tirto.id - Julia Suryakusuma tetap bugar dan semarak di usia pertengahan 60-an. Ketika Tirto berkunjung ke kediamannya di Cinere, Depok, ia masih sempat berlari-lari kecil keluar-masuk rumah untuk menyambut kedatangan kami—membuat kami hampir tidak menyangka sang tuan rumah sudah mencapai umur tersebut. Ia juga sangat ramah sebagai sahibul bayt.
Beberapa minggu sebelum kami mengunjungi rumahnya di awal April 2021, Julia dianugerahi medali Order of the Crown, penghargaan dari Kerajaan Belgia bagi mereka yang berjasa dalam dunia seni, literatur, dan ilmu pengetahuan. Penulis buku Ibuisme Negara yang merupakan analisis gender pertama dari Orde Baru ini, terlihat sumringah ketika menerangkan tentang penghargaan tersebut.
“Saya dari tadi sudah siapkan medalinya untuk ditunjukin ke kalian, ha ha ha!” seloroh Julia saat kami baru saja duduk di dalam rumahnya.
Julia Suryakusuma dilahirkan pada 19 Juli 1954 di New Delhi. Dibesarkan dalam keluarga diplomat, sejak lahir hingga remaja ia senantiasa berpindah sekolah antarnegara mengikuti tempat dinas orang tuanya. Ia lalu dikenal sebagai penulis dan aktivis perempuan oleh publik Indonesia dan juga secara internasional. Ibuisme Negara, buku karya Julia yang diangkat dari tesis masternya, menjadi salah satu karya klasik dalam studi feminisme dan studi Indonesia.
Sore itu, kami, Redaktur Tirto Ivan Aulia Ahsan dan fotografer Hafitz Maulana, berbincang banyak hal dengan Julia—dari soal kematangan di usia setelah 60 hingga pandangannya tentang gerakan feminis hari ini. Dan sebagaimana orang-orang mengenalnya, ia selalu bersemangat ketika berbicara. Berikut petikan wawancara kami dengan Julia Suryakusuma.
Kami mengucapkan selamat atas penghargaan yang Anda dapatkan dari Kerajaan Belgia. Bisa Anda ceritakan latar belakang di balik pemberian penghargaan itu?
Saya berkenalan dengan Duta Besar Belgia Stéphane De Loecker ketika ada konser di Aula Simfonia karena saya diundang Gabriel Laufer, konduktor konser tersebut, teman baik saya, yang juga orang Belgia. Waktu itu ada acara peringatan Exposition Universelle [Pameran kolonial di Perancis pada 1889 kala delegasi Hindia Belanda menampilkan gamelan]. Apa hubungannya dengan Indonesia? Claude Debussy, komponis Perancis, berkunjung ke pameran itu dan terpengaruh oleh musik gamelan.
Ketika saya berkenalan dengan Dubes Belgia, kami bertukar nomor ponsel. Ramah sekali dia. Rupanya dia membaca kolom saya secara rutin di harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post. Tiba-tiba, kira-kira setahun kemudian, dia bertanya, “Julia, have you ever been decorated? (Apakah anda pernah didekorasi?)”. Saya menjawab, “Didekorasi seperti pohon natal?” setengah bercanda. “Bukan”, katanya serius. “Didekorasi berarti diberi penghargaan Order of the Crown dari Raja Belgia”. Dubes de Loecker mengatakan dia akan mengusulkan ke Kerajaan Belgia untuk menganugerahkannya kepada saya karena konsistensi saya bersuara selama puluhan tahun untuk memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia, membela hak-hak perempuan dan kelompok termarjinal lainnya, melalui tulisan maupun aktivisme saya.
Kemudian pandemi corona melanda dunia, termasuk Indonesia, jadi semua niat dan rencana tertunda. Akhirnya, pada 12 Agustus 2021, saya diundang ke rumahnya. Saya diwawancara oleh Stéphane De Loecker dan Sarah Gerard [Sekretaris 1 Kedubes Belgia] untuk mengetahui lebih dalam aspirasi saya, berbagai kegiatan saya, dan mengapa saya melakukannya. Juga tantangan-tantangan yang saya hadapi, terutama waktu Orde Baru, termasuk di dalam kehidupan pribadi saya. Makanya di dalam pidato [pemberian penghargaan] itu, Stéphane mengatakan bahwa Julia diberi penghargaan karena konsistensinya memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, membela hak asasi manusia dan pluralisme dalam kehidupan profesional, kehidupan publik, maupun kehidupan pribadinya.
Sarah sempat bertanya kepada saya, “Anda pasti dapat dukungan dari keluarga?” Tidak, saya jawab, malah kebalikannya. Justru saya dibesarkan di dalam keluarga tradisional yang lebih memprioritaskan anak laki-laki. Hal ini sebenarnya lazim, tapi tentu sering menyakitkan. Namun sekarang saya “mensyukuri” didiskriminasi di dalam keluarga karena hal tersebut mengembangkan empati saya kepada orang yang diperlakukan tidak adil atau didiskriminasi. Bukan hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada rakyat kecil/miskin, minoritas agama maupun seksual (LGBTIQ), intinya kelompok marginal—mereka yang tidak masuk hitungan dan tertindas.
Pada akhirnya saya menjadi saya yang sekarang ini karena apa yang saya alami di dalam keluarga. Tentunya banyak hal positif yang saya dapat dari orang tua saya, terutama pengalaman hidup dan bersekolah di mancanegara, namun juga banyak hal yang bagi saya menekan. Tapi kita tidak akan jadi orang tanpa melalui cobaan, kan?
Bagi Anda, secara pribadi, penghargaan ini apa maknanya?
Awalnya saya bertanya pada diri saya, apakah saya layak mendapatkannya? Tapi lama-lama saya pikir, it was a long time coming (sudah saatnya). Bagi saya medali ini seperti lifetime achievement award (pencapaian penghargaan seumur hidup) untuk semua darah, keringat, pengorbanan, air mata, dan tentunya perjuangan dan kerja keras selama puluhan tahun. Kebetulan saja yang memberikan adalah Raja Belgia. Oh ya, Order of the Crown Belgia itu setara dengan Order of the British Empire (OBE) yang mungkin lebih dikenal di Indonesia. Di dalam sebuah artikel yang menjelaskan makna penghargaan dari kerajaan di berbagai negara dikatakan: “Receiving a Knighthood in the Order of the Crown is considered a gift of very high value in international diplomacy” (Menerima gelar Kesatria dalam Ordo Mahkota dianggap sebagai hadiah yang sangat bernilai tinggi dalam diplomasi internasional).
Yang kedua, saya merasa saya memang sudah tiba di suatu fase kehidupan, meminjam kata-kata Jane Fonda, “the third stage” (stadium ketiga), di mana kita bisa memanen hasil pengalaman dan pelajaran yang bisa dijadikan landasan hidup selanjutnya. Stadium pertama adalah tiga puluh tahun pertama, yang kedua adalah tiga puluh tahun kedua, sedang stadium ketiga adalah enam puluh tahun ke atas sampai akhir hayat, jadi bisa waktu yang sangat lama. Buat saya, stadium ketiga juga memberikan gairah baru di usia 60 tahun ke atas, suatu awal baru. Penghargaan dari Raja Belgia ini tentu semakin menyemangati saya.
Saya justru menikmati bertambah umur. Bagi saya, bukan bertambah tua, tapi bertambah dewasa, matang, bijak, sabar, empati, dan berdamai dengan diri sendiri dan orang lain. Saya ingin lebih banyak menuntut ilmu, membagikannya dengan orang lain—terutama generasi muda—dan mengabdi kepada kepentingan orang banyak sesuai kemampuan saya tentunya.
Saya beruntung selalu mendapat kesempatan melakukan apa yang saya cintai dan saya yakini, atau sebaliknya, merespons kepada hal-hal yang menyinggung rasa keadilan dan rasa kebenaran saya. Aspirasi saya selanjutnya adalah mengangkat sebanyak mungkin orang dengan cara apapun, dari segi keilmuan, segi kualitas hidup, maupun kehidupan spiritual. Banyak yang senang dan bangga saya mendapat penghargaan ini, jadi seperti gelombang laut pasang that lifts all ships (mengangkat semua kapal). Sebenarnya anugerah ini juga penghargaan untuk Indonesia, meski pihak pemerintah sepertinya tidak peduli dan yang diundang tidak ada yang hadir di acara di rumah dubes Belgia pada 10 Maret yang lalu.
Saya ingin mendalami soal perjalanan intelektual Anda dan saya pikir ini fase paling penting dalam kehidupan publik Anda. Saya masuk dari bukunya Ignas Kleden yang terbaru, Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka (terbit pada Desember 2020). Ada satu kritik paling telak terhadap buku itu, terutama datang dari kalangan perempuan: “Mengapa semua intelektual Indonesia yang dibahas di buku itu adalah laki-laki?” Apa pandangan Anda tentang sejarah intelektual yang male-centric ini?
Menurut saya ofensif dan justru anti-intelektual.
Siapa? Ignas Kleden atau para intelektual yang dibahas di buku itu?
Sikap dan persepsi maskulinis yang tampaknya juga dianut Ignas Kleden bahwa aktor intelektual sejarah Indonesia hanya laki-laki. Saya yakin bahwa secara kualitas, buku itu pasti bagus. Saya tidak menyangsikan kemampuan intelektual Ignas. Tapi buat saya, pengabaian terhadap perempuan itu tidak benar. Masa, tokoh-tokoh itu hanya laki-laki? Saya sampai bikin tabel yang berisi siapa saja para perempuan yang sezaman dengan orang-orang yang dibahas dalam buku itu. Kadang saya bahkan menemukan lebih dari satu perempuan. Kalau tidak salah, saya juga mengirimkan tabelnya ke Ignas. Ignas itu teman lama dan pasti dia kenal pemikiran saya karena kami sama-sama di Prisma dulu. Saya waktu itu pas lagi sering ngobrol dengan Riwanto [Tirtosudarmo], kakak kelas saya di Fakultas Psikologi, yang menulis di dalam resensi [atas buku Ignas] bahwa Ignas tidak pernah mengaku dirinya feminis.
Respons saya: “You don’t have to be a feminist, you just have to be an Indonesian and a human being” (Anda tidak harus menjadi feminis, Anda hanya harus menjadi orang Indonesia dan manusia). Sebagai intelektual publik, kita harus siap terima kritik. Semua intelektual publik memang dalam posisi seperti itu. Itu bagian dari dialog yang memang harus terjadi.
Yang juga harus disadari bahwa dalam sejarah terdapat diskriminasi struktural terhadap perempuan yang membuat mereka tidak mendapat kesempatan. Sekarang ini dengan gerakan#MeToo (melawan pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan), seperti menyemangati feminisme kembali. Di Indonesia, #MeToo bergaung juga, meski tidak sekuat di Amerika dari mana ia berasal.
Masyarakat Indonesia itu sangat patriarkis. Bahkan saya pernah menulis kolom berjudul “My Mother the Patriarch” (Ibu Saya Sang Patriark) karena sikap ibu saya yang selalu berorientasi kepada laki-laki: tunduk kepada ayah saya dan selalu memihak kepada adik laki-laki saya. Patriarki itu suatu mentalitas, bukan tergantung jenis kelamin. Jadi bisa saja perempuan juga patriarkis. Dan di semua bidang, perempuan mengalami diskriminasi: pendidikan, kesehatan, apalagi di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika yang disingkat STEM (science, technology, engineering, mathematics).
Baru-baru ini saya baca bahwa Einstein dibantu sama istrinya tapi tidak pernah disebut. Kemudian ada kasus ilmuwan astronomi perempuan Jocelyn Bell Burnell yang menemukan pulsars (pulsating radio sources, yaitu bintang neutron yang berotasi dengan cepat), penemuan baru yang sangat signifikan, tapi yang mendapat hadiah Nobel untuk fisika di tahun 1974 adalah professor atasan Jocelyn.
Dulu saya pernah menegor langsung Alvin Toffler, penulis buku Future Shock (1970) yang amat terkenal itu ketika dia memberi ceramah di CSIS (Center for Strategic and International Studies) di Jakarta pada tahun 1988. Alvin datang bersama istrinya, Heidi Toffler, dan mereka duduk bersama di panggung. Dalam wawancara yang dilakukan wartawan dan diplomat senior Sabam Siagian, terungkap bahwa ternyata istrinya adalah co-author buku Future Shock tersebut.
Pada sesi tanya jawab, saya pun bertanya kepadanya, “Mengapa Anda bercerita bahwa Heidi itu menulis buku bersama Anda, tapi tidak dicantumkan namanya sebagai co-author?” Yang menjawab Heidi sendiri. Ia mengatakan bahwa sebagai orang Belanda, dia dibesarkan dengan prinsip “self-praise stinks” (memuji diri sendiri tidak elok). Wah, rupanya Heidilah yang menganut kepercayaan bahwa peran perempuan hanya sebagai penunjang. Patriarkis juga rupanya. Hal ini berlaku bagi buku-buku berikut mereka, The Third Wave (1980) dan Powershift (1990). Baru dengan buku War and Anti-war (1993), nama keduanya dicantumkan sebagai penulis.
Ada contoh lain dari awal abad ke-20: Will dan Ariel Durrant yang menulis 11 jilid The Story of Civilization [diterbitkan pada 1935-1975]. Mereka berdua suami-istri dan kedua nama mereka dicantumkan sebagai penulis.
Ya memang, tidak selalu perempuan tidak diakui. Bahkan Marie Curie memenangkan hadiah Nobel dua kali, pada tahun 1903 untuk fisika dan pada tahun 1911 untuk kimia. Kalau mau tau tentang perempuan-perempuan hebat yang mengubah dunia, bacalah Fantastically Great Women who Changed the World oleh Kate Pankhurst, yang terbit tahun 2016. Kebetulan Kate ini adalah keturunan Emmeline Pankhurst (1858-1928) aktivis politik Inggris dan suffragette yang memperjuangkan hak perempuan untuk memilih dalam pemilu.
Pada saat hampir bersamaan dengan penerbitan buku Ignas itu, diterbitkan juga bukunya Magdalene, Her Story: Perempuan Nusantara di Tepi Sejarah. Ada 100 perempuan Indonesia yang dibahas di situ, salah satunya Anda.
Buku Her Story jelas merupakan reaksi dan kritik terhadap patriarki yang merasuk di segala bidang, termasuk di dalam bidang intelektual. Saya salut kepada Devi Asmarani dan Hera Diani dari Magdalene yang menggagas dan menerbitkan buku ini yang sejauh ini tampaknya satu-satunya sejenis ini. Mungkin karena buku ini bersifat pop, pembahasan tokoh-tokoh yang ditampilkan kurang mendalam, tapi mungkin jadinya lebih kena untuk konsumsi umum. Kriteria seleksi mereka bagi saya ada yang kurang jelas, misalnya mengapa mereka tidak memasukkan Ibu Saparinah Sadli, tokoh yang sangat berjasa memperjuangkan hak perempuan. Tanpa Bu Sap, Komnas Perempuan tidak akan berdiri.
Saya juga membaca kritik terhadap subjudul buku ini, yaitu “Di Tepi Sejarah”, padahal kebanyakan perempuan yang ditampilkan sangat mainstream. Juga ada yang mempertanyakan, apakah maksudnya menampilkan tokoh feminis atau sekedar tokoh perempuan? Kalau yang kedua, maka bisa dipahami mengapa Ibu Pia Alisjahbana dimasukkan. Ia pebisnis yang bersama beberapa anggota keluarganya mendirikan Femina Group yang sangat berhasil, tapi saya tidak terlalu menganggapnya sebagai tokoh feminis. Namun, upaya Magdalene mendobrak benteng patriarki dengan cara seperti ini jelas patut dipuji dan dihargai.
Perlukah kaum perempuan Indonesia menulis sejarah intelektual mereka sendiri?
Iya, tentu perlu. Tapi mesti dibedakan dengan sejarah pergerakan perempuan, karena tidak setiap intelektual aktif di pergerakan, juga sebaliknya tidak setiap yang di pergerakan disebut intelektual. Ciri intelektual adalah produksi pengetahuan yang dituangkan dalam tulisan. Mungkin saja jadi basis pergerakan, mungkin tidak. Hubungan antara sejarah intelektual dan sejarah pergerakan dialektis sifatnya. Sudah sejak sekitar 30 tahun yang lalu saya punya keinginan menulis sejarah Indonesia dari perspektif feminis. Sekarang, semakin lama saya semakin fokus ke sejarah. Itu juga satu kewajaran. Misalnya buku saya, Ibuisme Negara, tesisnya selesai tahun 1989 (terbit sebagai buku dwibahasa 2011), merupakan telaah sosiologis dan politis zamannya ketika itu. Tapi sekarang, di tahun 2021, ia menjadi buku sejarah.
Sekarang ini, sepertinya kaum feminis juga punya kesadaran tentang pentingnya menulis sejarah dengan perspektif feminis. Sering aktivis perempuan mengatakan, “kita harus menulis sejarah kita sendiri”, tapi tidak ada yang melakukannya. Tadinya saya ingin mengerjakannya sendiri, tapi saya pikir akan lebih baik jika dikerjakan secara kolektif karena merupakan pekerjaan masif—tidak sanggup saya kalau sendiri. Dan lebih elok kan, kalau menjadi karya, ekspresi dan tanggung jawab bersama tokoh-tokoh feminis yang memang sudah terbukti kiprahnya membela kaumnya maupun rakyat Indonesia pada umumnya.
Sebenarnya keinginan saya menulis sejarah Indonesia dari perspektif feminis, bukan semata-mata sejarah pergerakan perempuan. Misalnya Ibuisme Negara. Betul bahwa Ibuisme Negara menelaah ideologi gender Orde Baru, tapi sebetulnya tujuan utama saya adalah menunjukkan bagaimana negara menguasai dan mengontrol masyarakat, salah satunya dengan menggunakan ideologi, yaitu Pancasila. Di dalam tesis/buku Ibuisme, saya membuat diagram yang menunjukkan bagaimana kekuasaan negara itu seperti cahaya matahari yang bisa menembus sektor politik, sosial, ekonomi, budaya, dan ideologi. Di dalam sektor ideologi ini, ideologi gender Orde Baru adalah turunan Pancasila untuk perempuan yang merupakan 50 persen penduduk Indonesia. Dahsyat, kan? Dan manusia mana yang tidak terkait dengan perempuan? Dengan cara ini, semua keluarga dan rakyat Indonesia bisa dikuasai negara Orde Baru tersebut.
Nah, perspektif feminis itu memberikan gambaran yang lebih komplit dan lebih dalam untuk memahami dinamika sosial dan politik. Slogan feminis “the personal is political” (yang pribadi itu juga politis) sangat berguna untuk melengkapi pendekatan ilmu politik yang cenderung hanya melihat lembaga negara, parpol, pemilu dengan pendekatan yang sangat maskulinis kekuasaan saja.
Romo Franz Magnis-Suseno pernah mengatakan bahwa dengan Ibuisme Negara, “Julia telah memberikan sosiologi politik sebuah konsep baru yang berguna secara analitis.” Saya sangat menghargai pernyataan Romo Magnis yang betul-betul menangkap esensi tesis saya.
Bagaimana Anda memosisikan feminisme di Indonesia secara akademik dan sebagai gerakan sosial-politik?
Wah ini pertanyaan besar dan berat. Kalau di perguruan tinggi, di fakultas ilmu sosial, psikologi, sosiologi, dan humaniora, studi gender sudah ada sejak 1975 diawali di FISIP UI. Di Fakultas Hukum juga sangat berkembang. Teman saya, Arimbi Heroepoetri, pernah mengajar ekologi politik feminis di Pusat Studi Gender Pascasarjana UI selama 10 tahun (2000-2010), tapi topik itu sudah tidak ada lagi, entah mengapa. Di level pemerintah, ada pengarusutamaan gender (PUG) yang sudah dijalankan di semua lini pemerintah sejak tahun 2000, tapi sepertinya cenderung hanya di atas kertas. Bukannya tidak ada pejabat yang sadar gender, tapi yang bersikap bias gender bahkan misoginis juga amat banyak, mungkin lebih banyak.
Tapi pada umumnya orang menjadi anti-feminis karena budaya patriarki di Indonesia teramat kuat, yang diperparah oleh persepsi yang sangat terdistorsi mengenai apa itu feminisme dan feminis itu bagaimana. Feminis dipersepsikan sebagai anti laki-laki, egois, melawan kodrat, tidak mau mengurus keluarga, tidak mau menikah, tidak mau masak atau mengerjakan pekerjaan domestik, dan tidak suka dandan. Padahal saya melakukan semua itu, jadi saya bukan feminis dong? Ha ha ha… Ini jelas salah kaprah besar.
Ada isu juga dengan istilah ‘feminisme’ yang dianggap dari Barat, liberal, hanya membantu perempuan, dan anti-agama (bahkan ateis). Kalau istilah ‘gender’, mungkin masih diterima. Menurut Nina Nurmila, dosen di UIN Sunan Gunung Jati, resistensi terhadap istilah ‘feminisme’ itu sangat kuat. Ada feminis Muslim progresif yang sebenarnya mau menggunakan istilah ‘feminisme’, tapi takut ditinggalkan konstituennya.
Perlu diingat, di Indonesia ada feminis sekuler dan feminis Muslim. Dulu, mungkin sekitar 1990-an, sempat ada masalah, terutama bagi feminis Muslim. Oleh komunitas Muslim dari mana mereka berasal, mereka dianggap menyalahi agama. Sementara oleh feminis sekuler, mereka dianggap kontradiktif: bagaimana mungkin perempuan Muslim itu feminis? Ini karena persepsi bahwa Islam cenderung patriarkis, menekan perempuan, dan mengonstruksikan perempuan sebagai subordinat. Juga ada anggapan bahwa perempuan di ranah publik adalah sumber persoalan sosial dan moral.
Tapi menurut Lies Marcoes, feminis Muslim terkemuka di Indonesia (dan kebetulan mantan asisten penelitian saya untuk Ibuisme Negara di tahun 1984), proses konvergensi antara feminis sekuler dan Muslim bagus dan mampu menjembatani perbedaan kultural di mana feminis Muslim “dari kampung”, sedangkan feminis sekuler adalah kaum urban yang membaca teks-teks berbahasa Inggris. Memang konvergensi ini tidak mudah karena Islam sudah memiliki konsep mapan tentang peran gender laki-laki dan perempuan. Tapi untungnya, kata Lies, kita punya pesantren yang kuat dalam tradisi membaca teks dan metodologi membongkar teks. Banyak feminis Muslim di Indonesia berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) yang bergerak dari riset teks ke riset sosial.
Tapi sekarang ini feminis Muslim maupun sekuler menghadapi “musuh bersama”, yaitu patriarki yang semakin melembaga baik di level negara maupun masyarakat: keluarga, adat dan agama. Dan sekarang bisa dikatakan hubungan feminis Muslim maupun sekuler sangat indah, saling mendukung, misalnya dalam soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang tak kunjung disahkan. Feminisme Islam dan sekuler mungkin memiliki wacana yang berbeda, tapi pada akhirnya ingin mencapai keadilan bagi perempuan di semua bidang.
Perlu dicatat, Indonesia semakin memiliki banyak feminis laki-laki. Sama dengan perempuan, ada feminis laki-laki yang sekuler dan juga Muslim. Yang selalu saya sebut adalah Kiai Husein Muhammad dari Cirebon, yang berkiprah di bidang kesetaraan gender sejak 1993. Selain kiai pesantren (Dar at Tauhid), ia pernah juga menjabat Komisioner Komnas Perempuan selama dua periode, mendirikan tiga LSM feminis Muslim (Rahima, Fahmina, dan Puan Amal Hayati), dan menulis seabrek buku yang berkaitan dengan feminisme Islam. Selain Kiai Husein, sudah banyak sekali feminis Muslim laki-laki yang kiprahnya luar biasa. Bahkan ada juga yang memperjuangkan hak LGBTIQ atas dasar kepercayaan bahwa kita semua mahluk Tuhan. Menurut Kiai Husein, telah lahir banyak kader yang mengerti tentang isu gender, juga lembaga yang punya komitmen untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Buku-buku juga banyak yang sudah diterbitkan untuk bicara soal isu ini.
Baik feminis Muslim maupun sekuler, perempuan maupun laki-laki, sangat aktif dalam berbagai kegiatan mereka: riset, menulis, mengajar, advokasi, dan, jika perlu, demo turun ke jalan. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, pada saat ini memang masih ada kesenjangan antara feminisme akademik, feminisme pemerintahan dengan realitas yang menjadi tantangan bagi aktivis feminis, baik sekuler masupun Islam. Sudah waktunya kita menghapus sekat-sekat ini agar kesetaraan gender tidak hanya menjadi wacana, padahal realitas perempuan semakin didiskriminasi dan disubordinasikan.
==========
Wawancara ini telah direvisi pada 3 September 2021. Terdapat sejumlah keberatan dari pihak yang diwawancarai dan dari pihak lain yang disinggung dalam interviu ini.
Penulis: Indira Ardanareswari & Ivan Aulia Ahsan
Editor: Windu Jusuf