tirto.id - Menjelang Pemilu 2019, hoaks atau berita bohong masih beredar secara liar. Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Ismail Cawidu menegaskan, hoaks yang dominan terkait isu sosial politik. Jumlahnya sekitar 91,8 persen.
“Hoaks lain yang tersebar ialah tentang SARA, kesehatan, makanan dan minuman, penipuan keuangan, IPTEK, berita duka, candaan, bencana alam, dan lalu lintas. Ini hasil riset Mastel yang dikeluarkan 13 Februari 2017,” ujar Ismail dalam diskusi di Hongkong Cafe, Jakarta Pusat, Minggu (30/9/2018).
Persebaran hoaks itu berkembang tak terbendung seiring pertumbuhan media informasi. Hal itu beriringan dengan kebebasan setiap orang untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi, sesuai dengan pasal 28F UUD 1945.
“Dari kebebasan itu, ada juga pembatasannya. Itu diatur dalam pasal 28 J. Dijelaskan bahwa hanya undang-undang yang boleh membatasi, maka muncullah turunan undang-undangnya,” tuturnya.
Menurut Ismail, kebebasan tersebut tak berbanding lurus dengan daya kritis masyarakat. Problemnya masyarakat kerap tak membaca informasi secara utuh lalu bergegas menyebarkannya.
“Hal itu juga terjadi karena informasi yang dia dapat terafirmasi dengan ideologi, orang, atau pendapatnya. Sehingga mematikan daya kritis terhadap informasi tersebut,” jelas Ismail.
Berdasarkan data survei dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), didapati alasan maraknya penyebaran hoaks paling tinggi ialah karena informasi palsu itu, bisa jadi alat pengaruh opini publik. Hal lain karena masyarakat senang dengan berita heboh dan tidak adanya tindakan hukum. Menurut data Mastel pada Februari 2017 itu, hoaks juga dapat dimanfaatkan sebagai bisnis.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar sepakat dengan hasil temuan Mastel. Menurunnya dalam kontestasi pilpres atau pileg, biang persebarang hoaks justru pemilik akun di luar akun resmi tim kampanye.
“Tapi akun-akun anonim yang tidak dapat terdeteksi keberadaannya. Akun tersebut tidak terdeteksi hubungannya dengan salah satu calon,” kata Fritz.
Jelang Pemilu 2019, Fritz berujar pihaknya mengawasi berbagai media penyampai informasi. Sebab hoaks bisa beredar melalui berbagai media seperti iklan, pertemuan tertutup dan terbatas, hingga materi kampanye. Rambu yang dia tegakkan ialah pasal 280 UU 7/ 2017.
“Bawaslu telah bekerja sama dengan kepolisian dan Kemkominfo untuk mengatasi hoks,” ujar Fritz.
Modus Menyebar Hoaks
Kanit Subdit Dua Unit Satu Direktorat Cyber Polri AKBP Punomo mengungkapkan setiap pemilu media sosial dipenuhi hoaks dari akun anonim. Akun-akun media sosial tersebut tidak terafiliasi secara langsung dengan pendukung tertentu. Tujuan utama mereka hanya mendulang pundi-pundi uang.
Menurut Purnomo, modus yang sering mereka pakai ialah dengan membuat beberapa blog dan akun media sosial. Lalu melalui akun tersebut mereka berupaya menjelek-jelekkan pasangan calon tertentu. Secara otomatis para pengunjung pun berdatangan ke platform mereka.
“Dia tidak hanya menjelekkan Presiden Jokowi, tapi juga menjelekkan kubu lain, dalam hal ini Prabowo,” jelas Purnomo.
Purnomo menjelaskan, sepanjang tahun 2018, pihaknya menemukan 83 kasus penyebaran hoaks. Kasus yang paling banyak terjadi di Pulau Jawa, khususnya di Jakarta.
“Ini terkait dengan Pilkada serentak lalu,” tuturnya.
Selain itu, laporan kepolisian terkait kasus ujaran kebencian terus meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2016 terdapat sekitar 777 kasus. Kemudian naik menjadi 834 kasus pada tahun 2017. Sedangkan di tahun 2018, sejauh ini terdapat 569 kasus.
Membuntu Arus Hoaks
Kominfo masih terus berupaya memburu hoaks dari hulu ke hilir. Mereka tetap mengefektifkan program internet sehat untuk menangkal hoaks, ujaran kebencian, mis dan disinformasi.
“Hingga kita membuat gerakan nasional cyber kreasi,” ujar Ismail Cawidu. Program itu dilakukan melalui kerja sama dengan para mahasiswa di berbagai kampus dan masyarakat.
Di sisi lain Kemkominfo tak pernah berhenti menggalakkan pemblokiran. Mereka memakai mesin crawling untuk melihat data dan memblokir konten yang bertentangan dengan undang-undang.
“Jika masyarakat ingin melaporkan konten bersifat hoaks atau kebencian, silakan hubungi kontak pengaduan konten di 081 1922 4555. Bisa juga dengan kirim ke aduankonten@gmail.com, cekfakta.com, dan situs stop hoaks,” jelas Ismail menjelaskan cara pelaporan.
Sedangkan Bawaslu, turut mengawasi hoaks dan ujaran kebencian di berbagai platform media sosial dalam Pemilu 2019. Mereka bekerja sama dengan Facebook, Twitter, YouTube, atau Instagram. Ketika ada laporan masuk ke Bawaslu terkait hoaks, maka akan diteruskan ke platform untuk ditangani dan ke Polri.
“Kami sudah teken Memorandum of Action April lalu,” jelas Fritz Edward Siregar.
Bawaslu juga mengajak masyarakat aktif berpartisipasi melaporkan postingan hoaks dan bersifat ujaran kebencian. “Jangan lupa, di setiap media sosial pasti ada tiga titik di sudut kanan atas. Fungsinya untuk melaporkan apakah sebuah postingan atau akun itu terindikasi menyebarkan hoaks,” tambahnya.
Tim cyber Polri berusaha menangani secara hukum berbagai kasus yang berkaitan dengan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. “Jika hoaks tersebut terkait dengan isu sara, penghinaan, fitnah, dan ancaman, maka bisa dijerat dengan UU ITE,” jelas AKBP Purnomo.
Selain di hilir, pihak kepolisian juga menangani bagian hulunya melalui Satgas Nusantara. Satgas tersebut ada dari Polda Papua hingga Aceh, ada bidang humas, bidmas, dan penegakan hukum.
“Di lapangan kami saling berkomunikasi dan koordinasi untuk menciptakan pemilu yang stabil,” tuturnya
Purnomo menyarankan agar forum dan website perlawanan terhadap hoaks semakin diperbanyak. Itu berguna untuk memberikan info kepada masyarakat apakah suatu konten itu hoaks atau tidak.
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Dieqy Hasbi Widhana