. Jadi, kalau yang nonton We Live In Time, kalau mau tahu lebih bagus lagi, Constellations,” kata sutradara tersebut.
Kedua karya ini berbagi banyak kesamaan, baik dari segi cerita maupun penulisnya, meski tentu saja ada beberapa penyesuaian dalam adaptasi Constellations ini agar ceritanya lebih relevan dengan keseharian penonton Indonesia.
“Nggak terlalu banyak, tapi ada beberapa penyesuaian, terutama dalam konteks yang lebih sesuai dengan Indonesia.”
Elmo Muller, aktor yang memerankan Roland dalam pertunjukan ini, mengingatkan penonton untuk menikmati kualitas naskah yang luar biasa.
“Nikmati naskahnya, karena naskahnya udah sangat bagus. Dari naskahnya aja udah sangat oke, apalagi disajikan dengan lighting dan blocking yang apik,” ujar Elmo.
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih