tirto.id - Ratna Sarumpaet kembali membuat geger. Ia dikabarkan dianiaya sekelompok orang tak dikenal pada 21 September 2018 malam, di Bandung, Jawa Barat. Foto wajah bengkak yang diduga Ratna kemudian beredar di media sosial. Reaksi muncul dari banyak pihak, terutama dari kubu pengusung capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Tak tanggung-tanggung, Prabowo Subianto pun menggelar konferensi pers ihwal kabar penganiayaan yang dialami Ratna Sarumpaet. Ia mengatakan, Ratna sampai tidak berani melapor ke polisi karena diancam, serta mengalami trauma dan ketakutan.
“Ini menurut kami suatu tindakan yang represif, tindakan yang di luar kepatutan, tindakan jelas pelanggaran hak asasi manusia,” kata Prabowo di rumahnya, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Selasa malam (2/10/2018).
Meski begitu, tidak sedikit pihak yang masih ragu atas kabar pengeroyokan yang dialami Ratna. Polisi bahkan mencium bau kejanggalan dalam kasus ini. Direktur Tindak Pidana Umum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta mengatakan bila Ratna sudah memesan kamar untuk perawatan di Rumah Sakit Bina Estetika, Menteng, Jakarta Pusat, pada 20 September 2018.
“Jadi sudah mendaftar lebih dahulu dan tanggal 21 [September 2018] masuk [rumah sakit]” ucap Nico dalam jumpa pers di kantornya, Rabu siang (3/10/2018).
Pada Rabu sore, Ratna akhirnya mengklarifikasi kabar penganiayaan terhadap dirinya itu tak pernah terjadi. Ia mengakui kabar pengeroyokan yang berhembus selama dua hari terakhir ini adalah kabar bohong (hoaks).
Direktur Populi Center Usep Saiful Ahyar menilai tindakan yang dilakukan Ratna sebagai bagian dari strategi playing victim untuk menyerang lawan politiknya. Ratna diketahui bagian dari tim kampanye Prabowo-Sandi.
Usep menilai strategi semacam itu sudah kuno dan tak ubahnya sebagai wujud kebuntuan gagasan dalam kampanye politik. Masyarakat zaman sekarang, dinilai Usep, sudah relatif sadar bahwa strategi semacam itu tak lebih dari sekadar drama politik dan salah satu cara untuk menggaet simpati.
“Ini kan masih mengacu pada pengalaman zaman orde baru, di mana rakyat atau penentang tidak punya kuasa apa pun. Mereka yang berada di posisi lawan politik akan dibinasakan. Lalu rakyat dalam hal ini akan bersimpati,” kata Usep kepada Tirto, Rabu (3/10/2018).
Indikator lain yang membuat strategi playing victim ini tidak lagi cocok ialah akses informasi yang sudah terbuka luas saat ini. Menurut Usep, penelusuran jejak digital sudah semakin mudah dan canggih. Sehingga ketika kenyataan yang mencuat ke publik berbeda dari yang digambarkan, justru bisa jadi bumerang bagi pihak yang membuatnya.
“Ini kan sebetulnya hafalan dari zaman represif, sehingga dibuat sedemikian rupa. Padahal di pihak Prabowo juga bertengger orang-orang yang berkuasa saat orde baru. Sekarang mereka merasa tidak punya kuasa, lalu seolah dianiaya,” ucap Usep.
Tidak hanya Ratna, pendukung Prabowo-Sandiaga lainnya, seperti Neno Warisman juga pernah mengaku dapat teror. Pada 18 Juli 2018 lalu, misalnya, mobil bermerek Xenia milik Neno terbakar di depan rumahnya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Sempat tersiar kabar bahwa mobil Neno Warisman dibakar orang tidak dikenal. Akan tetapi, berdasarkan hasil identifikasi Polda Metro Jaya, mobil Neno diduga mengalami korsleting pada bagian aki.
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suko Widodo mengatakan strategi playing victim sebetulnya bisa menciptakan dampak yang dahsyat. Pasalnya, pendekatan yang dilakukan secara emosional bisa menyetir emosi orang lain yang mengetahuinya.
Kendati demikian, Suko melihat upaya tersebut relatif susah untuk dilakukan di tengah era keterbukaan informasi seperti sekarang.
"Saya kira rekayasa-rekayasa seperti itu akan cepat ketahuan di zaman serba transparan seperti sekarang. Tingkat rasionalitas orang sudah lebih tinggi, sehingga akan cenderung adu argumentatif," ujar Suko kepada Tirto, Rabu sore.
Untuk itu, Suko mendorong strategi kampanye politik di Indonesia bisa lebih diperbaharui. Menurut Suko, generasi milenial cenderung melihat bukti untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu peristiwa.
"Makanya ketika buktinya palsu, bukan simpati yang muncul melainkan antipati," ucapnya.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz & Mufti Sholih