Menuju konten utama

Kasus Kekerasan Berulang di Pesantren, Kemenag Jangan Pasif

Pemerintah dinilai harus lebih bijak melihat fenomena kekerasan di pesantren. Mesti ada evaluasi tentang sistem dan pengawasan.

Kasus Kekerasan Berulang di Pesantren, Kemenag Jangan Pasif
Ilustrasi Bullying. foto/istockphoto

tirto.id - Kematian Bintang Balqis Maulana (14) yang meninggal diduga dianiaya rekan-rekannya menunjukkan wajah pondok pesantren kita yang masih centang perenang. Bintang berpulang setelah diduga mendapat penganiayaan dari sesama santri di Pesantren Al-Hanifiyyah di Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Korban meninggal pada Jumat (23/2/2024), dan diantar pihak pesantren ke kampung halamannya dalam keadaan tidak bernyawa.

Awalnya kepada pihak keluarga korban, perwakilan pesantren Al-Hanifiyyah menyatakan korban meninggal karena terpeleset di kamar mandi dan enggan membuka kain kafan. Namun, pihak keluarga yang bersikukuh melihat kondisi jenazah korban, mendapati sejumlah luka lebam dan diduga bekas sundutan rokok di kaki korban. Akhirnya pihak korban meminta kepolisian Polres Kediri mengusut kematian Bintang.

Alhasil, Kapolres Kediri Kota, Ajun Komisaris Besar Bramastyo Priaji, Senin (26/2/2024), langsung menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah rekan-rekan korban di pesantren, yakni MN (18), santri kelas XI asal Sidoarjo; MA (18), santri kelas XII asal Nganjuk; AF (16), santri asal Denpasar; serta AK (17), santri asal Surabaya. Keempat tersangka kini ditahan oleh pihak kepolisian.

Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, menuturkan hasil koordinasi KPAI dengan pihak Kementerian Agama didapati bahwa setelah korban mengalami kekerasan, kondisi kesehatan korban memburuk sehingga pada 23 Februari 2024 sekitar pukul 03.00 WIB, korban dilarikan ke Rumah Sakit Arga Husada Branggahan Ngadiluwih. Sampai di RS, kondisi korban sudah meninggal. Kejadian tersebut baru dilaporkan kepada pengasuh pesantren sekitar pukul 09.00 WIB.

“Menurut kami karena lemahnya pengawasan di pesantren tersebut. Sehingga tidak terpantau setiap saat bagaimana perilaku anak, bagaimana pergaulan anak dengan sesama santri,” kata Aris kepada reporter Tirto, Rabu (28/2/2024).

KPAI berpendapat tingginya angka kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan adalah persoalan serius, apalagi sudah muncul kasus kematian. Lembaga pendidikan, termasuk pesantren, seharusnya menjadi rumah yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi anak.

KPAI menegaskan kekerasan terhadap korban di Kediri merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 35 Tahun 2014 perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Khususnya pada perlindungan anak atas hak hidup dan tumbuh kembang, serta perlindungan khusus anak korban kekerasan fisik dan psikis.

“Pelaku diproses berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak karena memang masih usia anak juga pelakunya. Dan juga diproses berdasarkan SPPA atau Sistem Peradilan Pidana Anak. Kami juga mengupayakan dari pemerintah daerah untuk kemudian [pihak] korban mendapatkan hak perlindungan dan mendapatkan bantuan sosial,” jelas Aris.

Sebelumnya, pengasuh pondok pesantren Al-Hanifiyyah, Fathinuda, menyatakan dirinya tak mengetahui kejadian yang dialami korban. Sebab, laporan rekan-rekan korban bahwa kejadian itu disebabkan karena korban terpeleset di kamar mandi. Pria yang akrab disapa Gus Fatih itu juga mengaku tidak menaruh curiga saat itu, dan sibuk mengurus kepulangan korban ke kampung halaman. Pihak pondok menyerahkan sepenuhnya proses hukum ke kepolisian.

Sementara Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Kediri, Achmad Faiz, menyatakan pesantren Al-Hanifiyyah tidak berizin. Sehingga pihak Kemenag tidak bisa mengambil tindakan administratif terhadap pesantren yang bersangkutan. Untuk diketahui, Kemenag mengawasi pesantren yang memiliki izin atau NSP pondok pesantren.

Menurut Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, Kemenag seharusnya bisa lebih dari sekadar berbicara soal perizinan pesantren. Kemenag diminta membuat sistem perlindungan anak di pesantren yang kuat dan menghadirkan regulasi pencegahan dan penanganan yang profesional. Ini dilakukan dengan perspektif perlindungan anak dan didukung dengan anggaran program yang masif di daerah.

“Soal kekerasan adalah soal kemanusiaan maka batasan izin atau enggak izin harus dilewati. Yang paling penting adalah bagaimana anak terlindungi di pesantren itu, dan Kemenag punya kewajiban untuk kemuliaan membina pesantren agar memiliki perspektif perlindungan anak,” ujar Aris.

Kejadian Berulang

Kejadian penganiayaan atau kekerasan yang berujung maut di pesantren bukan kali ini saja terjadi. Sebaliknya, hampir setiap tahun terjadi laporan kekerasan di lingkungan pondok pesantren. Misalnya pada bulan ini, seorang santri pondok pesantren di Makassar tewas karena dianiaya seniornya.

Korban yang baru berusia 15 tahun itu tewas setelah mendapatkan luka serius di kepala. Diduga tersangka melakukan tindakan keji kepada korban atas dasar ketersinggungan.

Kasus serupa juga terjadi di Kuningan, Jawa Barat, Desember 2023. Seorang santri Pondok Pesantren Husnul Khotimah, berinisial H (18), diduga tewas dikeroyok temannya. Polisi tetapkan 18 tersangka dalam kasus ini, termasuk 12 santri yang masih di bawah umur. Dugaan polisi, H dikeroyok lantaran disebut membuat kesalahan.

Pada September 2023, sebuah ponpes di Temanggung mendadak geger akibat seorang santrinya tewas. Korban berinisial MNF dan masih berusia 15 tahun. Para tersangka merupakan rekan sebaya korban di ponpes tersebut yang berjumlah 8 orang.

Serupa, kejadian di Bangkalan, Madura, ada seorang santri yang tewas dikeroyok oleh seniornya. Kejadian ini terjadi pada Maret 2023, di mana korban berinisial BT (16) sempat dilarikan ke puskesmas hingga akhirnya meregang nyawa. Korban mengalami luka lebam serius di bagian punggung, lengan, dan dada.

Serta masih segar diingatan kejadian yang mengenaskan pada 2022, terjadi di pondok pesantren modern Gontor. Seorang santri mereka tewas akibat dianiaya dua seniornya. Korban berinisial AM (17) dipukuli karena disebut menghilangkan alat berkemah. Mirisnya, kejadian ini diduga sempat ditutup-tutupi oleh pihak ponpes.

Tidak hanya kekerasan berupa penganiayaan saja yang mencoreng lembaga pendidikan pesantren. Kekerasan seksual berupa pemerkosaan atau pelecehan, terutama pada santri perempuan, juga berulang kali masih terjadi. Mirisnya, pelaku tindakan keji ini tidak jarang merupakan seseorang yang seharusnya melindungi santri, seperti guru, pengasuh, bahkan pimpinan ponpes.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai kejadian kekerasan berulang di pesantren terjadi akibat absennya sistem pencegahan dan penanganan yang baik. Pengawasan pesantren seharusnya terbuka bagi masyarakat, bukan justru membuat pondok mengisolasi santri dari keluarga dan masyarakat.

“Pengawasan ini harus terbuka dan melibatkan masyarakat. Perlu juga dibuat sistemnya yang mudah diakses, supaya masyarakat mudah berpartisipasi aktif,” kata Ubaid kepada reporter Tirto, Rabu (28/2/2024).

Menurut Ubaid, lembaga pendidikan berasrama memang memiliki kerentanan karena cenderung tertutup dari pengawasan pihak luar. Lebih lanjut, Ubaid meminta Kemenag seharusnya bisa mengawasi pesantren tidak berizin sebelum munculnya kasus-kasus kekerasan selanjutnya.

Ketua Riset dan Advokasi Kebijakan Publik LBH dari PP Muhammadiyah, Gufroni, menilai memang faktanya banyak pondok pesantren yang bersifat kultural dan tidak berizin. Namun, bukan berarti bisa menyimpulkan bahwa pesantren itu rentan perilaku kekerasan. Alasan tidak berizin kerap dipakai Kemenag untuk menyatakan bahwa pesantren tidak berada dalam pengawasan.

Menurut dia, pemerintah harus lebih bijak melihat fenomena kekerasan di pesantren. Mesti ada evaluasi tentang sistem dan pengawasan internal oleh pengelola pesantren yang perlu dilakukan Kemenag.

“Kemenag perlu banyak bersilaturahmi dengan pimpinan pesantren dan saling bertukar pikiran tentang pencegahan kekerasan,” ujar Gufroni kepada reporter Tirto.

Sementara itu, Plt. Deputi Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kementerian PPPA, Lanny Ritonga, memandang masih ada sikap pembiaran terhadap perilaku-perilaku berisiko yang ditunjukkan anak di lembaga pendidikan. Selain itu, para pihak pelaku kekerasan mayoritas berusia remaja di mana pada usia ini sering mengalami fluktuasi emosi.

“Kami melihat perlu adanya evaluasi terkait sistem pengawasan ponpes kepada para santri serta penguatan pengawasan di sektor-sektor yang diperlukan. Selain itu, monitoring dari Kemenag dan Pemerintah Daerah kepada ponpes-ponpes ini perlu dikuatkan,” kata Lanny kepada reporter Tirto, Rabu (28/2/2024).

Menurut data layanan SAPA 129, kasus perundungan di lingkungan pendidikan baik di sekolah atau pesantren pada tahun 2023, mencapai 49 kasus dengan jumlah 63 korban. Adapun periode Januari-Februari 2024, tercatat 3 kasus dengan 3 korban di lingkungan pendidikan.

Respons Kemenag

Plt. Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam, Kemenag, Waryono Abdul Ghofur, menyatakan orang tua perlu lebih selektif dalam memilih pondok pesantren bagi buah hatinya. Hal yang harus dicermati adalah perizinan atau NSP hingga sanad atau periwayatan para pengurus pondok pesantren.

“Nah memang ada pesantren-pesantren yang diduga tidak berizin. Itulah yang seringkali melakukan perundungan. Mohon maaf, yang terakhir ini yang terjadi, ini juga yang Kediri itu adalah pesantren yang belum punya NSP [izin],” kata Waryono dalam keterangannya, diterima Tirto, Rabu (28/2/2024).

Waryono menganjurkan para pendiri pondok pesantren mengurus perizinan. Hal ini agar pihak Kemenag bisa melakukan pemantauan dan intervensi pada pesantren. Di sisi lain, pesantren yang memiliki izin akan didukung sumber daya Kemenag.

“Misalnya, Pak Menteri punya program transformasi digital. Dan ini pesantren yang berizin itu bisa mengakses bantuan itu,” tutur dia.

Kemenag bersama Unicef sudah meluncurkan Program Pesantren Ramah Anak. Selain itu, pihaknya juga memiliki buku panduan pesantren ramah anak. Proses sosialisasi buku panduan ini dilakukan di lebih dari 39.000 pesantren yang terdaftar di Kemenag.

“Ada [juga] PMA Nomor 73 tahun 2022 dan 82 tahun 2023. Ini yang mengatur bagaimana untuk kita penanganan dan pencegahan [kekerasan],” ujar Waryono.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN DI PESANTREN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz