tirto.id - Ada saja akal bulus predator seks dalam menjerat korban anak-anak. Para pelaku kejahatan mulai merambah ruang digital lewat media sosial (medsos) maupun gim daring untuk mencari korban.
Sebagaimana kasus yang diungkap Polresta Bandara Soekarno-Hatta, Minggu (25/2/2024), delapan anak laki-laki usia 12-16 tahun menjadi korban video pornografi sesama jenis berbasis jaringan internasional.
Pelaku kejahatan tengik itu merupakan lima pemuda yang kini sudah dicokok kepolisian. Pelaku dan korban berkenalan lewat grup komunitas gim daring di media sosial.
Para pelaku menjaring korban dengan modus ajakan main bareng gim daring dan iming-iming hadiah. Para korban dilecehkan dan direkam, lalu video mereka dijual sebagai konten pornografi anak.
Konten pornografi anak itu dijual melalui media sosial Telegram lintas negara seharga 100 dollar AS atau Rp 1,5 juta per video. Polisi mengungkap, hasil penjualan konten pornografi anak yang para pelaku lakoni meraup keuntungan kurang lebih Rp100 juta.
Kelima pelaku adalah Handiki Setiawan bin Sim Giok Kho (HS), Muhammad Ammar Abdurrahman bin Budi Mulyono (MA), Asep Hermansyah bin Adar (AH), Nizar Zairin bin Ansor (NZ), dan Kevin Ramli alias Yanto Ramli (KR).
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan, menyatakan para tersangka membujuk korban dengan memberi makanan, uang, serta iming-iming telepon genggam. Selain dalam bentuk video, para tersangka juga membuat konten dalam bentuk foto.
“Tempat pembuatan video tersebut dilakukan di hotel atau bahkan di rumah orang tua korban,” kata Kawiyan kepada reporter Tirto, Rabu (28/2/2024).
KPAI mengaku sangat prihatin atas temuan kasus pornografi anak ini. Anak-anak menjadi korban kejahatan seksual, korban pornografi, korban penyalahgunaan ITE, dan korban eksploitasi secara seksual.
Anak yang menjadi korban kekerasan harus mendapatkan perlindungan khusus sesuai dengan Pasal 59 UU Nomor 35 Tahun 2014 Perlindungan Anak.
Anak-anak yang menjadi korban kasus ini harus diberikan pendampingan psikologi dan sosial. Selain itu, Kawiyan meminta identitas kelima korban tidak dipublikasikan di media.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah/UPTD Kota Tangerang diminta cepat tanggap melakukan pendampingan kepada para korban.
“Saat ini para korban tinggal bersama orang tua masing-masing dan mendapatkan pemantauan atau penanganan dari UPTD Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Tangerang, termasuk dalam pengawasan psikolog,” jelas Kawiyan.
Kawiyan memandang, maraknya penggunaan gim di kalangan anak-anak memang rawan menjadi pintu masuk kejahatan digital seperti pornografi dan kejahatan siber. Maka, peran orang tua sangat penting untuk melakukan pengawasan, pendampingan, edukasi, dan literasi kepada anak-anak.
Membiarkan anak-anak bermain dengan orang dewasa yang sebelumnya tidak dikenal di dalam rumah adalah sebuah kecerobohan. Kawiyan menyatakan, hal ini yang dilakukan orang tua para korban.
“Dilihat dari latar belakang orang tua mereka yang menengah ke bawah, diperlukan intervensi dan kepedulian lingkungan, serta aparat desa dan dinas atau pemerintah daerah,” ujarnya.
Kerawanan Ruang Digital
Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Josias Simon, menyatakan para predator seks merambah ruang digital untuk menjerat korban karena media sosial dan gim daring sudah sulit dipisahkan dari anak-anak.
Di media sosial dan gim daring para pelaku kejahatan akan melakukan profiling dan pendekatan kepada calon korban.
“Harusnya ada perhatian keluarga ya, sampai katakanlah siapa saja yang mengontak anak mereka. Saat mereka membuat konten dan rekaman itu harus dicermati. Bisa juga bentuknya ada permintaan membuat video sebelum bertemu pelaku predator seks,” kata Simon kepada reporter Tirto, Rabu (28/2/2024).
Menurut Simon, pornografi anak masih menjamur di media sosial sebab permintaan yang terus muncul. Seharusnya, kata dia, pihak kepolisian bisa menjadikan kasus ini sebagai titik masuk membongkar jaringan pornografi anak yang kemungkinan besar mengeksploitasi lebih banyak korban.
Terlebih, di media sosial jual beli video pornografi anak mudah dijumpai dan terlihat gamblang penikmatnya.
“Yang perlu dipertanyakan apa yang membuat mereka akhirnya tertarik masuk grup [video] di Telegram, misalnya. Nah, tapi polisi kan nggak bisa asal tuduh itu jaringan, harus ditelusuri karena di baliknya ada anak yang menjadi peran dalam video,” ujar Simon.
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, memandang sebagian besar pelaku predator seks sudah punya pengalaman dan paham strategi yang bisa digunakan. Di sisi lain, anak-anak masih belum punya kemampuan untuk menganalisis secara mendalam dan kritis.
“Mereka tidak mendapat penjelasan serta upaya pencegahan jika ada hal-hal seperti itu, sehingga pelaku bisa lebih leluasa dalam memainkan kondisi sesuai yang diharapkan,” kata Wawan kepada reporter Tirto, Rabu (28/2/2024).
Wawan menilai, ada faktor anonimitas yang bekerja dalam proses distribusi pornografi anak di media sosial. Lewat media sosial dan gim daring, akses semakin mudah dan sering kali dimanfaatkan oleh predator untuk menyembunyikan identitas asli mereka.
“Ditambah, tidak ada pengawasan serta hukum yang jelas. Selain itu, predator juga menggunakan teknik grooming, seperti memberi hadiah virtual atau perhatian, untuk membangun hubungan dengan anak-anak sebelum melakukan eksploitasi,” tutur Wawan.
Orang tua perlu memberikan pendidikan tentang bahaya ruang digital pada anak dan cara berinteraksi dengan aman di dunia maya. Serta menumbuhkan kesadaran menjaga privasi di ruang daring dan risiko berbagi informasi pribadi.
Kepala Kepolisian Resor Bandara Soekarno-Hatta, Kombes Roberto Gomgom Manorang Pasaribu, mengatakan saat ini tersangka kasus pornografi anak jaringan internasional tersebut dikurung di Lapas Pemuda Kelas II A Tangerang. Pelaku menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Tangerang.
Kelima tersangka dijerat Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), hingga UU Perlindungan Anak. Ancaman hukuman pidana menunggu para tersangka dengan penjara minimal 5 tahun dan paling lama 15 tahun.
Kasus ini terbongkar saat Kapolres Bandara Soekarno-Hatta mendapat informasi dari Federal Bureau of Investigation (FBI) Violence Crime against Children Taskforce (VCACT) pada Agustus 2023. FBI menemukan hardisk yang isinya ribuan foto dan video CSAM (child sexual abuse material) atau pornografi anak.
Dalam pengembangan kasus, hasil analisis forensik Laboratorium Forensik Polda Metro Jaya memastikan video pornografi anak itu diproduksi di Indonesia.
Upaya Pemerintah
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, menyampaikan saat ini kondisi psikologis korban sudah berangsur membaik dan pulih. Namun, masih terus intensif dilakukan pendampingan secara berkala baik dari psikolog maupun pekerja sosial.
“Langkah yang sedang dilakukan kepada para anak korban saat ini, penjadwalan konseling ke psikolog dan pendampingan psikososial. Selain itu juga saat ini kedelapan korban masih diberikan penguatan oleh pendamping untuk mengikuti proses persidangan di pengadilan,” kata Nahar kepada reporter Tirto, Rabu (28/2/2024).
Menurut Nahar, pihaknya terus melakukan pengawasan dan pendampingan terhadap kasus ini, baik proses hukum ataupun pemulihan psikologis hingga para korban dapat terpenuhi hak-haknya. Ini perlu dilakukan agar para korban kembali ke lingkungan sosial tanpa stigmatisasi dari masyarakat.
“Adanya kemudahan untuk mengakses sosial media yang tidak diiringi dengan pendampingan dan pengawasan mengenai dampak dari sosial media, membuat pornografi terhadap anak berkembang pesat. Maka perlu ada regulasi yang kuat untuk membatasi penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur,” jelas Nahar.
Mengutip dari informasi yang dihimpun oleh Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 Kemen PPPA, para korban tidak hanya direkam ketika sedang melakukan aktivitas seksual. Para pelaku juga beberapa kali melakukan video call melalui salah satu aplikasi percakapan instan dengan klien mereka saat bersama korban.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada 2021-2023 tercatat 2.455 kasus anak korban kejahatan seksual, 303 kasus anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual, serta 128 kasus penculikan/perdagangan anak.
Sepanjang 2023, KPAI menerima laporan aduan 3.883 kasus pelanggaran dan pemenuhan hak anak. Laporan itu terdiri dari 2.662 pengaduan, bersumber dari pengaduan langsung, pengaduan tidak langsung (surat dan surat elektronik), serta pengaduan secara daring dan media sebanyak 1.240 kasus.
“Internet maupun media sosial memiliki sisi negatif dan positif tergantung dari sisi penggunaannya. Dalam dunia medsos setiap orang dapat menampilkan pribadi yang berbeda dengan aslinya. Hal tersebut dimanfaatkan oleh para predator seks,” ungkap Nahar.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi