Menuju konten utama

Ironi Vaksinasi: Butuh Jutaan Dosis, Malah Ada Vaksin Kedaluwarsa

Temuan vaksin kedaluwarsa di beberapa daerah Indonesia menjadi ironi di tengah vaksinasi nasional yang masih butuh jutaan dosis.

Ironi Vaksinasi: Butuh Jutaan Dosis, Malah Ada Vaksin Kedaluwarsa
Vaksinator menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada warga di Gelanggang Remaja Kecamatan Matraman, Jakarta, Selasa (16/11/2021). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyentil jajaran di bawahnya setelah mendapatkan laporan adanya vaksin COVID-19 yang kedaluwarsa di sejumlah daerah. Adanya ribuan vaksin COVID-19 yang kedaluwarsa ini menjadi ironi sebab Indonesia masih membutuhkan jutaan dosis vaksin untuk memenuhi sasaran vaksinasi.

Sentilan Jokowi kepada para bawahannya itu diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin Senin (15/11/2021) kemarin. Dalam rapat terbatas, Presiden Jokowi, kata Budi, mengingatkan soal vaksin COVID-19 yang telah kedaluwarsa.

"Bapak Presiden juga menekankan tolong hati-hati dengan vaksin kedaluwarsa. Jadi beberapa provinsi yang laporannya sampai ke beliau seperti misalnya, Nusa Tenggara Timur (NTT) atau juga dari Jawa Tengah, Yogyakarta itu memang perlu diperhatikan agar vaksinasinya jangan sampai kedaluwarsa,” kata Budi.

Laporan vaksin kedaluwarsa itu di antaranya dari Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Kementerian Kesehatan membenarkan adanya laporan 4.000 dosis vaksin Astrazeneca yang kedaluwarsa pada akhir Oktober 2021 lalu di Kudus.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan kedaluwarsanya vaksin di Kudus diduga karena kiriman vaksin dari pusat memang sudah mendekati kedaluwarsa. Ia mencontohkan, Purbalingga beberapa waktu lalu datang ke Kemenkes dan minta tambahan vaksin. Mereka diberikan vaksin limpahan dari Tangerang yang hanya tinggal beberapa hari saja sudah kedaluwarsa.

"Memang dari sananya sudah mendekati expired. Kasus Purbalingga contohnya, mereka dapat langsung dari Kemenkes tapi mendekati expired. Tapi mereka sanggup menyelesaikan sebelum expired, jadi bagus itu," kata Ganjar Senin pekan lalu.

Ganjar mengusulkan agar jatah vaksin tidak ditentukan oleh Kemenkes. Semua vaksin dimintanya dikirim ke provinsi dan ditentukan alokasinya oleh provinsi ke setiap kabupaten/kota.

Di NTT sebanyak 5.000 dosis vaksin Astrazeneca juga dilaporkan kedaluwarsa. Kepala Dinas Kesehatan dan Pencatatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Mese Ataupah mengatakan vaksin yang kedaluwarsa itu merupakan bagian dari 110.000 dosis vaksin yang dikirimkan oleh Kemenkes pada pertengahan Oktober 2021 dengan target stok vaksin itu bisa dihabiskan pada akhir Oktober 2021.

"Ada sekitar 110.000 dosis vaksin COVID-19 jenis Astrazeneca yang dikirim ke kita, karena memang provinsi lain menolak untuk untuk menerima vaksin itu," kata Mese, Kamis (11/11/2021).

Sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan DIY, Berty Murtiningsih mengatakan vaksin yang hampir kedaluwarsa telah dikembalikan ke Kemenkes kemudian dialihkan ke daerah lain.

“Itu terjadi bulan lalu, untuk vaksin Astrazeneca yang akan expired awal November lalu. Kami laporkan ke pusat (secara tertulis) dan diambil oleh beberapa kabupaten di Jateng dan Jatim dari DIY,” kata Berty yang juga Juru Bicara Penanganan COVID-19 Pemda DIY, Senin (15/11/2021).

Efek Vaksinasi Sporadis

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra mengatakan adanya ribuan dosis vaksin yang kedaluwarsa ini disebabkan sistem vaksinasi yang selama ini dilakukan secara sporadis. Hal ini kemudian membuat pendataan menjadi kacau sehingga vaksin di satu daerah bisa kelebihan sehingga bisa kedaluwarsa.

Padahal sejak awal telah ditentukan vaksinasi berdasarkan segmentasi mulai dari tenaga kesehatan, lansia, pekerja publik, remaja dan umum. Namun kemudian vaksinasi dilakukan secara sporadis tanpa lagi menghiraukan segmentasi.

”Inilah yang menyebabkan carut-marutnya pendataan dan pada akhirnya tidak akan mampu melacak dan mengidentifikasi secara utuh segmen mana yang belum divaksin atau segmen mana yang belum optimal,” ujar Hermawan kepada Tirto, Selasa (16/11/2021).

Salah satu contoh mutakhir adalah segmentasi vaksin lansia yang ditarget 21 juta, tetapi sampai saat ini dosis pertama baru mencapai 44 persen dan dosis kedua baru mencakup 27 persen. Menurut Hermawan, vaksinasi lansia seharusnya dilakukan secara proaktif.

“Maka itu ke depan ini tidak ada cara lain. Ke depan ini harus dievaluasi. Sekarang ini terjadi perlambatan vaksinasi itu karena pendataan yang runyam. Karena sporadis sebelumnya. Maka harus dikembalikan pada segmen prioritas,” katanya.

Temuan vaksin yang kedaluwarsa ini, menurutnya, ironis sebab masih banyak provinsi di luar Jawa yang kekurangan vaksin. Namun justru sebagian daerah kelebihan sampai bisa ekspired, yang berarti menurutnya ada proses pendataan yang tidak benar.

“Vaksin kedaluwarsa itu mubazir, padahal vaksin belum mencukupi untuk seluruhnya. Makanya perencanaan dan evaluasi jadi penting untuk kembali mendata melakukan segmentasi kembali. Karena kita bicara vaksinasi tidak hanya persoalan sekarang, ke depan kita membutuhkan vaksinasi untuk booster dan anak-anak. Masih banyak kebutuhan kita,” ujarnya.

Menurut Kemenkes, sampai saat ini ada 276 juta dosis vaksin, dan 267 dosis di antaranya sudah didistribusikan ke kabupaten/kota dan provinsi. Sedangkan yang sudah dipakai ada 206 juta.

Namun target vaksinasi sendiri sebanyak 208 juta orang atau setidaknya membutuhkan 416 juta dosis vaksin untuk suntik pertama dan kedua. Selain itu, kebutuhan lainnya untuk vaksin booster dengan asumsi sesuai target vaksin berarti 208 juta dosis. Belum lagi target vaksin anak sekitar 26 juta sasaran. Sehingga masih butuh hampir 200 juta dosis vaksin ke depannya.

Vaksin Terbuang Tak Boleh Lebih 20 Persen

Epidemiolog asal Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan vaksin kedaluwarsa memang menjadi persoalan di semua negara termasuk negara maju. Namun, menurutnya, temuan ribuan vaksin yang kedaluwarsa dan terbuang sangat memprihatinkan.

“Ini hal yang memprihatinkan karena vaksin terbuang, memang sulit dihindari bahkan negara maju pun dalam hal ini mengalami hal yang sama,” kata Dicky saat dihubungi Tirto, Selasa.

Meskipun tak bisa dihindari, namun menurut Dicky harus ada toleransi. Tak boleh vaksin yang kedaluwarsa lebih 20 persen dari total vaksin yang ada atau yang didistribusikan.

“Kalau lebih dari 20 persen itu sangat memprihatinkan di tengah kebutuhan vaksin yang tinggi di tengah belum meratanya atau masih banyak wilayah yang penduduknya masih harus menunggu untuk bisa divaksin. Sehingga sebetulnya dalam kondisi idealnya vaksin yang terbuang ini tidak lebih dari 10 persen harusnya,” katanya.

Untuk itu yang harus dicermati, menurut Dicky, adalah soal pengaturan distribusi vaksin terutama vaksin impor yang masa kedaluwarsanya sudah berjalan sebelum vaksin sampai di Indonesia. Termasuk pengaturan soal lama waktu vaksin harus diparkir di gudang.

Selain itu, menurutnya, harus ada mekanisme adanya distribusi vaksin berdasarkan permintaan berbasis data sasaran yang setidaknya mendekati kebenaran atau kondisi sesungguhnya di kabupaten/kota.

“Kalau bisa didistribusikan langsung sesuai alokasi provinsi atau kabupaten/kota. Provinsi diberi kewenangan dari pusat untuk mengatur, mendistribusikan dan merealokasikan ke kabupaten kota,” ujarnya.

Juru Bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan evaluasi terhadap adanya vaksin yang kedaluwarsa telah dilakukan. Kemenkes kata dia telah melakukan koordinasi dan meminta provinsi, kabupaten, kota untuk memastikan tanggal kedaluwarsa vaksin yang beredar di puskesmas maupun sentra vaksinasi.

Selain itu, Kemenkes, kata Nadia, telah meminta agar kabupaten/kota membuat strategi untuk segera meningkatkan laju penyuntikan vaksinasi. Termasuk memberikan wewenang kepada provinsi untuk melakukan distribusi ke kabupaten/kota.

“Itu sudah bisa dilakukan, sudah ada surat edaran,” ujar Nadia saat dihubungi, Selasa.

Nadia mengatakan sejauh ini, total vaksin yang telah didistribusikan dan masuk masa kedaluwarsa tak lebih dari 10 persen. Namun, kata dia, tak semua daerah melaporkan jika ada vaksin yang kedaluwarsa.

“Karena tidak semua provinsi dan kabupaten kota melaporkan. Saat ini kurang dari 5 persen [yang kedaluwarsa],” kata Nadia.

Baca juga artikel terkait VAKSINASI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri