tirto.id - Skenario pengeroyokan Ratna Sarumpet, yang hari kemarin masih jadi juru kampanye kandidat Prabowo-Sandiaga, terbongkar sebagai hoaks. Otak dari cerita itu adalah dirinya sendiri, yang disebarkan melalui akun media sosial koleganya.
"Tidak ada penganiayaan. Itu hanya cerita khayal. Entah diberikan setan mana ke saya," kata Ratna di kediamannya, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu kemarin, 3 Oktober 2018.
Hoaks pemukulan terhadap Ratna mulai disebar pada Selasa, 2 Oktober. Akun Facebook bernama Swary Utami Dewi mengunggah cerita itu sekitar pukul 09.00 pagi. Dalam foto itu, muka Ratna tampak bengkak, matanya tidak bisa membuka lebar. Pada dahinya tampak kerutan seperti bekas diperban. Ketika saya mengakses unggahan itu pada hari ini, rupanya konten itu sudah dihapus.
Swary adalah lulusan pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Dalam unggahan foto, Swary membuat narasi: "Apakah karena berbeda maka seseorang berhak dipukuli? Simpatiku buat Ratna Sarumpaet. Katakan tidak untuk segala bentuk kekerasan. #2019tetapwaras."
Yang termakan hoaks penganiayaan Ratna adalah juga politikus Partai Gerindra Rachel Maryam. Mantan aktris ini mempercayai cerita pabrikasi Ratna dengan mencuit di akun Twitter pribadinya @cumarachel pada 2 Oktober pukul 10.51.
"Berita tidak keluar karena permintaan bunda @Ratnaspaet pribadi, beliau ketakutan dan trauma. Mohon doa," tulisnya, menjawab kenapa informasi mengenai ini muncul lebih dari seminggu setelah kejadian.
Pabrikasi hoaks ini cepat menyebar bak wabah, terutama diamplifikasi oleh para pendukung Prawabo-Sandi. Dahnil Anzar Simanjuntak, politikus dan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah serta jubir Prabowo-Sandi, mengonfirmasi bahwa Ratna dikeroyok oleh orang tak dikenal dan dimasukkan ke dalam mobil. Cerita itu, tulisnya, ia peroleh langsung dari Ratna.
Begitu pula wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Mencuit via akun twitternya, doktor studi sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini menegaskan Ratna Sarumpaet mengalami penganiayaan dan dikeroyok dua sampai tiga orang.
"Jahat dan biadab sekali," kata Zon pada 2 Oktober pukul 12.50
Zon mengaku bertemu dengan Ratna setidaknya dua kali setelah penganiayaan; tanggal 30 September, dan yang terakhir pada sore hari bersama Prabowo di tempat yang dirahasiakan. Wajah Ratna sudah tampak normal.
Namun, ribut-ribut Ratna dipukul di media sosial tersebut, yang cepat mengalihkan perhatian audiens dari gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, rupanya hoaks belaka, secepat pabrikasi cerita ini dibuat.
Pada Rabu kemarin, selain mengonfirmasi bahwa dia berbohong melalui konferensi pers di rumahnya, Ratna juga meneruskan langkah pengakuan itu dengan pengunduran diri sebagai tim kampanye Prabowo-Sandi.
Mengapa hoaks "penganiayaan" Ratna gampang dilahap oleh para politikus?
Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid berkata kepada Tirto bahwa tak ada orang yang kebal terhadap hoaks, mau jenis kelamin apa, umurnya berapa, pendidikannya setinggi apa, maupun tingkat sosial dan kulturalnya sejauh mana. Latar belakang ini, katanya, tidak berpengaruh.
"Semua tak ada yang kebal terhadap hoaks, kecuali tingkat literasi tinggi alias bersedia mengecek setiap berita yang masuk," ujar Anita, putri mantan presiden Abdurrahman Wahid.
Setiap manusia, kata Anita, punya satu perangkat kepercayaan yang dimiliki. Mengenai pemerintah, dirinya, keluarga, dan masyarakat. "Jika dia menerima informasi dan tidak cocok dengan apa yang dipercayanya, maka akan mental. Walaupun informasinya benar."
"Sebaliknya, jika informasinya salah tapi cocok dengan yang dipercayanya, itu bisa diterima," tambah Anita.
"Jadi mau itu profesor, apalagi enggak mau cek, bisa gampang banget tertipu. Kalau menerima informasi ternyata hoaks tapi cocok dengan dia percayai, itu pasti diterima," tegas Anita via telepon.
Fanatik terhadap Figur
Pakar Teknologi Informasi dan Media Sosial Nukman Luthfie menjelaskan, seseorang umumnya kecanduan menyebar kabar hoaks karena pengetahuannya yang dangkal. Faktor lain karena penyebarnya mengidap bias berupa sentimen atau keberpihakan kepada aktor politik tertentu.
"Misalnya, garis kerasnya pendukungnya Jokowi, kalau ada [informasi] yang baik-baik ya disebarkan tanpa cek dan ricek. Begitupun sebaliknya, pendukung Pak Prabowo. Jadi itu alamiah. Begitu kita punya bias, kita bisa terjebak," ujar Nukman.
Nukman mencontohkan pengalaman Pilpres 2014 sebagai awal mula penyebaran hoaks melalui online, meskipun kecil tapi cukup berdampak pada masyarakat lain. Penyebaran hoaks semakin meningkat pada Pilkada 2017, terutama dalam Pilkada Jakarta. Sekarang hoaks semakin bertambah.
Berdasarkan data Mafindo, selama tiga bulan terakhir, ada peningkatan jumlah hoaks dan disinformasi. Mayoritas isinya konten politik: 46,38% dari 65 konten pada Juli 2018; 58,42% dari 79 konten pada Agustus 2018; dan 59% dari 86 konten pada September 2018. Total, ada 230 konten hoaks dan disinformasi pada kurun itu.
Untuk platform media sosial, yang paling dominan penyebaran hoaks dan disinformasi adalah Facebook (110 kali), Twitter (28 kali), WhatsApp (27 kali), dan YouTube (18 kali).
Nukman berkata ratusan hoaks dan disinformasi itu ada yang dari konten lama tapi sudah didaur ulang. "Kalau orang sudah berpihak," ujarnya, "isu tersebut termakan."
Ia mencontohkan jenis hoaks yang mendukung bias lama. Misal, mobil Neno Warisman yang dituding dibakar padahal buktinya terbakar. Kemudian, hoaks soal rumah Mardani Ali Sera yang dilempar bom molotov padahal tidak.
"Jadi, dibangun persepsi siapa pun lawannya Jokowi akan digebukin. Laporan polisi enggak benar, enggak percaya. Ini diperkuat kasus Ratna Sarumpaet. Jadi peristiwa baru tapi biasnya sama bahwa lawan Jokowi [pasti] digebukin," kata Nukman.
Mengurangi Penyebaran Hoaks
Anita Wahid berpendapat senjata mengurangi penyebaran hoaks adalah masyarakat bersedia untuk selalu memverifikasi berita. Bahkan, pemerintah perlu mengajar mana berita dan hoaks
"Bagaimana berita satu itu valid atau enggak? Bagaimana kita harus membuka channel informasinya enggak hanya media yang kita senangi saja tetapi media yang berada di kubu sebelah," kata Anita.
Belajar dari kasus hoaks Ratna, Anita bilang mungkin masyarakat umum sedikit demi sedikit mulai terbuka dan sadar, "Justru kejadian itu (memiliki) kabar baiknya: kesadaran masyarakat untuk ngecek (postingan)," meski ia menambahkan hal macam ini mesti melewati jalan terjal.
Nukman Luthfi berpendapat sulit bagi kita mengurangi hoaks dan disinformasi jika kita sudah berpihak kepada salah satu pasangan capres-cawapres. Namun, untuk jangka pendek, pihak berwenang harus tegas terhadap penyebar hoaks dan disinformasi. Sementara untuk jangka panjang, memerangi hoaks salah satunya lewat literasi digital.
"Untuk jangka pendek ini pihak berwenang harus menindak tegas terhadap pelaku penyebar hoaks untuk kubu mana pun. Kalau tindakan hukum, tidak boleh milih-milih," tambah Nukman.
====
Redaksi:
Nukman Luthfie, yang disapa "Bapak" dan "Paman" oleh murid-muridnya, meninggal pada 12 Januari 2019. Nukman kerap disebut sebagai "Bapak Media Sosial" karena aktivismenya yang selalu mengingatkan soal etika bermedia sosial secara beradab. Baca juga: Mengenang kembali Sang Penggiat Media Sosial.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam