tirto.id - Foto Ratna Sarumpaet babak belur segera menjadi pergunjingan dari mulut ke mulut warganet. Foto itu kali pertama diunggah akun @ayuning_2 yang belakangan dihapus setelah cuitannya bikin gaduh.
Di grup pendukung Prabowo-Sandi, kabar Ratna diancam pemerintah segera saja beredar. “Dari Ajudan PS (Prabowo Subianto), penganiayaan itu memang terjadi. Cuma Ratna ditekan pemerintah. Dia di bawah ancaman,” tulis seseorang dengan nama akun Fadillahahmad55 di grup WhatsApp Prabowo-Sandi.
“Atika Hasiholan mau dibunuh dan diperkosa di depan Ratna,” tulisnya memprovokasi.
Kabar Ratna dipukuli sampai bengep-bengep segara saja ditanggapi para koleganya di grup tersebut. Ia lantas menguatkan kabar itu bahwa Ratna menjadi korban penganiayaan.
Namun, sebagaimana kemudian kita tahu, kabar itu bohong belaka. Ratna sejatinya menjalani operasi kecantikan dan bukan babak belur karena kekerasan.
Kabar bohong yang juga dilahap mentah-mentah oleh Prabowo Subianto ini jadi pintu pembuka serangkaian hoaks menjelang Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019.
Kabar bohong itu segara menampar kubu Prabowo Subianto. Malam hari ia mengutuk pengeroyokan yang dialami Ratna seraya meminta kepolisian segera mengusut dan mengungkap dalang penyerangan, sehari kemudian Prabowo meminta maaf kepada publik karena termakan hoaks.
Meski banyak yang memuji, tetap saja seorang kandidat presiden gampang ditipu oleh kabar bohong jadi tamparan keras bagi pendukungnya sendiri.
Di media sosial, narasi-narasi perseteruan antara cebong dan kampret, julukan saling merendahkan bagi para pendukung kedua kubu, makin meruncing. Belakangan, kabar bohong itu menjadi olok-olokan para cebong menyerang kampret, begitupun sebaliknya.
Dalam kasus hoaks Ratna, kepolisian pun menangkapnya; kasusnya masih bergulir di persidangan. Amien Rais, orang yang ikut memompa produksi hoaks itu, turut dimintai keterangan sebagai saksi di persidangan.
Kasus hoaks Ratna Sarumpaet, bagaimanapun, adalah permulaan kabar bohong yang terus diproduksi selama Pemilu 2019.
Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika mencatat, sepanjang Agustus sampai September 2018, setidaknya ada 19 kabar hoaks yang berkaitan dengan politik.
Kabar pertama mula-mula mengenai dukungan “Dian Sastro Dengan Tagar Ganti Presiden,” yang kemudian berlanjut dengan kabar bohong mengenai "Cina minta Jokowi jual Pulau Jawa dan Sumatra”.
Dari isu hoaks yang diklasifikasi Kominfo, setidaknya pada Agustus, ada 11 kabar bohong terkait politik. Kabar hoaks politik itu jumlahnya terus meningkat hingga akhir 2018 dengan total 60 berita.
Baik Jokowi Maupun Prabowo Diserang Hoaks
Dari 60 berita hoaks yang bermuatan politis, Jokowi menjadi target terbanyak. Catatan Subdit Pengendalian Konten Internet Kominfo, Jokowi misalnya dibingkai melalui kabar hoaks bahwa dia berkongsi dengan Cina seperti “Cukong Cina Pendukung Jokowi”. Kabar ini mencomot foto Jokowi dengan perwakilan presiden Tiongkok. Aslinya foto itu adalah pertemuan yang memberi ucapan kepada Jokowi sebagai presiden terpilih pada November 2014.
Hoaks soal "Cina" juga pernah diproduksi menjelang akhir tahun, misalnya, “Pendatang Cina diberi arahan KPU untuk mencoblos di TPS”.
Sebagaimana serangan kampanye hitam pada Pilpres 2014, narasi bohong "Jokowi keturunan Cina" berulang pada Pilpres 2019. Pada 1 Maret lalu, Jokowi kembali disebut dalam hoaks bernama asli "Herbertus Handoko Joko Widodo bin Oey Hong Liong".
Narasi-narasi sentimen anti-Cina itu makin berkembang sejalan kubu Prabowo memainkan propaganda "aseng" dan "asing". Narasi ini bahkan dipakai pula saat debat mengenai pengelolaan aset negara. Tapi, isu "asing" dan "asing" juga berkali-kali diluruskan oleh kubu Jokowi, bahkan hingga debat resmi terakhir pada pada Sabtu malam, 13 April, kemarin.
Adapun terhadap Prabowo, salah satu kampanye hitam yang menyerangnya adalah soal keluarganya yang disebut tidak harmonis, gagal mendidik anaknya, perceraian dengan Titiek Soeharto, yang tujuannya tentu untuk mengontraskan pembawaan Prabowo yang terlihat tegas serta membandingkan dengan keluarga Jokowi.
Hoaks untuk Merebut Pemilih
Jumlah hoaks terus meningkat mendekati 17 April 2019. Pada Januari 2019, sebagaimana data dari Kominfo, ada 175 hoaks, bertambah dua kali lipat pada Februari (353) dan makin naik pada Maret (453).
Dari 453 berita hoaks pada bulan lalu, ada 50 hoaks memakai kata "Jokowi". Sebaliknya, ada 26 hoaks menggunakan nama "Prabowo Subianto".
Hoak-hoaks itu bertujuan untuk menyerang kedua calon, yang bisa dianggap menguntungkan dan merugikan. Seperti yang direkam Kominfo, Prabowo diserang hoaks yang ujungnya buat menarik dukungan.
Misalnya, kabar bohong yang beredar pada 4 Maret 2019 bahwa selebritas Cinta Laura mendukung Prabowo. Kabar bohong lain adalah “Prabowo-Sandi Unggul di Survei Asing”.
Adapun hoaks terhadap Jokowi cenderung bernada negatif. Selain diisukan "antek aseng dan asing", "mengkriminalisasi ulama", Jokowi juga dinarasikan sebagai "anti-Islam". Belakangan, sejak Januari hingga Maret 2019, narasi-narasi hoaks yang dituduhkan ke Jokowi makin mengerucut, yakni “Berlaku Curang” dalam Pilpres 2019.
Narasi itu ingin membentuk persepsi bahwa jika Jokowi menang, sudah pasti karena bermain curang. Narasi bohong ini misalnya, “Kades hingga Gubernur Tidak Boleh Netral, Harus Turuti Kemauan Pak Jokowi,” atau “Polisi Bentuk Tim Buzzer Dukung Jokowi,” serta “Polres Sleman Bantu Jokowi Kampanye”.
Editor: Fahri Salam