Menuju konten utama
Mozaik

Kisah Suleyman dan Ayla yang Terselip dalam Perang Korea

"[Saya] memegang kakinya sambil menangis, dia terus mengatakan akan kembali untukku dalam beberapa hari," ujar Ayla mengenang perpisahan memilukan itu.

Kisah Suleyman dan Ayla yang Terselip dalam Perang Korea
Header Mozaik Suleyman & Ayla. tirto.id/Fuad

tirto.id - Suatu hari di tahun 2010, seorang lelaki berusia 84 tahun bernama Suleyman Dilbirliği, bersama istrinya, Nuran, duduk di salah satu bangku Taman Yeouido, Seoul Barat, Korea Selatan.

Hari itu menjadi hari yang sangat dinantikan oleh Suleyman. Ia akan bertemu kembali dengan Ayla, anak angkatnya. Setelah beberapa saat menunggu, ia menoleh ke salah satu arah dari taman seraya berkata, "Apakah sebelah sana itu Ayla?"

Ia segera berjalan diikuti istrinya, menuju Ayla yang datang bersama anak dan cucunya. Seketika suasana haru tercipta. Isak tangis tak terbendung ketika keduanya berpelukan melepas rindu.

"Kenapa begitu lama? kenapa tidak segera?" tanya Ayla kepada Suleyman sebagaimana disiarkan MBC.

Pertemuan itu bukan pertemuan biasa. Keduanya telah berpisah selama hampir 60 tahun. Meski tak ada hubungan darah, Suleyman menganggap Ayla sebagai anaknya, juga sebaliknya, ia adalah ayah bagi Ayla.

Ayla yang dalam bahasa Turki berarti "cahaya bulan" merupakan nama pemberian Suleyman untuk Kim Eunja saat masih berusia 5 tahun. Ia menemjkan anak itu tengah menangis di tengah hutan Kunu-ri dalam kecamuk Perang Korea pada tahun 1950. Kisah ini telah diangkat ke dalam film berjudul Ayla: The Daughter of War (2017).

Kala itu, Suleyman yang merupakan seorang sersan, diutus negaranya sebagai staf teknis pasukan Turki yang dikirim untuk membantu Korea Selatan menghadapi Korea Utara.

Sepak terjang Brigade Turki

Seturut Cevdek Kirvik dalam artikel "Understanding the Past with Oral History: The Korean War from the Perspective of the Veterans of Kadirli", kesediaan Turki mengirim bantuan militer untuk pasukan koalisi PBB merupakan batu loncatan agar dapat menjadi anggota NATO. Hal ini penting karena Turki saat itu berada dalam ancaman Uni Soviet.

Dalam buku The History of the United Nations Forces in the Korean War (1972), bantuan pertamanya merupakan Brigade Turki ke-1 yang berjumlah 5.909 personel, berangkat dari Iskenderun dan tiba di Busan, Korea, pada 17 Oktober 1950.

Pasukan ini berasal dari Resimen Infanteri ke-242 di bawah pimpinan Brigade Jenderal Tahsin Yazici. Terdiri dari satu batalion artileri lapangan, satu kompi insinyur, satu kompi transportasi, satu kompi medis, satu kompi persenjataan, satu peleton sinyal, dan satu bagian penerbangan.

Dari Busan mereka bergerak menuju Taegun, pos penerimaan PBB untuk pasukan koalisi. Sejak itu, disepakati Brigade Turki ke-1 akan mendapat segala keperluan logistik perang dari Amerika Serikat. Pada 10 November 1950, mereka dimasukkan sebagai bagian dari Divisi ke-25 Amerika Serikat.

Selama Perang Korea, Brigade Turki yang dikenal dengan kemampuan pertahanan bayonet dan tangan kosong, dilibatkan dalam pertempuran di Kunu-ri, Wawon, Sillim-ni, Kumyangjan-ni, Suri-san, hingga pertempuran Nevada Complex di sebelah timur Panmunjom sebagai pasukan garis terdepan.

Pertempuran Kunu-ri pada November 1950 menjadi momentum berharga bagi Turki dalam mendapat pengakuan dari Amerika Serikat. Saat itu, Brigade Turki ke-1 berhasil mematahkan serangan dari pasukan Communist Chinese Forces (CCF). Mereka menghambat laju pasukan yang memihak kepada Korea Utara untuk masuk ke wilayah selatan.

Namun di bulan yang sama, Brigade Turki ke-1 justru membuat kesalahan dalam pertempuran di wilayah Songbul-gol saat mereka menuju Wawon di utara. Ketika itu mereka menahan sekitar 200 personel pasukan Korea Selatan yang merupakan sekutunya karena kemiripan fisik antara orang Korea dengan Tiongkok.

Meski begitu, kemampuan Brigade Turki dalam bertempur tetap diperhitungkan hingga mendapat penghargaan Presidential Unit Citation.

"Turki adalah pahlawan dari para pahlawan. Tidak ada yang mustahil bagi Brigade Turki," ujar Komandan Pasukan Koalisi PBB, Jenderal Douglas McArthur dikutip dari laman Turkish Coalition of America.

Hingga Brigade Turki ke-4 meninggalkan Korea Selatan pada 1954, Pemerintah Turki secara bergilir telah mengirim bantuan sebanyak 15.000 personel militer. Menjadikannya sebagai negara keempat terbesar dari 16 negara yang memberi bantuan personel milite dalam pasukan koalisi PBB untuk membantu Korea Selatan.

Selama perang, korban tewas, luka-luka, dan ditawan dari pihak Turki mencapai 2.365 jiwa. Menjadikannya sebagai negara terbesar ketiga yang mengalami kerugian dalam Perang Korea.

Sekolah Ankara dan Perpisahan

Perang memakan korban jiwa dan melahirkan anak yatim. Pada 1950, Turki mendirikan Sekolah Ankara yang juga difungsikan sebagai panti asuhan.

Mengutip The Korea Herald, hingga dibubarkan pada 1954, sekolah ini telah menampung sebanyak 800 anak Korea yang diberi pelajaran tentang musik, bahasa Inggris, dan kebudayaan Turki.

Kim Eunja alias Ayla tinggal di sekolah itu sejak ditinggalkan Suleyman yang dipindahtugaskan ke Jepang pada 1951. Sebelum berpisah, Suleyman bersiasat dengan memasukkan Ayla ke dalam koper besarnya agar dapat membawanya keluar dari Korea.

Nahas, beberapa saat sebelum naik ke kapal laut yang akan membawanya pergi, koper yang dibawanya dibongkar dalam pemeriksaan di pelabuhan. Akhirnya mereka harus berpisah. Alasannya, saat itu semua anak yatim yang tinggal di Sekolah Ankara menjadi tanggung jawab Pemerintah Korea Selatan.

"[Saya] memegang kakinya sambil menangis, dia terus mengatakan akan kembali untukku dalam beberapa hari," ujar Ayla mengenang perpisahan memilukan itu, dikutip dari Korea JoongAng Daily.

Dalam film Ayla: The Daughter of War (2017) dikisahkan Suleyman tak kunjung menemui Ayla. Ia harus kembali ke Turki untuk memenuhi janji menikahi perempuan pujaannya. Namun, niat itu tidak terwujud, kekasihnya telah menikah dengan pria lain. Suleyman akhirnya menikah dengan Nuran, perempuan pilihan orang tuanya.

Infografik Mozaik Suleyman dan Ayla

Infografik Mozaik Suleyman & Ayla. tirto.id/Fuad

Di awal pernikahan, ia tetap memikirkan Ayla. Bahkan cenderung mengabaikan perhatian dari istrinya. Meski demikian, Nuran yang memahami kondisi suaminya bersedia membantunya untuk menemukan Ayla.

Beragam upaya dilakukan keduanya untuk mencari keberadaan Ayla, salah satunya dengan menghubungi Dinas Pariwisata Korea Selatan untuk Turki. Sayang dalam dokumentasi riwayat anak-anak yang hidup di masa Perang Korea tidak terdapat nama Ayla. Dulu Suleyman lupa menanyakan nama aslinya ketika mereka berpisah.

Harapan mulai tampak ketika stasiun televisi Chuncheon MBC hendak membuat sebuah film dokumenter tentang Perang Korea. Mereka mengetahui upaya pencarian panjang Suleyman untuk menemukan Ayla.

Setelah berhasil menemui Suleyman di Turki, Chuncheon MBC kemudian menemui Ayla di Incheon dengan membawa sejumlah foto kebersamaannya dengan Suleyman di masa lalu.

"Saya tidak percaya, mereka bilang ayah saya mencari saya dan menghubungi kantor pariwisata Korea di Turki," tutur Ayla.

Setelah pertemuan di Taman Yeouido hingga film Ayla: The Daughter of War dirilis, mereka tetap berhubungan dengan bertukar surat.

Pada 7 Desember 2017, di usianya yang ke 91, Suleyman mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Haydarpasa Numune, Istanbul.

Ayla yang turut menemani detik-detik terakhir sosok yang telah menyelamatkannya ketika Perang Korea, tak kuasa menahan tangis. Kesedihan berlanjut, sehari kemudian Nuran menyusul kepergian suaminya.

Baca juga artikel terkait THE DAUGHTER OF WAR atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi