tirto.id - Ruben Fulgencio Batista Zalvidar mulanya adalah putra seorang petani miskin di Kuba. Usai melewati masa remaja sebagai pekerja imigran, Batista lalu masuk dinas militer pada 1925. Ketokohan dan kekuatan politiknya meroket cepat usai melakukan kudeta pada September 1933. Peristiwa itu dikenal sebagai Revolusi Para Sersan.
Sejak itu, Batista mengangkat dirinya sebagai Kepala Angkatan Perang Kuba. Meski begitu, dialah penguasa Kuba yang sebenarnya. Jika ada presiden yang tidak sepaham dengan Batista, bisa dipastikan akan ada presiden baru yang naik menggantikannya.
Pada 1940, setelah sekian waktu bermain dibelakang layar, Batista terpilih menjadi presiden untuk periode 1940-1944. Pengaruhnya di kalangan militer tetap kuat meski masa jabatannya usai. Berbekal pengaruh politik itu, dia ikut pemilu lagi pada 1952. Namun, untuk memastikan kursi presiden, kali ini Batista memilih jalan pintas dengan menggulingkan Presiden Carlos Prio Socarras.
Sejak kudeta 1952 itu, kelompok revolusioner Kuba semakin antipati terhadap Presiden Batista. Masyarakat Kuba juga resah karena presidennya abai terhadap masalah-masalah riil, seperti kesulitan air bersih dan konstelasi politik yang kacau. Batista makin tidak disukai karena kedekatannya dengan kelompok mafia dari Amerika Serikat.
Singkatnya, Batista semakin menampakkan dirinya sebagai diktator.
Selang beberapa bulan setelah kudeta Batista, kaum oposan yang dipimpin Fidel Castro melayangkan petisi untuk menurunkan Batista. Pengadilan negara lantas menolak petisi itu. Penolakan itu menyadarkan Castro bahwa cara-cara legal tidak akan mengubah keadaan. Maka itu, dia dan sang adik Raul menghimpun kekuatan militer bawah tanah untuk memulai revolusi. Pada 26 Juli 1953, Castro memulai gerakan yang dikenal sebagai Movimiento 26 de Julio alias M-26-7.
Setahun berdiri, M-26-7 berhasil menghimpun 1.200 anggota. Mayoritas dari mereka berasal dari daerah-daerah miskin di Kota Havana. Setelah merasa kekuatannya cukup, Castro bersama 165 orang gerilyawan menyerang barak militer Moncada di kota Santiago de Cuba untuk mengambil alih kendali dan menjarah gudang senjata.
Seturut rencana Castro, senjata jarahan itu akan digunakan untuk mempersenjatai para petani tebu yang ikut bergerilya. Sayang sekali penyerangan itu gagal total. Meski begitu, penyerangan ini dianggap sebagai titik awal Revolusi Kuba.
“Lima orang terbunuh dalam perjalanan menuju Moncada dan 56 lainnya ditangkap dan kemudian dibunuh,” kenang Catro dalam bukunya My Life (2007:133).
Beberapa pemberontak yang berhasil selamat sempat menduduki sebuah rumah sakit sipil. Namun, pasukan pemerintah langsung menyerbu rumah sakit itu dan menangkap mereka. Dengan licik, pemerintah mengeluarkan berita hoax yang menyebutkan bahwa pelaku penyerangan Barak Moncada adalah anggota Partai Komunis yang dengan bengis membunuh pasien-pasien rumah sakit.
Pemerintah juga menuduh partai sayap kiri Popular Socialist Party (PSP) sebagai otak dari penyerangan barak itu. Alhasil, Castro dipenjarakan selama dua tahun. Para eksponen M-26-7 lalu mengubah gerakannya menjadi gerilya panjang yang bertahan hingga lima tahun kemudian.
Kemenangan Revolusi
Pada 1956, M-26-7 mendapat dikungan dari Ernesto “Che” Guevara. Che yang awalnya mendukung dengan kemampuan medisnya, lalu ikut pula mengangkat senjata. Menurut para sejarawan, momentum ini menjadi titik balik perjuangan Che di Amerika Selatan.
Kiprah Che dalam perlawanan itu menarik perhatian Castro. Che menjadi bagian penting dalam perlawanan M-26-7. Che, misalnya, ikut mengorganisasi sekolah-sekolah untuk mengajarkan baca-tulis, membangun pabrik untuk produksi granat, serta membuka fasilitas untuk memenuhi kebutuhan pangan. Castro sendiri menganggap Che kompeten dalam diplomasi.
Selain kelompok Castro, Directorio Revolucionario Estudantil (DRE) juga menginginkan lengsernya Batista. Pada 1957, kelompok mahasiswa revolusioner itu melakukan penyerbuan terhadap Istana Kepresidenan Kuba. Penyerbuan ini gagal dan pemimpin DRE José Antonio Echeverría tewas ditembak pasukan pemerintah.
Amerika Serikat yang semula condong kepada, kemudian ikut mendukung gerakan revolusi. Sebelumnya, Amerika adalah penyuplai alutsista bagi rezim Batista. Negara adidaya itu berubah haluan usai mencium kemungkinan berhasilnya revolusi yang dikobarkan Castro. Lewat CIA, Amerika tidak hanya menyuplai persenjataan dan amunisi, tapi juga menawarkan pelatihan perang gerilya untuk pasukan Castro.
Keadaan ini membuat posisi politik Batista semakin lemah. Para pendukungnya banyak yang mulai menjaga jarak dan bahkan beralih bergabung dengan pasukan Castro. Batista yang kini tidak punya banyak pilihan akhirnya terpaksa menasionalisasi kilang minyak milik Amerika dan berbagai properti lainnya.
Pada 31 Desember 1958, pasukan militan Che Guevara bergabung dengan pasukan Revolutionary Directorate (RD) dan memenangkan pertempuran di Santa Clara. Sadar posisinya kian terdesak, Batista lantas melarikan diri ke Republik Dominika pada dini hari 1 Januari 1959, tepat hari ini 62 tahun lalu. Kaburnya Batista menandai berakhirnya rezim diktator Kuba itu.
Kuba Makin Kiri
Mendengar berita kaburnya Batista, Castro langsung bernegosiasi untuk menduduki kota Santiago de Cuba. Pihak militer pemerintah mendapat perintah untuk berhenti melawan. Pasukan Che Guevara kemudian memasuki Havana dan bertemu dengan pasukan Castro yang juga melakukan long march ke ibu kota.
Usai revolusi, Castro menunjuk Manuel Urrutia Lleó untuk menjadi presiden sementara.
Diplomasi dengan Amerika menjadi salah satu prioritas Castro. Awalnya, dia menduga Amerika akan mendukungnya dalam pemerintahan yang baru. Namun, dukungan Amerika selama revolusi rupanya hanya oportunisme.
Tad Szulc dalam Fidel: A Critical Portrait (1986) menyebut, Amerika mendukung revolusi dengan tujuan menggaet Castro ke barisannya. Namun, hasilnya tidak seperti yang diharapkan Amerika. Ketegangan politik itu berujung pada dihentikannya hubungan diplomatik antara Kuba dan Amerika. Perlahan, Kuba merapat ke pihak Uni Soviet, apalagi setelah Castro secara terbuka menyatakan simpatinya pada pihak komunisme.
Kebijakan-kebijakan awal Pemerintahan Castro pun menunjukkan coraknya yang Marxis. Castro memulai Reformasi Agraria yang membatasi kepemilikan lahan maksimal 402 hektar per pemilik. Dia juga meredistribusi kepemilikan lahan itu. Hasilnya, sekitar dua ratus ribu petani mendapatkan surat kepemilikan lahan.
Castro juga mengangkat orang-orang berhaluan Marxis untuk menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahannya. Che Guevara, misalnya, didaulat menjadi Gubernur Bank Sentral Kuba dan kemudian menjadi menteri perindustrian. Tapi, peran penting Castro dan kelompoknya yang akan selalu dikenang adalah menghentikan korupsi akut dalam birokrasi tinggalan rezim Batista.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi