Menuju konten utama

Kereta Cepat Adalah Jebakan Utang Cina, Apa Iya?

Renegosiasi utang KCJB dengan memperpanjang tenor hingga 60 tahun serta cicilan Rp1,2 triliun per tahun bukan kompromi fiskal tanpa risiko.

Kereta Cepat Adalah Jebakan Utang Cina, Apa Iya?
Presiden Prabowo Subianto saat menaiki kereta cepat Whoosh dari Stasiun Halim, Jakarta Timur, Rabu (6/8/2025). Tirto.id/Muhammad Naufal

tirto.id - Presiden Prabowo Subianto akhirnya angkat bicara atas perkara utang Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC). Setelah berbulan-bulan proyek mercusuar itu ramai jadi sorotan, ia muncul dengan respons yang menyiratkan pemahaman sekaligus rasa percaya diri yang besar.

Kepala Negara bahkan meyakinkan masyarakat bahwa moda transportasi yang digeber era Joko Widodo itu tak bermasalah. Alasannya sederhana: di seluruh dunia, infrastruktur transportasi berorientasi pada pelayanan publik. Dan karena manfaat keberadaannya turut dirasakan oleh masyarakat, pemerintah harus rela mengeluarkan ongkos public service obligation.

"Enggak usah khawatir ribut-ribut Whoosh. Saya sudah pelajari masalahnya," ujarnya setelah meresmikan revitalisasi Stasiun Tanah Abang Baru, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025). "Kita bayar mungkin Rp1,2 triliun per tahun. Tetapi menfaatnya mengurangi macet, mengurangi polusi, mempercepat perjalanan, ini semua harus dihitung," jelasnya.

Problemnya, pernyataan Prabowo justru mengonfirmasi kekhawatiran banyak kalangan: kereta cepat yang semula dirancang dengan skema business to business (BtoB), pada ujungnya akan menjadi beban bagi kas negara. Bahkan, beberapa kalangan menilai bahwa pemerintah telah jatuh ke dalam jebakan utang Cina.

Namun Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai proyek tersebut belum otomatis dikatakan 'debt trap'. Memang, kata dia, terdapat sejumlah indikator yang dapat menjustifikasi kekhawatiran tersebut.

Pertama, lonjakan biaya atau cost overrun yang disepakati sekitar 1,2 miliar dolar AS pada Februari 2023. Kedua, ketergantungan proyek Whoosh pada pembiayaan dari China Development Bank (CDB)—dengan porsi utang mencapai 75 persen dari nilai investasi.

"Ketiga, kinerja pendapatan yang harus mengejar biaya dan kewajiban utang dalam waktu panjang. Tiga hal ini, jika tidak dibenahi, bisa mengarahkan proyek ke beban fiskal terselubung," kata Achmad saat dihubungi Tirto, Rabu (5/11/2025).

Hemat Achmad, buruk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) masih sebatas pada kesalahan dalam mengkalkulasi ekspektasi dan mitigasi risiko. Pada tahap awal, Indonesia memilih skema cepat—porsi utang tinggi dan asumsi trafik super optimistis—tanpa menyiapkan upaya pengaman ketika biaya membengkak dan pembangunan molor dari jadwal.

Asal tahu saja, pada proyek kereta cepat, gelontoran kredit dari CDB diganjar dengan bunga sebesar 3,4 persen, jauh lebih tinggi dari harapan pemerintah Indonesia sebesar 2 persen.

Struktur pembiayaan yang terlalu bergantung pada satu sumber ini, menurutnya, tidak sehat mengingat porsi utang mayoritas dibebankan kepada konsorsium BUMN (sebesar 75 persen). Imbasnya, ketika proyek mengalami cost overrun, mau tak mau pemerintah terlibat memberikan penyertaan modal negara (PMN) untuk menambal sebagian pembekakkan biaya.

Dus, proyek yang semulai b-to-b tersebut ikut menyeret pemerintah pada kontinjensi terbatas, di mana kewajiban finansial tertentu, terutama terkait pembayaran utang, akan melibatkan APBN untuk membatasi risiko kerugian penuh yang ditanggung langsung konsorsium BUMN .

"Di sini, arsitektur fiskal dan tata kelola proyek diuji: apakah negara mampu mengubah beban menjadi kewajiban yang terukur, atau justru menumpuk “biaya diam” yang memakan ruang APBN ke depan," jelasnya.

Achmad juga menyoroti proses negosiasi yang berujung perpanjangan tenor pembayaran hingga 60 tahun. Alih-alih meringankan, kabar restrukturisasi utang KCJB yang disampaikan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan tersebut hanya merenggangkan arus kas jangka pendek dan menambah beban bunga serta ketidakpastian jangka panjang.

Padahal, ada sejumlah opsi restrukturisasi yang lebih ideal. Pertama, pemerintah dapat menerapkan revenue-linked repayment, di mana cicilan mengikuti kinerja pendapatan proyek, sehingga beban tidak kaku ketika trafik melemah.

Kedua, konversi sebagian utang ke ekuitas agar risiko dibagi dan insentif kreditor-operator selaras. Ketiga, swap kurs/tingkat bunga untuk meredam volatilitas. keempat, milestone-based grace period sehingga pembayaran penuh baru berlaku setelah indikator operasi–okupansi tercapai.

"Analogi yang memudahkan seperti kontrak sewa kendaraan berbasis kilometer, bukan waktu kalender, bayar sesuai pemakaian nyata, bukan asumsi yang terlalu optimistis. Negosiasi semacam ini masuk akal mengingat pemerintah memang tengah membuka kanal pembahasan restrukturisasi dengan pihak Tiongkok," tuturnya.

Lebih jauh, agar utang KCJB tak berubah menjadi 'liability trap' permanen, pemerintah dapat melakukan audit independen menyeluruh atas struktur biaya, kontrak, dan proyeksi usaha Whoosh kedepan. Di ari sisi bisnis, optimalisasi pendapatan, integrasi antarmoda, tarif dinamis, hingga pengembangan TOD/komersial di simpul stasiun untuk mengerek pemasukan non-tiket juga perlu dilakukan--terlebih penumpang kumulatif KCIC hingga Oktober tahun ini sudah menembus 5,1 juta dan rekor harian di atas 26 ribu.

"Jika tidak, perpanjangan tenor 60 tahun hanya akan menunda masalah—sebuah rel panjang menuju beban fiskal lintas generasi. Ini harus kita tolak," ungkap Achmad.

Pemikiran yang sama diungkapkan oleh Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Muhammad Anwar. Menurutnya, istilah “jebakan utang” biasanya muncul ketika sebuah negara kehilangan kendali atas aset strategisnya karena gagal membayar pinjaman luar negeri. Namun dalam konteks proyek KCJB, situasinya tidak serta-merta mengarah ke sana.

Meski begitu, ia tak memungkiri bahwa proyek yang dsemula iklaim murni b-to-b ini pada ujungnya tercederai karena pemerintah akhirnya memberikan sovereign guarantee terbatas dan PMN.

"Kita harus melihat bahwa pinjaman itu bukanlah pinjaman negara-ke-negara (sovereign loan), melainkan berbentuk business-to-business (B2B) melalui konsorsium PT KCIC. Artinya, risiko keuangan secara hukum berada di level korporasi, bukan langsung membebani APBN secara penuh," jelasnya kepada Tirto.

Anwar juga menekankan bahwa renegosiasi utang dengan memperpanjang tenor hingga 60 tahun dan cicilan Rp1,2 triliun per tahun bukan kompromi fiskal tanpa risiko. Di satu sisi, skema ini memang menurunkan beban tahunan negara secara signifikan dibandingkan pembayaran jangka pendek, dan memberikan pemerintah ruang fiskal yang lebih longgar untuk program prioritas rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial.

Namun di sisi lain, membayar utang selama enam dekade berarti menyeret kewajiban lintas generasi. Ini berpotensi menjadi beban fiskal laten yang diam-diam menggerus kemampuan negara membiayai kebutuhan publik di masa depan.

"Jika proyek kereta cepat tidak menghasilkan pendapatan memadai atau biaya operasionalnya terus tinggi, pembayaran cicilan itu akan diambil dari dana publik alih-alih dari hasil usaha proyek itu sendiri. Dalam situasi fiskal yang ketat dan ketergantungan pada utang baru untuk menutup defisit, strategi ini bisa berubah menjadi bentuk “penundaan beban”, bukan penyelesaian masalah," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KCIC atau tulisan lainnya dari Natania Longdong

tirto.id - Insider
Reporter: Natania Longdong
Penulis: Natania Longdong
Editor: Hendra Friana