tirto.id - Pada 1 Januari 1959, tepat hari ini 61 tahun lalu, Revolusi Kuba mencapai puncaknya. Fidel Castro dan sekutunya yang tergabung dalam Gerakan 26 Juli berhasil melengserkan kediktatoran militer Presiden Fulgencio Batista.
Peristiwa ini penting sebab efeknya tidak hanya terasa dalam lingkup masyarakat Kuba. Masih dengan semangat pembebasan dan anti-imperialisme, Fidel kemudian mengekspor revolusi sosialisnya ke negara tetangga hingga yang sedang berjuang di Afrika.
Para sejarawan, seperti T. J. English dalam Havana Nocturne: How the Mob Owned Cuba and Then Lost It to the Revolution (2008), mencatat kesuksesan Fidel tidak lepas dari menurunnya popularitas Batista saat berkuasa untuk kedua kalinya.
Jabatan orang nomor satu di Kuba ia raih secara demokratis pada 1940. Batista awalnya memimpin dengan cukup progresif hingga mengakhiri jabatannya pada 1944. Pada 1952 ia berkuasa kembali, namun kali ini melalui jalur kudeta yang membatalkan proses pemilihan umum.
Batista berubah menjadi diktator yang tidak peduli akan meroketnya pengangguran, krisis air, dan problem pelik lain yang kian meruncingkan kesenjangan sosial di Kuba.
Batista justru populer di lingkaran mafia dan digandeng untuk menjalankan kongsi-kongsi jahat. Ia juga dekat dengan pemerintah Amerika Serikat yang gelontoran investasinya sampai pada taraf memonopoli ekonomi negara.
Fidel Castro, pengacara dan aktivis muda, kemudian mengajukan petisi untuk menggulingkan Batista pada beberapa bulan setelah Batista berkuasa. Tuduhannya tirani dan korupsi akut. Pengadilan negara, yang masih dalam pengaruh Batista, tentu saja menolaknya.
Setelah menyadari bahwa pergantian rezim mustahil dilakukan melalui jalur legal, Fidel memutuskan untuk mewujudkannya lewat perjuangan bersenjata. Julia E. Sweig dalam Inside the Cuban Revolution: Fidel Castro and the Urban Underground (2004) merekamnya dengan cukup detail.
Bersama adiknya, Raul Castro, Fidel mula-mula mendirikan organisasi paramiliter, lalu menimbun senjata, lalu merekrut 1.200-an anggota asal Havana yang kebanyakan berasal dari golongan kelas pekerja.
Serangan pertama dilancarkan ke markas militer Moncada pada 26 Juli 1953—yang sayangnya dipatahkan Batista dengan mudah.
Fidel dan kawan-kawannya sempat divonis penjara. Dua tahun kemudian mereka dibebaskan karena tekanan politik kepada Batista kian menguat. Energi Fidel dan kawan-kawan juga makin membesar usai mengasingkan diri selama satu tahun di Meksiko.
Di Meksiko mereka menerima pelatihan militer dari mantan pemimpin pasukan Republikan di Perang Sipil Spanyol, Alberto Bayo. Mereka juga bertemu dengan revolusioner kenamaan asal Argentina, Ernesto “Che” Guevara, yang akhirnya bergabung ke dalam organ perjuangan Fidel.
Fase selanjutnya adalah kampanye gerilya yang melelahkan selama empat tahun. Upaya ini dimulai saat kapal yang ditumpangi Fidel dan kawan-kawan mendarat di pesisir kota Playa Las Coloradas pada 25 November 1956.
Mereka menyisir hutan pegunungan Kuba, merekrut lebih banyak tentara, menjaring dukungan dari warga lokal, sembari disokong bantuan finansial dari luar negeri. Mereka mampu memenangkan sejumlah pertempuran, namun juga beberapa kali kalah.
Pada 31 Desember 1958 Kota Santa Clara direbut oleh Che Guevara dan kelompok pemberontak lain. Batista yang panik lalu memutuskan kabur ke Republik Dominika.
Situasi ini memudahkan upaya merebut ibu kota Havana dan otomatis memenangkan pertempuran seutuhnya. Warga Kuba pun menyambut rezim baru di tahun baru.
Ekspor Revolusi & Intervensi Militer
Fidel membentuk negara sosialis-revolusioner dan menjalankan berbagai kebijakan progresif, khususnya menasionalisasi berbagai perusahaan AS yang selama ini mengeksploitasi sumber daya alam Kuba.
Langkah ini membuat hubungan dengan Paman Sam memburuk. Sebelumnya Presiden John F. Kennedy sebenarnya mengakui pemerintahan baru Fidel.
Namun kemesraan segera berlalu setelah AS takut jika pemberontakan komunis menyebar ke negara Amerika Latin lain, sebagaimana hal yang sama dikhawatirkan terjadi di Asia Tenggara.
Pendirian Fidel tegas: ia anti-imperialisme, apalagi yang dijalankan negara kapitalis seperti AS. Ia belajar dari kolaborasi Batista-AS yang pernah menyengsarakan rakyat Kuba. Dengan demikian, ia pun membantu perjuangan kelompok-kelompok kiri di negara lain.
Margaret Randall mengulas hal itu dalam Exporting Revolution: Cuba's Global Solidarity (2017). Margaret menegaskan bantuan tidak melulu inisiatif Kuba, tetapi juga kerap berasal dari permintaan kelompok revolusioner dari berbagai negara.
Intervensi militer Kuba tercatat pernah terjadi di Nikaragua hingga Angola, mulai dari wilayah Amerika Selatan dan Tengah sampai ke Afrika. Perlu dicatat, karena tidak bisa dilepaskan dari konteks Perang Dingin, manuver itu kerap bersinggungan dengan dukungan politik Kuba kepada Uni Soviet.
Di sisi lain, Kuba mendukung kemandirian politik dan ekonomi negara-negara dunia ketiga—termasuk Indonesia—yang memilih sikap non-blok.
Intervensi dengan skala terbesar yang pernah Kuba jalankan terjadi di Angola. Fidel menerjunkan total lebih dari 50 ribu tentara. Jumlah ini belum termasuk bantuan senjata, finansial, sampai peralatan dan petugas medis.
Angola merdeka dari Portugal pada November 1975. Sayangnya negara di barat daya Afrika ini langsung dilanda ketidakstabilan lain. Penyebabnya adalah perebutan kekuasaan oleh kelompok-kelompok pejuang kemerdekaan.
Perang Sipil Angola berlangsung hingga berpuluh-puluh tahun karena Soviet dan AS turut menyokong pihak-pihak yang berebut kekuasaan. Angola dijadikan semacam medan perang proksi (perang melalui perwakilan pihak atau negara lain).
Kuba memberikan bantuan pada kelompok kiri yang dibekingi Soviet, Gerakan Rakyat untuk Pembebasan Angola (MPLA). Lawannya kelompok kanan yang didukung AS, Afrika Selatan, dan Zaire: Front Pembebasan Nasional Angola (FNLA) dan Uni Nasional untuk Kemerdekaan Total Angola (UNITA).
Perang baru benar-benar berakhir pada 2002 dengan kemenangan MPLA. Namun harganya adalah kehancuran infrastruktur hingga ekonomi negara.
Intervensi lain pernah terjadi di Nikaragua. Pemerintahan Fidel menyokong perjuangan Front Pembebasan Nasional Sandinista (FSLN), partai politik berhalauan sosialis-revolusioner yang berupaya menggulingkan kediktatoran Presiden Anastasio Somoza DeBayle plus dinasti keluarga Somoza.
Nama parpol diambil dari Augusto Cesar Sandino, pemimpin gerakan anti-kolonialisme AS di Nikaragua pada 1930-an. Selain sikap anti-AS, Kuba dan FSLN juga direkatkan melalui ideologi Marxime-Leninisme.
Kontak dengan FSLN sudah dibangun Kuba sejak pertengahan 1960-an. Pada 1970 Badan Intelijen Kuba (DGI) mulai melatih ratusan gerilyawan Sandinista. Bantuan lain berupa modal finansial, termasuk modal untuk membebaskan pemimpin organisasi yang ditahan di penjara Kosta Rika.
Dari sekian negara Amerika Latin yang Kuba bantu, Nikaragua mendapat dukungan paling besar. Hasilnya adalah tergulingnya Somoza pada 1979, kemudian lahirnya pemerintahan Sandinista. DGI lagi-lagi terlibat di dalam proses pembentukan rezim baru ini.
Ekspor revolusi dalam bentuk intervensi militer hanyalah satu bentuk. Sejarawan mencatat pada dasarnya Revolusi Kuba menginspirasi berbagai gerakan sayap kiri di negara lain untuk mengangkat senjata, terutama di negara-negara dunia ketiga.
Mereka menjajaki upaya serupa: melengserkan tiran kapitalis, membangun tatanan kekuasaan baru yang lebih pro terhadap kaum proletar. Ada yang menang. Ada yang kalah. Ada yang berjaya untuk sementara saja. Ada yang terus diperjuangkan meski dicap utopia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan