tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyarankan agar diadakannya amnesti atau pengampunan kepada para peserta BPJS Kesehatan yang tidak aktif. Pasalnya, status kepesertaan BPJS Kesehatan yang non-aktif dinilai problematik.
Secara akuntansi, kepesertaan BPJS Kesehatan non-aktif tercatat sebagai piutang iuran. Hal ini pun jelas menjadi masalah bagi BPJS Kesehatan dan masyarakat sebagai peserta BPJS Kesehatan non-aktif itu sendiri karena saat ia membutuhkan, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tak akan bisa digunakan untuk mengakses layanan kesehatan.
“Kalau di pajak itu ada yang dinamakan tax amnesty (pengampunan pajak). Jadi, kami daripada tidak ada (iuran) yang masuk, dikasih lah amnesti,” ujar Direktur Harmonisasi Peraturan Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Didiek Kusnaini, dalam Seminar Nasional Mewujudkan Layanan Kesehatan yang Setara, Berkualitas dan Berkelanjutan, dikutip dari Youtube BPJS Kesehatan, Jumat (18/7/2025).
Dengan pengampunan ini, jika ada peserta kesehatan yang sudah tidak aktif selama bertahun-tahun, ia tidak harus membayar seluruh iuran yang belum dibayarkannya. Dus, tunggakan iuran di BPJS Kesehatan bisa lunas terlebih dulu, sebelum dapat digunakan kembali untuk mengakses layanan kesehatan.
“Sudah, ‘oke, kamu sanggupnya bayar berapa?’, tapi diampuni gitu membayarnya, sudah jadi peserta. Itu (setelah diberi amnesti) mengaktifkan semuanya tadi. Kalau boleh kita diskusikan nanti gagasan ini,” tambah Didiek.
Meski begitu, ia mengakui, untuk memberi amnesti kepada peserta BPJS Kesehatan non-aktif, perlu dilakukan peninjauan mendalam. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat seberapa besar kontribusi kebijakan amnesti ini kepada Dana Jaminan Sosial (DJS). Pun, dengan apakah mungkin kebijakan ini untuk diterapkan atau tidak serta bagaimana pula tinjauan aktuarianya.
“Karena tinjauannya satu memang dari teknokrasi tadi, aktuarianya bagaimana? Dari regulasi memungkinkan atau nggak?” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Dante Saksono Harbowono, menyarankan agar ada peningkatan penetrasi kepesertaan JKN maupun asuransi kesehatan swasta untuk mengefisiensikan pembiayaan kesehatan.
Katanya, porsi masyarakat yang membayar biaya pengobatannya sendiri (out of pocket) di Indonesia masih sangat besar, yakni mencapai 28,6 persen dari total biaya kesehatan 2023 yang senilai Rp614,5 triliun. Porsi tersebut lebih besar daripada pembiayaan kesehatan yang menggunakan akses sosial, dalam hal ini JKN.
Padahal, skema out of pocket ini ke depan berpotensi membuat pembiayaan kesehatan semakin besar.
“Kalau kita ingin melakukan efisiensi pembiayaan kesehatan, maka asuransinya harus lebih besar di masa yang akan datang,” tutur Dante.
“Untuk melakukan sosialisasi bahwa bagaimana pentingnya pembiayaan kesehatan melalui asuransi Ini, nantinya ke depan akan menekan out of pocket yang selama ini membuat pembiayaan kesehatan yang makin lama makin besar,” tambahnya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































