Menuju konten utama
Mozaik

Jose Mujica, Presiden Termiskin Itu Telah Berpulang

Saat menjadi Presiden Uruguay, Mujica hidup sederhana dengan bertani bunga. Dia menolak keterasingan yang sering dikaitkan dengan jabatan politik tinggi. 

Jose Mujica, Presiden Termiskin Itu Telah Berpulang
Potret mantan Presiden Jose Mujica dipajang dengan bunga dan bendera nasional Uruguay dan Jepang di Kedutaan Besar Uruguay di Tokyo. Reuters/ © Rodrigo Reyes Marin

tirto.id - Dalam sel isolasi yang sempit, dindingnya basah dan berlumut, Pepe duduk di sudut, tubuhnya ringkih, tulang-tulangnya nyaris menembus kulit, rambutnya kusut bagai sarang burung. Namun, di matanya, ada cahaya yang menolak padam, secercah harapan yang bertahan meski dunia berusaha meremukkannya.

Seberkas sinar pucat dari celah dinding menyapu wajahnya. Di lantai yang dingin, Pepe menemukan seekor katak kecil, makhluk rapuh yang entah bagaimana tersesat di neraka itu.

Dengan tangan gemetar, dia merangkak mendekat, seolah khawatir menakuti sahabat barunya. Matanya berbinar, penuh kerinduan akan kehidupan. Dia mulai berbisik pada katak itu—suara yang serak, nyaris hilang, tapi dipenuhi kelembutan yang menghangatkan.

"Kau dari mana, teman kecil?" katanya pelan, seolah katak itu bisa menjawab, seolah dia bukan tahanan yang dilupakan, melainkan seorang anak yang menemukan keajaiban di dunia.

Dia mengulurkan jari, menyentuh udara di sekitar katak dengan hati-hati, tak ingin mengganggu, hanya ingin merasakan kehadirannya. Di tengah tahun-tahun isolasi yang dirancang untuk menghapus kemanusiaannya, Pepe mencurahkan kasih sayang pada makhluk sekecil itu, seolah katak itu adalah tali penyelamat, pengingat bahwa dia masih hidup, masih mampu mencintai.

Adegan dalam film A Twelve-Year Night (2018) tersebut begitu menyayat karena menangkap esensi "Pepe", nama lain José Mujica, mantan Presiden Uruguay dalam isolasi penjara. Film itu berlatar tahun 1973, saat Uruguay berada di bawah rezim militer.

Tiga tahanan Tupamaro, termasuk Mujica, diculik dari sel penjara mereka dalam operasi militer rahasia. Mereka menjalani 12 tahun penahanan dalam kondisi ekstrem, termasuk kurungan isolasi, penyiksaan fisik dan psikologis, serta perpindahan antarpenjara yang brutal.

Selasa, 14 Mei 2025, dunia merunduk dalam duka atas berpulangnya José Mujica, salah satu tokoh kiri paling berpengaruh di Amerika Latin. Ia mengembuskan napas terakhir pada usia 89 tahun.

Kepergiannya menandai akhir sebuah era bagi mereka yang mengagumi perpaduan unik antara idealisme radikal dan pragmatisme manusiawi yang ia wakili. Mujica meninggal setelah berjuang melawan kanker esofagus yang didiagnosis pada musim semi 2024.

Pembentukan Seorang Pembangkang

José Alberto Mujica Cordano nama lengkapnya. Lahir pada 20 Mei 1935 di lingkungan Paso de la Arena, Montevideo, Uruguay. Leluhur ayahnya adalah orang Basque Spanyol yang tiba di Uruguay pada abad ke-19, sementara ibunya adalah keturunan Italia. Latar belakang imigran ini di Uruguay sering dikaitkan dengan etos kerja keras dan ketahanan.

Ayahnya, Demetrio Mujica Terra, adalah seorang petani kecil yang meninggal dunia ketika José baru berusia lima tahun, meninggalkan ibunya, Lucy Cordano Giorello, membesarkannya bersama saudara perempuannya.

Jose Mujica

Penghormatan kepada José Mujica, ribuan warga yang hadir dalam acara perpisahan terakhir pada tanggal 15 Mei 2025. Foto/Reuters

Sejak usia dini, Mujica sudah bekerja di kebun bunga keluarga, menanam krisan untuk dijual di pasar lokal, sebuah praktik yang ia lanjutkan bahkan ketika menjabat sebagai presiden.

Pengalaman awal dengan kerja kasar pertanian dan kehidupan sederhana ini kemungkinan besar menanamkan dalam dirinya pemahaman lebih jauh tentang perjuangan rakyat biasa dan ikatan seumur hidup dengan tanah.

Keterikatan Mujica pada pertanian bunga, dari kebutuhan masa kecil hingga praktik yang terus berlanjut selama masa kepresidenannya, menjadi simbol sifatnya yang membumi dan penolakannya terhadap keterasingan yang sering dikaitkan dengan jabatan politik tinggi.

Ini bukan sekadar hobi; ini adalah perpanjangan identitasnya, sebuah benang merah yang menghubungkannya dengan akarnya dan ekspresi nyata dari filosofi hidup sederhananya.

Mujica menempuh pendidikan di sekolah umum dan kemudian mendaftar di Institut Alfredo Vásquez Acevedo untuk studi sarjana hukum, namun tidak selesai. Pendidikan formalnya yang tidak tuntas kontras dengan wawasan filosofisnya di kemudian hari, ia belajar mandiri dan menimbanya dari pengalaman.

Pada usia 14 tahun, ia bergabung dengan Partai Nasional, sebuah partai kanan-tengah tradisional, dipengaruhi oleh ibu dan paman dari pihak ibu, Ángel Cordano, lalu menjabat sebagai Sekretaris Pemuda.

Namun, Revolusi Kuba pada tahun 1959 memberikan pengaruh besar padanya, mendorongnya untuk memisahkan diri dari Partai Nasional pada tahun 1962. Bersama Enrique Erro, ia turut mendirikan Unión Popular, sebuah partai berhaluan kiri.

Tahun-Tahun Tupamaros

Pada pertengahan 1960-an, Mujica bergabung dengan Movimiento de Liberación Nacional-Tupamaros (MLN-T), sebuah kelompok gerilya kota berhaluan kiri radikal yang terinspirasi oleh Revolusi Kuba dan perjuangan bersenjata lainnya di Amerika Latin.

Tupamaros bertujuan untuk memicu pemberontakan rakyat demi mewujudkan Uruguay sosialis ala Kuba, muncul di tengah periode stagnasi ekonomi dan keresahan sosial.Mujica memimpikan "masyarakat tanpa kelas sosial".

Seturut Maria Ximena Alvarez dalam "Tupamaros revolution.The impossible revolution" di buku História: Questões & Debates, Curitiba (2004:223), hari-hari awalnya ditandai dengan fase "Robin Hood", saat kelompok ini melakukan tindakan-tindakan seperti mencuri truk susu dan mengirimkannya ke daerah-daerah miskin, dan mengecam korupsi yang dilakukan para politikus.

Aktivitas militer dimulai pada fase berikutnya, meliputi penanaman bom, penculikan pengusaha dan politikus, serta konfrontasi bersenjata.

Mujica secara konsisten menyatakan bahwa ia tidak pernah secara pribadi melakukan pembunuhan. Namun, MLN-T terlibat dalam eksekusi.

Penekanan berulang Mujica bahwa ia "tidak pernah membunuh siapapun", meskipun sifat keras dari gerakan Tupamaro (yang memang melakukan eksekusi), menunjukkan batas moral pribadi yang ia coba pertahankan, bahkan di tengah perjuangan revolusioner.

Mujica ditembak enam kali oleh polisi pada Maret 1970 dalam sebuah baku tembak di sebuah bar di Montevideo saat melawan penangkapan, menderita luka parah dan nyaris tewas. Untungnya ada dokter yang kebetulan anggota Tupamaros.

Ia ditangkap sebanyak empat kali dan terlibat dalam usaha pelarian dari penjara berkali-kali. Pelarian terkenal terjadi pada bulan September 1971 dari Penjara Punta Carretas bersama lebih dari 100 anggota Tupamaros lain. Di malam itu juga, ia bertemu Lucía Topolansky, calon istrinya.

Ia kembali ditangkap lalu melarikan diri lagi pada April 1972. Pelarian-pelarian ini menjadi legendaris yang ikut melambungkan organisasi Tupamaros.

Menyusul kudeta militer tahun 1973, yang mengantarkan Uruguay ke era kediktatoran brutal di bawah rezim Juan María Bordaberry, Mujica termasuk di antara sembilan pemimpin Tupamaros yang ditetapkan sebagai sandera—perlakuan khusus di mana mereka akan dieksekusi jika aktivitas gerilya berlanjut.

Ia menghabiskan hampir 15 tahun di penjara, sebagian besar dalam sel isolasi. Kondisinya sangat buruk karena mengalami penyiksaan. Selama dua tahun, ia dikurung di dasar sumur tua yang kering, bekas tempat minum kuda.

"Saya dikurung selama tujuh tahun di ruangan yang lebih kecil dari yang ini. Tanpa buku, tanpa ada yang bisa dibaca. Mereka mengajak saya keluar sebulan sekali, dua kali sebulan, untuk berjalan-jalan di sekitar halaman selama setengah jam. Tujuh tahun seperti itu," tuturnya kepada surat kabar Spanyol, Elpais (23/11/2024).

Mauricio Rabuffetti dalam José Mujica: The Calm Revolution (2015) menggambarkan bagaimana penderitaan Mujica saat di penjara, "Dia menderita pemukulan dan penghinaan. Dia menggunakan setengah jatah makanan dan air. Dia menderita penyakit usus dan ginjal. Dia menghabiskan waktu yang lama di mana dia dilarang melakukan kontak dengan manusia lain."

Jose Mujica

José 'Pepe' Mujica mantan presiden Uruguay yang meninggal di usia 89 tahun. foto/Reuters

Akibatnya surat-surat cintanya kepada Lucía Topolansky kerap dicegat sipir penjara. Hanya satu surat yang sampai. Kepada New York Times, mereka mengatakan penjara merampas kesempatan mereka untuk memiliki anak.

Beban psikologis Mujica juga sangat besar; ia sering berbicara tentang kegilaan, delusi, berbicara dengan katak dan semut, serta kesepian yang mencekam. Namun, ia juga mengatakan bahwa tahun-tahun kesendirian itu dianggapnya "yang paling banyak mengajariku."

Kemampuannya untuk bertahan hidup dan menjaga kewarasan dalam kondisi seperti itu adalah bukti ketahanannya yang luar biasa. Film A Twelve-Year Night terinspirasi oleh periode ini.

Jalan Panjang Menuju Demokrasi

Maret 1985, Mujica dibebaskan dari penjara menyusul pemulihan demokrasi konstitusional di Uruguay, di bawah undang-undang amnesti yang mencakup kejahatan politik dan militer terkait.

Ia bersatu kembali dengan Lucía Topolansky yang dibebaskan pada hari yang sama. Mereka menikah pada tahun 2005. Kemitraan seumur hidup mereka, yang ditempa dalam revolusi dan penjara, menjadi konstanta dalam kehidupan politik dan pribadinya.

Beberapa tahun usai pemulihan demokrasi, Mujica dan anggota Tupamaros lainnya bergabung dengan organisasi sayap kiri lain untuk membentuk Gerakan Partisipasi Populer (MPP-Movimiento de Participación Popular).

MPP menjadi partai politik yang diterima dalam koalisi Broad Front, sebuah koalisi luas partai-partai sayap kiri. Mujica terpilih sebagai Anggota Dewan Perwakilan dalam pemilihan umum 1994.

Ia kemudian terpilih sebagai senator pada tahun 1999 dan mulai menjabat tahun 2000. Ketika Tabaré Vázquez dari Broad Front memenangkan kursi kepresidenan pada tahun 2004, Mujica diangkat menjadi Menteri Peternakan, Pertanian, dan Perikanan periode 2005-2008.

Peran menteri ini memanfaatkan latar belakang pertaniannya dan semakin meningkatkan portopolio skala nasional dan kemampuannya untuk memerintah.

Gaya Hidup Sederhana

Terpilih sebagai Presiden Uruguay dalam pemilihan umum 2009, Mujica mulai menjabat pada 1 Maret 2010. Ia dikenal sebagai "presiden termiskin di dunia" karena gaya hidupnya yang sederhana.

Menolak istana kepresidenan, ia tinggal di rumah pertanian sederhana bersama istrinya, Lucía Topolansky, mengendarai Volkswagen Beetle 1987, dan menyumbangkan 90 persen gajinya untuk amal.

Filosofinya menentang konsumerisme menekankan bahwa kebahagiaan bukan dari harta, melainkan kebebasan waktu dan hidup. Kepada The Guardian, ia menyebut orang miskin adalah mereka yang terjebak mengejar gaya hidup mahal.

Gaya hidup asketis Mujica bukan hanya pilihan pribadi, tetapi juga strategi politik cerdas. Dengan menolak kemewahan, ia membangun kepercayaan rakyat, melucuti kritik, dan memperkuat kritiknya terhadap ketidaksetaraan dan kapitalisme.

Di bawah kendalinya, ekonomi Uruguay tumbuh rata-rata 5,4 persen per tahun, upah naik, dan kemiskinan turun dari 13 persen menjadi 7 persen, meski pengeluaran publik yang meningkat memicu defisit fiskal dan kritik. Mujica juga gagal memperbaiki krisis pendidikan.

Namun, di bidang lingkungan, ia menjadikan Uruguay pelopor energi terbarukan, dengan 90-98 persen listrik dari angin, matahari, biomassa, dan hidro, didukung investasi $8 miliar melalui kebijakan kontrak jangka panjang. Ia juga memperkuat kerja sama regional, seperti pemantauan Sungai Uruguay dengan Argentina.

Filosofi Mujica yang menolak konsumerisme "predator" mendorong kebijakan lingkungannya, memandang gaya hidup tidak berkelanjutan sebagai akar krisis ekologi. Ia menyeimbangkan reformasi sosial radikal seperti legalisasi ganja, pernikahan sesama jenis, dan aborsi—dengan pendekatan pragmatis yang ramah investasi.

Pepe, dari ladang krisan masa kecilnya hingga koridor kekuasaan, dan kini kembali lagi ke peristirahatan terakhir di tanah kelahirannya sebagaimana ucapannya, "Saya percaya kita berasal dari ketiadaan. Surga, dan juga neraka, ada di sini."

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi