Menuju konten utama

Setelah Klan Castro Tak Lagi Berkuasa

Masyarakat Kuba bersiap mewujudkan harapan baru. Tapi, bisakah mereka?

Setelah Klan Castro Tak Lagi Berkuasa
Presiden baru Kuba Miguel Diaz-Canel (kiri) bersama mantan presiden Raul Castro di Majelis Nasional, Havana, Kuba (19/4/18). REUTERS/Adalberto Roque

tirto.id - Kuba resmi memiliki pemimpin baru. Sidang Nasional yang diselenggarakan pada Kamis (19/4) lalu, mengumumkan bahwa Miguel Diaz-Canel yang berusia 57 tahun didapuk sebagai kepala negara. Naiknya Diaz-Canel menjadi presiden mengakhiri dominasi klan Castro—Fidel dan Raul—yang berkuasa di Kuba selama hampir enam dekade.

Sebagaimana dilaporkan CNN, nama Diaz-Canel diajukan sebagai calon tunggal pada Rabu sebelumnya. Ia dipilih dalam sidang tertutup serta memperoleh suara 603-1. Mengenai keberhasilannya tersebut, Diaz-Canel mengaku bakal melanjutkan fondasi pemerintahan yang telah dibangun Raul Castro.

“Mandat yang diberikan orang-orang saat ini adalah untuk memberikan kesinambungan bagi Revolusi Kuba di momen bersejarah yang penting,” ujar Diaz-Canel dalam pidato pertamanya dilansir Reuters.

Ditunjuknya Diaz-Canel untuk menjalankan pemerintahan merupakan hasil dari serangkaian pemilihan dalam negeri yang dilaksanakan sejak Maret. Komisi Pemilihan Nasional (CEN) Kuba menyatakan, pemilihan umum tahun ini diikuti 7.399.891 pemilih—atau sekitar 82,9%. Seperti diwartakan teleSUR, mereka berpartisipasi untuk memilih 605 anggota Dewan Nasional Kekuatan Rakyat serta 1.265 delegasi untuk 15 Majelis Provinsi di Kuba.

Menurut harian resmi Kuba Granma, pemilihan di negeri cerutu itu dibedakan menjadi dua: pemilihan sebagian dan pemilihan umum. Pemilihan sebagian (atau parsial) berlangsung setiap dua setengah tahun sekali untuk memilih perwakilan Majelis Kota. Sedangkan pemilihan umum diselenggarakan setiap lima tahun. Dalam pemilihan umum, masyarakat menentukan suaranya untuk menentukan perwakilan dari Dewan Nasional Kekuatan Rakyat—badan representasi politik negara yang terdiri atas Dewan Kota, Provinsi, dan Majelis Nasional.

Presiden Kuba diangkat lewat sejumlah mekanisme. Pertama, yang bersangkutan dinominasikan sebagai wakil yang diusulkan dan disetujui dalam pleno kepemimpinan organisasi sosial atau massa. Lalu, nominasi tersebut naik dan disetujui oleh Majelis Kota. Dari situ, calon maju dalam pemilihan di tingkat distrik melalui pemungutan suara langsung oleh pemilih. Proses terakhir yang ditempuh yakni maju di Majelis Nasional dan dipilih oleh wakil-wakil di dalamnya.

Siapa Miguel Diaz-Canel?

Diaz-Canel lahir pada April 1960, kurang dari setahun setelah Fidel Castro menduduki kursi kekuasaan di Kuba. Semasa mudanya, seperti ditulis BBC, ia belajar teknik elektro serta memulai karier politiknya di usia 20 tahun sebagai anggota Liga Komunis Muda di Santa Clara. Saat lulus kuliah dan bekerja di universitas setempat, ia naik jabatan jadi sekretaris kedua Liga Komunis Muda.

Kiprahnya terus berlanjut ketika ia masuk kepengurusan Partai Komunis di Provinsi Villa Clara. Selama bergabung dengan Partai Komunis di wilayah itu, dari 1994 sampai 2003, ia pernah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang tergolong progresif, seperti membolehkan berlangsungnya konser musik rock hingga mendukung keberadaan kelompok LGBT. Keputusan-keputusannya tersebut membuat Villa Clara, mengutip The New York Times, jadi wilayah “yang menikmati banyak kebebasan dibanding daerah lain di Kuba.”

“Dia mendukung kami setiap waktu saat ada keluhan mengenai keberadaan kami [kelompok LGBT],” ujar Silverio Gomez, Direktur El Mejunje, klub LGBT di Villa Clara kepada The New York Times. “Dia adalah sekutu. Dan, suatu hari saya melihat dia berkata, ‘Anda dapat terus mengandalkan dukungan dan pemahaman saya.’”

Selain karena keputusan-keputusannya, Diaz-Canel juga dikenal publik lewat penampilannya di publik. Banyak yang berkata, citranya di tengah masyarakat lebih dari sekedar politisi biasa. Semasa di Santa Clara, ia tampil slengean; mengenakan celana pendek dan rambutnya dibiarkan terurai panjang. Di lain waktu, ia tak segan datang ke pementasan rock atau mengendarai sepeda menuju tempat kerjanya—meski diikuti pengawalan tim keamanan di belakangnya.

“Dia membaur dengan kelas intelektual, datang ke konser, dan dekat dengan anak-anak muda,” ujar Juan Juan Almedia, politisi lokal Partai Komunis. “Semua orang yang saya kenal punya pandangan sama terhadapnya. Mereka tidak menganggap [Diaz-Canel] diktator.”

Sementara John McAuliffe, Direktur Eksekutif Fund for Reconciliation and Development, LSM yang berfokus pada isu Kuba-Amerika, mengatakan dengan informalitas maupun aksesibilitasnya, Diaz-Cane menunjukkan bahwa “dia punya gaya pribadi yang berbeda dari generasi pemimpin Kuba sebelumnya.”

Apa yang dilakukan Diaz-Canel tersebut menuntunnya pada perjalanan politik yang lebih besar. Pada 2003, ia berhasil menembus jajaran elite Partai Komunis di tingkat nasional dengan menjadi anggota Politbiro (semacam komite eksekutif Partai Komunis) bersama 13 orang lainnya.

Enam tahun berselang, ia naik pangkat dengan menjabat menteri pendidikan tinggi, dari 2009 hingga 2012. Pada 2013, ia duduk di kursi wakil presiden, mendampingi Raul sebelum akhirnya menggantikannya di tahun ini.

Sejauh ini, sosok Diaz-Canel mendapat tanggapan positif dari publik. Ia dianggap sebagai pemimpin yang tenang tapi efektif dalam bekerja, berpikiran terbuka, pendengar yang baik, bebas dari kekakuan, serta mudah didekati. Ia bahkan disebut-sebut menjadi pembela revolusi yang tak kenal lelah dengan prinsip-prinsip politik yang dijunjungnya.

Infografik Kuba Pasca castro

Ke Mana Arah Kuba Selanjutnya?

Raul Castro duduk di kursi kekuasaan Kuba pada 2008 dan menjabat selama satu dekade kemudian. Sama seperti pemerintahan negara pada umumnya, kekuasaan Castro bergerak bak yoyo; naik-turun.

Richard E. Feinberg dari Brookings Institutions dalam tulisannya berjudul “What Will Be Raul Castro’s Legacy?” menyebutkan bahwa dalam banyak hal, sepuluh tahun pemerintahan Raul bisa dibilang “benar-benar mengecewakan.” Pertumbuhan ekonomi jalan di tempat, reformasi ekonomi mandeg, represi kebebasan, kekuatan politik masih terpusat, serta anak-anak muda berbondong-bondong cabut dari Kuba untuk mencari peluang yang lebih baik di luar negeri.

Namun, Feinberg juga menulis sejumlah catatan positif selama pemerintahan Raul. Di bidang ekonomi, Raul getol membuka keran investasi asing. Pemerintahan Raul banyak membangun kerjasama ekonomi dengan negara lain hingga perusahaan asing. Laporan memperlihatkan, pada 2017-2018 ada 456 proyek investasi (yang sudah atau hendak dikerjakan) dengan nilai kumulatif sebesar $11 miliar.

Tapi, gebrakan Raul tersebut menemui halangan. Salah satu contohnya, Mariel, zona pengembangan ekonomi yang menghadap Selat Florida dilaporkan masih sepi peminat. Selama tiga tahun terakhir, setelah pertama kali diresmikan, “hanya” ada 26 proyek senilai $1 miliar. Sebanyak 15 proyek di antaranya berpotensi menimbulkan masalah baru berupa: memungkinkan 100% kepemilikan asing.

Dari segi politik luar negeri, pemerintahan Raul juga mengambil keputusan berani dengan normalisasi hubungan diplomatik dengan seteru historisnya, Amerika Serikat. Feinberg menuturkan, terlepas dari aturan baru yang dikeluarkan Donald Trump untuk membatasi perjalanan dan perdagangan dengan Kuba, dampak normalisasi hubungan yang diteken di era Barack Obama tersebut masih terasa.

Sebagai contoh, Florida tidak lagi jadi ancaman eksistensi Kuba, intensitas perjalanan ke Amerika (dengan penerbangan komersial dan kapal pesiar) meningkat, sampai mengalirnya arus pengiriman uang ke banyak keluarga Kuba di kedua negara. Pergeseran besar lain yang terjadi di Kuba: masyarakat sekarang dapat memiliki properti, bersanding dengan koperasi, asing, dan negara.

Sekarang yang menjadi pertanyaannya ialah bagaimana Kuba di bawah kepemimpinan Diaz-Canel? Tentu pertanyaan semacam ini harus dijawab dengan analisa yang panjang. Tapi, Diaz-Canel sendiri paham bahwa tugas berat menanti di depannya. “Masyarakat menuntut lebih banyak,” ungkapnya suatu waktu dilansir teleSUR.

Beberapa hal yang musti dilakukan Diaz-Canel antara lain memperbaiki ekonomi, memperluas jangkauan internet ke lebih dari 5% populasi keseluruhan, mencari solusi diplomatik dengan Amerika, hingga menciptakan lingkungan media yang lebih terbuka.

Profesor ilmu pemerintahan dari American University School of Public Affairs, William M. LeoGrande dalam “Cuba’s New President: What to Expect of Miguel Diaz-Canel” yang terbit di The Conversation mengatakan mau tidak mau, Diaz-Canel harus sesegera mungkin menghidupkan kembali ekonomi Kuba yang melambat. Caranya ialah dengan mendorong maju program-program reformasi yang dulu diluncurkan Raul seperti melonggarkan pembatasan pada perusahaan swasta serta investasi asing.

Apabila langkah itu tak segera direalisasikan, Diaz-Canel, catat LeoGrande, akan menghadapi tekanan dari masyarakat Kuba yang frustrasi karena laju pertumbuhan ekonomi yang melambat.

Masalah ekonomi lain yang muncul adalah soal penyatuan mata uang. LeoGrande menjelaskan buruknya ekonomi Kuba saat ini tidak bisa dilepaskan dari sistem mata uang ganda yang diterapkan Fidel pada 1994. Masyarakat Kuba memang mengenal dua mata uang. Selain Peso Cuban (CUP), ada pula Convertible Cuban Peso (CUC) yang awalnya hanya digunakan untuk wisatawan tetapi malah menyebar ke semua bidang ekonomi serta menimbulkan masalah serius di kehidupan masyarakat.

Sebetulnya, Raul telah berkali-kali menyatakan bahwa unifikasi kedua mata uang itu “tidak bisa ditunda lagi.” Tapi, terus terganjal faktor serta anggapan: penyatuan dua mata uang akan menyebabkan “konsekuensi ekonomi tak terduga.”

Michael Bustamante, asisten profesor sejarah Amerika Latin di Florida International University, menegaskan penyatuan dua mata uang “sangat penting untuk kemakmuran masyarakat serta masa depan ekonomi Kuba.”

Soal kebebasan berekspresi, tambah LeoGrande juga menjadi masalah serius di Kuba. Amnesty International mencatat, di tengah gebrakan yang dilakukan pemerintahan Raul, nyatanya sensor masih saja terjadi.

Indikator pemberangusan kebebasan berekspresi di Kuba bisa dilihat lewat monopoli negara atas atas media cetak dan penyiaran serta fakta bahwa masyarakat Kuba dapat dipenjara jika dianggap kebablasan mengemukakan pendapatnya. Lembaga think tank AS, Freedom House, dalam laporannya pada 2017 menyebut status Kuba adalah “Not Free” atau bisa diartikan bermasalah dengan kebebasan sipilnya.

Tak ketinggalan, pemerintahan Diaz-Canel, tulis LeoGrande, mesti memikirkan langkah-langkah khusus untuk menyikapinya relasi diplomatik dengan AS setelah Trump mengeluarkan kebijakan yang berpotensi memperburuk tensi antara dua negara bersangkutan.

Satu lagi hal yang perlu dipikirkan Diaz-Canel ialah soal posisi Raul. Kendati sudah bukan orang nomor satu di Kuba, Raul tetap jadi anggota Majelis Nasional serta Ketua Partai Komunis Kuba. LeoGrande mengatakan bisa dibilang posisi Ketua (atau First Secretary) Partai Komunis Kuba lebih kuat dibanding presiden.

Kepemimpinan partai, catat LeoGrande, merumuskan semua kebijakan hubungan ekonomi, sosial, sampai luar negeri yang harus dilaksanakan presiden. Ini yang nantinya jadi tantangan besar bagi Diaz-Canel: bagaimana ia mendorong pemisahan kekuasaan partai politik dan pemerintahan.

Pada akhirnya, mengharapkan perubahan di Kuba usai suksesi bukan pekerjaan yang mudah. Javier Corrales, profesor ilmu politik Amherst College, dalam "Goodbye Castros, Hello Communist Party" yang terbit di The New York Times mengatakan setelah suksesi, rezim Kuba akan tetap dipojokkan oleh militer, sistem regulasi yang dirancang guna membatasi pertumbuhan politik maupun demokrasi, hingga yang paling penting masih kuatnya pengaruh Raul mengingat ia mengemban jabatan tinggi di partai sampai militer meski tak lagi jadi presiden.

Diaz-Canel harus segera bergerak cepat. Tak ada waktu baginya untuk berleha-leha. Ia dihadapkan dengan situasi yang ekonomi dan politik dalam-luar negeri yang kompleks. Jika sukses, ia semakin menegaskan status dirinya sebagai politisi progresif. Tapi, apabila gagal, ia barang tentu bakal jadi bulan-bulanan masyarakat Kuba yang menganggapnya tak jauh beda dengan Raul Castro.

Baca juga artikel terkait KUBA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf