Menuju konten utama
9 Januari 1996

Kisah Abdullah Al Qasemi Memopulerkan Ateisme di Timur Tengah

Al Qasemi menghebohkan Timur Tengah, ia memutuskan pindah dari penganut Salafi menjadi seorang intelektual ateis yang gencar menentang ajaran-ajaran Islam.

Kisah Abdullah Al Qasemi Memopulerkan Ateisme di Timur Tengah
Ilustrasi Mozaik Alqasemi. tirto.id/Rangga

tirto.id - “Menjadi orang Arab dan menjadi ateis sekaligus merupakan hal yang sangat sulit. Sejauh menyangkut masyarakat Arab, secara terbuka menyatakan ketidakpercayaan kepada Tuhan adalah hal yang mengejutkan dan terkadang berbahaya untuk dilakukan. Hal ini dapat menyebabkan dikucilkan oleh keluarga, teman, dan komunitas lokal… selain itu, tuduhan murtad, di beberapa negara bisa dihukum mati,” demikian tulis Brian Whitaker dalam pembuka artikelnya di al-bab.

Jika ukurannya adalah jumlah penganut, Islam adalah ajaran monoteisme nomor dua terbesar di dunia setelah Kristen. Ajaran Islam telah berkembang menjadi agama yang terorganisasi sejak kemunculannya sekitar abad ke-7. Praktis, Islam jadi agama paling "muda" di antara tiga ajaran Abrahamik monoteis setelah Yahudi dan Kristen. Dalam perkembangannya, muncul berbagai aliran dan variasi ajaran agama Islam yang memperkaya warna keislaman di berbagai belahan dunia.

Selain memberi pengaruh pada perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan spiritual, mulai bermunculan juga para intelektual dan pemimpin politik Islam yang diakui dunia karena kontribusinya terhadap kemanusiaan. Umumnya, mereka muncul di Timur Tengah, karena di sanalah pusat dan awal mula perkembangan ajaran Islam.

Meski begitu, tidak sedikit orang-orang yang lahir di keluarga dan komunitas Islam justru menentang ajaran yang mereka terima sejak kecil. Pada 2004, Ahmed al-Baghdadi, intelektual Kuwait, menerbitkan artikel berjudul "Is There No End to This Backwardness" yang merupakan protesnya terhadap Kementerian Pendidikan Kuwait karena sebuah komite khusus dibentuk untuk mengganti kelas musik menjadi kelas agama tambahan. Bagi Baghdadi, hal ini merupakan perusakan sistematis terhadap pendidikan.

“Saya tak punya kata-kata lain. Tuhan telah mengutuk orang-orang dalam komite ini dengan keterbelakangan intelektual dalam kehidupan ini dan kehidupan lainnya,” kata Baghdadi seperti dikutip Al Monitor.

Pada 2010, Waleed al-Husseini, blogger Palestina, ditangkap karena tuduhan menghina agama Islam di Internet. Beruntung, setelah sekitar 10 bulan, ia akhirnya dibebaskan dengan jaminan dan meninggalkan negaranya menuju Prancis. Dua tahun kemudian, Alber Saber, anak keturunan keluarga Kristen Koptik di Mesir yang mendaulat dirinya sebagai ateis, dijerat hukuman 3 tahun penjara dengan tuduhan penodaan agama Kristen dan Islam, menghina ketuhanan, dan menyindir ritual agama dan kesucian pada nabi.

Infografik Mozaik Alqasemi

Infografik Mozaik Alqasemi. tirto.id/Rangga

Beberapa kasus itu menunjukkan bahwa di beberapa negara ateisme dianggap sebagai kriminalitas. Lebih jauh, penilaian terhadap ateisme seseorang bersifat sangat subyektif. Seseorang bisa dengan mudah dituduhkan ateis karena ekspresi anti agama, kritik terhadap agama, bahkan usaha seseorang untuk mencari ilmu dari perspektif lain di luar agama yang dianut keluarga yang melahirkannya.

Di awal era modern abad ke-20, keberadaan para "penentang" doktrin agama ini hampir tidak terdeteksi. Hal ini karena mereka harus menyembunyikan hasrat untuk menentang atau pun sekadar menuntut ilmu di luar khazanah pemikiran Islam.

Dalam dunia Islam Timur Tengah, salah satu tokoh intelektual yang punya peran penting dalam sejarah pemikiran Islam sekaligus menjadi kontroversi besar adalah penganut Salafi bernama Abdullah Al-Qasemi. Ia membuat heboh di tanah Timur Tengah karena memutuskan untuk pindah dari penganut Salafi tulen menjadi seorang intelektual ateis yang gencar menentang ajaran-ajaran Islam.

Qasemi lahir pada 1907 di Buraydah, Emirate of Nejd and Hasa--kini Arab Saudi. Sejak sekolah di Sheikh Ali Mahmoud School, ayahnya selalu menekankan pentingnya pendidikan agama Islam. Titik balik dalam hidupnya terjadi ketika ayahnya meninggal pada 1922 yang membuatnya bebas untuk menentukan arah lanjutan dalam proses pendidikannya. Kecerdasan Qasemi mendapat perhatian dari seorang pedagang bernama Abdulaziz Al-Rashed Al-Humaid yang membawanya mengunjungi India dan Syria, sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan formal di Sheikh Amin Shanqeeti School.

Di masa mudanya, Qasemi tekun mempelajari sastra Arab, ilmu hadis, dan syariah. Ia juga sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo dan akhirnya memutuskan untuk menetap di kota itu.

Dari Salafi ke Ateis

Peristiwa yang mengawali berbagai kontroversi dalam hidup Qasemi kemungkinan besar dimulai ketika ia dikeluarkan dari Universitas Al-Azhar. Alasannya ia ngotot membela gerakan Salafi. Gerakan yang juga dikenal dengan sebutan Salafiyah atau Salafisme ini merupakan gerakan reformasi di kalangan Islam Sunni. Nama Salafi diambil dari anjuran untuk kembali kepada pemahaman "leluhur", "orang-orang terdahulu" (salaf), tiga generasi awal Muslim yang mengetahui ajaran Islam yang "murni".

Kaum Salafi berpendapat bahwa umat Islam harus berpegang pada Al-Quran, hadis, dan ijma (konsensus) ulama. Dengan prinsip demikian, Salafi menolak inovasi agama atau bid’ah dan mendukung penerapan syariat (hukum Islam).

Prinsip-prinsip Salafi inilah yang dipegang teguh Qasemi dalam pendidikan agama Islam. Ia membuktikan dengan rela dikeluarkan dari kampus karena keyakinannya itu. Akan tetapi, dalam perkembangannya, Qasemi perlahan menarik diri dari Salafisme. Publik bahkan mengenalnya sebagai satu dari sangat sedikit orang Arab pada masa itu yang resmi menyatakan keputusan untuk berhenti menjalankan kewajiban agama Islam.

Perubahan radikal ini membuat heboh kalangan intelektual Arab. Kesan itu semakin dipertegas dengan dipublikasikannya buku karya Qasemi berjudul They Lie to See God Beautiful. Buku yang ditulis dalam bahasa Arab itu rupanya membuat Qasemi menjadi sasaran upaya pembunuhan. Setidaknya dua kali upaya pembunuhan terhadap Qasemi yang diketahui publik. Pertama di Beirut, kedua di Kairo. Meski begitu, kedua upaya itu tak pernah benar-benar dikonfirmasi sejauh mana kebenarannya.

Upaya pembunuhan itu tidak menyurutkan nyali Qasemi. Ia bahkan sempat menerbitkan buku-buku lain dengan judul yang terbilang provokatif bagi kalangan religius. Di antaranya The Universe Judges the God dan The Conscience of the Universe, keduanya terbit dalam bahasa Arab.

Dalam buku-bukunya, Qasemi mendiskusikan masalah eksistensi Tuhan sambil terus mengkritik agama. Publik Timur Tengah langsung mendaulatnya sebagai ateis dan buku-bukunya dilarang di seluruh tanah Arab. Pada 1954 otoritas Mesir menyatakan status Qasemi sebagai persona non grata (orang yang tidak diinginkan) menyusul semakin besarnya pengaruh Qasemi di antara para mahasiswa Yaman yang sedang belajar di Mesir.

Karena hal inilah Qasemi harus mengungsi ke Lebanon. Di pengungsian, ia tak berhenti memopulerkan alternatif ide yang ia sebut sebagai liberalisme sekuler sebelum akhirnya diizinkan kembali ke Mesir atas intervensi Raja Saudi. Namun, Qasemi tetap tidak kembali ke tanah kelahirannya karena masih gencarnya ancaman pembunuhan, terutama setelah publikasi bukunya yang berjudul There are the Cuffs yang menggemparkan seluruh Saudi.

Di masa tuanya, Qasemi terbaring sakit akibat kanker. Ia masuk rumah sakit pada 12 Desember 1995 dan meninggal pada 9 Januari tahun berikutnya, tepat hari ini 26 tahun yang lalu.

Baca juga artikel terkait ATEISME atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi