Menuju konten utama
Kenaikan Upah Minimum 2022

Kenaikan UMP 2022 Tipis Bikin Buruh Menjerit, Pemerintah Bisa Apa?

Kenaikan UMP 2022 yang naik tipis dan tak sebanding inflasi memicu protes buruh, pemerintah bisa apa?

Kenaikan UMP 2022 Tipis Bikin Buruh Menjerit, Pemerintah Bisa Apa?
Pengunjuk rasa membentangkan poster di kawasan Patung Kuda, jakarta, Rabu (10/11/2021). ANTARA FOTO/Paramayuda.

tirto.id - Gelombang penolakan terkait penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 terus disuarakan kalangan pekerja dan buruh di berbagai wilayah. Buruh di beberapa wilayah cukup gencar menyuarakan protes terhadap rencana penetapan UMP tahun depan itu disusul rencana mogok nasional yang akan digelar 6-8 Desember 2021 mendatang.

Salah satunya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan berbagai federasi buruh siap mogok kerja selama tiga hari pada awal Desember 2021. Presiden KSPI Said Iqbal menjelaskan mogok nasional akan diikuti oleh 2 juta buruh di ratusan ribu pabrik di 30 lebih provinsi dan ratusan kabupaten/kota.

“Kami memutuskan mogok nasional, setop produksi yang rencananya akan diikuti oleh 2 juta buruh lebih dari ratusan ribu pabrik akan berhenti atau stop produksi. Ini adalah legal dan ini adalah konstitusional," kata Said Iqbal Selasa (16/11/2021).

Aksi mogok yang direncanakan para buruh itu sebagai respons atas pernyataan pemerintah lewat Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang menyebut bahwa upah tahun 2022 hanya naik 1,09 persen secara rata-rata nasional, seperti diberitakan Antara.

Alasan UMP 2022 Naik Tipis

Ida mengatakan, penetapan besaran UMP itu selain mempertimbangkan kebutuhan buruh, juga mempertimbangkan kondisi dunia usaha saat ini yang masih tertekan oleh pandemi COVID-19.

Senada, Ketua DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang bilang bahwa saat ini data-data ekonomi menunjukkan kondisi perekonomian Tanah Air sedang tidak sehat dan cukup berat bila ditambah dengan beban kenaikan upah. Ia mengambil contoh data pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta yang saat ini tengah terpuruk.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta pada kuartal III/2021 tercatat 2,43 persen (year-on-year/yoy). Realisasi tersebut di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3,51 persen (yoy).

"Pertumbuhan ekonomi Jakarta selalu di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, tapi pada kuartal III-2021 kali ini terjadi sesuatu yang tidak lazim di mana pertumbuhan ekonomi Jakarta di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Kondisi ini menggambarkan bahwa ekonomi Jakarta sangat terpuruk akibat pandemi COVID-19," jelas dia, kepada Tirto, Kamis (18/11/2021).

Berangkat dari situ, ia menjelaskan sudah sewajarnya kalau upah minimum tahun 2022 tak dinaikkan terlalu tinggi.

Namun, alasan apapun yang disampaikan pemerintah tampaknya tak cukup efektif meredakan kemarahan kalangan buruh. Maklum saja, angka kenaikan upah pada 2022 itu jauh lebih kecil dari harapan buruh yang mengusulkan kenaikan UMP 2022 sebesar 10% dibanding UMP 2021 yang dihitung berdasarkan rerata besaran kenaikan harga barang dalam kelompok barang dan jasa pada Komponen Hidup Layak (KHL).

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah bilang, kondisi saat ini memang diakui cukup berat bagi semua pihak. Bagi kalangan usaha, kenaikan upah, seberapa pun besarannya, dianggap sebagai tambahan beban yang berisiko bikin bisnis mereka gulung tikar karena belum sempat pulih dari pandemi.

"Sebenarnya nilainya memang sangat kecil ya, dengan nilai itu memang gak terasa kenaikannya, karena enggak signifikan. Tapi kalau lihat kondisi para pelaku usaha yang terkapar ya mau gak mau itu yang harus diterima. Memang itu kecil sekali [nilainya] harusnya naiknya di atas Rp100 ribu lah," kata dia kepada Tirto, Kamis (18/11/2021).

Kenaikan Upah Minimum 2022 Tak Sebanding Inflasi

Di sisi lain, bagi kalangan buruh, besaran upah itu cenderung kecil dan berpotensi membuat daya beli mereka tertekan. Presiden ASPEK Mirah Sumirat mengatakan berdasarkan PP No. 36 tahun 2021, kenaikan UMP 2022 tertinggi adalah di DKI Jakarta menjadi sebesar Rp 4.453.724 dari sebelumnya tahun 2021 sebesar Rp 4.416.186,548.

Artinya hanya naik sebesar Rp 37.538. Sedangkan kenaikan terendah UMP tahun 2022 adalah di Jawa Tengah menjadi sebesar Rp 1.813.011, atau hanya naik sebesar Rp 14.032 dibanding UMP tahun 2021 sebesar Rp 1.798.979,00.

Apalagi, besaran kenaikan UMP yang disampaikan pemerintah tercatat jauh lebih kecil ketimbang besaran inflasi yang diramal bakal terjadi di tahun 2022. Bank Indonesia (BI) meramalkan, inflasi pada tahun 2022 bakal mencapai 4 persen.

Inflasi sendiri merupakan cerminan kenaikan harga-harga barang. Bila menyandingkan proyeksi angka inflasi 2022 sebesar 4 persen dengan angka kenaikan upah minimum yang disebut Kemenaker rata-rata sebesar 1,09 persen, secara sederhana bisa disimpulkan bahwa kenaikan upah minimum lebih kecil dari besaran inflasi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, fakta itu sudah cukup untuk mengetahui sejauh apa keberpihakan pemerintah terhadap masa depan buruh.

Bhima melanjutkan, dengan kenaikan UMP yang lebih kecil dari inflasi, akan membuat daya beli masyarakat akan semakin terbatas dan membuat upaya pemerintah mendorong dan memulihkan perekonomian nasional bisa saja gagal.

"Kenaikan upah minimum justru memperluas kesempatan kerja dan itu positif terhadap multiplayer pada perekonomian. Adapun saya juga coba hitung, misalnya upah pekerja di Yogyakarta Rp1,7 jutaan, harus menanggung 4 orang anggota keluarga, ya gak cukup. Garis kemiskinannya aja sekitar Rp380 ribu. Artinya saat satu orang ini menanggung 4 orang lainnya dalam satu keluarga. Maka UMP tidak akan mencukupi," jelas dia kepada Tirto, Kamis (18/11/2021).

Bhima mengatakan, ada pemahaman keliru yang digunakan pemerintah dalam melihat kondisi perekonomian nasional dalam rangka menetapkan besaran upah minimum 2022. Argumen pemerintah yang menyebut kenaikan upah yang terlalu tinggi bisa membebani kalangan usaha dan menghambat pemulihan ekonomi, adalah salah.

Sanksi bagi Perusahaan Tak Bayar sesuai Upah Minimum

Ia mengacu pada kajian yang dilakukan David Card, ekonom dan pengamat perburuhan dari Universitas California yang berhasil meraih penghargaan Nobel pada 2021.

“Yang menarik itu, dari David Card, menunjukkan bahwa justru kenaikan upah minimum itu tak membuat pengangguran mengalami kenaikan, justru sebaliknya," kata dia.

Bhima melanjutkan, dengan upah yang layak, buruh atau pekerja jadi memiliki daya beli yang lebih baik. Kemampuan mereka untuk belanja pun meningkat dan kondisi ini bisa meningkatkan konsumsi terhadap berbagai produk. Bagi Indonesia dengan karakteristik ekonomi yang dipengaruhi oleh konsumsi masyarakat, kata Bhima, teori ini relevan.

“Upah minimum dinaikkan, ekonomi bergerak lebih tinggi. Maka pengusaha akan membuka lowongan kerja baru,” kata Bhima.

Menurutnya, kajian tersebut sangat relevan bila dikaitkan dengan profil ekonomi tanah air yang digerakkan oleh konsumsi rumah tangga.

Sederhananya, dengan upah yang layak, buruh bisa memiliki daya beli yang lebih baik yang bisa mendorong tingkat konsumsi rumah tangga. Secara nasional, kenaikan daya beli ini bisa mempercepat bergeraknya kembali perekonomian nasional.

Sebaliknya, bila pemerintah gagal menaikkan daya beli masyarakat, maka yang akan terjadi adalah lesunya penjualan barang-barang ritel yang membuat sektor industri ritel yang sangat mengandalkan konsumsi masyarakat akan semakin tertekan dan menderita.

Bhima menegaskan, sah-sah saja pemerintah menetapkan UMP dengan besaran kenaikan yang sangat tipis. Namun, ada konsekuensi yang harus ditempuh yakni meningkatkan alokasi bantuan sosial kepada masyarakat agar daya belinya terjaga.

"Kalau memang pemerintah kekeuh dengan upah yang naiknya hanya 1 persen maka konsekuensinya adalah belanja sosial pada para pekerja dinaikkan di atas 10 persen di tahun depan," tandas dia.

Bagaimana pun UMP 2022 telah ditetapkan, dari tuntutan buruh kenaikan sekitar 7-10 persen, ternyata jauh dari harapan yang hanya naik tipis 1 persen. Yang ditegaskan pemerintah usai penetapan UMP 2022 yakni soal sanksi bagi perusahaan yang membayar sesuai upah minimum.

Menaker Ida Fauziah menyatakan perusahaan yang tidak membayar upah pekerja sesuai ketentuan upah minimum (UM) terancam sanksi pidana. Perusahaan wajib membayar upah pekerja sekurang-kurangnya senilai upah minimum 2022 atau Upah Minimum Sektoral (UMS) yang masih berlaku. "Bagi perusahaan yang membayar upah di bawah UM dikenakan sanksi pidana," kata Ida, Selasa (16/11/2021).

"UM adalah upah terendah yang ditetapkan oleh pemerintah yang berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun pada perusahaan yang bersangkutan," tambahnya.

Ida menjelaskan UM berdasarkan PP 36/2021 hanya berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Tidak ada lagi penetapan UM berdasarkan sektor, namun UMS yang ditetapkan sebelum 2 November 2020 tetap berlaku hingga UMS tersebut berakhir atau UMP/UMK di wilayah tersebut lebih tinggi.

"Dengan demikian UMS tetap berlaku dan harus dilaksanakan oleh pengusaha," ujar dia.

Sesuai SE Mendagri 561/6393/SJ perihal penetapan UM tahun 2022, Ida meminta seluruh Gubernur menetapkan UMP paling lambat 20 November 2021.

Sedangkan penetapan UMK harus dilakukan Gubernur paling lambat tanggal 30 November 2021 setelah penetapan UMP.

Baca juga artikel terkait UMP 2022 atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri