tirto.id - Janet Leslie Cooke, jurnalis The Washington Post, pada 28 September 1980 merilis laporan tentang adanya seorang anak berusia 8 tahun yang jadi pengonsumsi heroin. “Jimmy’s World,” demikian judul laporan itu, sontak menghentak publik Washington D.C.
Pada 13 April 1981, atas laporan menggugah itu, Cooke maupun The Post diganjar penghargaan Pulitzer. Sayang, pemberian penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik Amerika Serikat pada “Jimmy’s World” itu jadi titik balik kisah yang sebenarnya terungkap. Setelahnya “Jimmy’s World” tak ubahnya kisah rekaan yang diklaim nyata oleh Cooke. “Jimmy’s World” yang dahulu populer kini adalah hoaks.
Hoaks atau berita palsu telah ada lama bersama masyarakat. Namun, tatkala dunia mengenal internet khususnya media sosial, hoaks semakin menjadi-jadi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada 7 hingga 9 Februari 2017 terhadap 1.116 responden di Indonesia, sebanyak 44,30 persen masyarakat menyatakan menerima berita hoaks setiap hari, khususnya melalui media sosial.
Secara umum, tren munculnya hoaks secara masif di media sosial terjadi ketika periode pemilihan presiden di Amerika Serikat berlangsung pada 2016. Selepas itu, hoaks bagai bola salju yang meluncur yang sukar dihentikan.
Hunt Allcott dan rekan-rekannya Stanford University, dalam paper berjudul “Trends in the Diffusion of Misinformation on Social Media” menyebut sejak pemilihan presiden Amerika Serikat, Facebook dan Twitter, sebagai platform media sosial berupaya menghentikan penyebaran hoaks.
Paling tidak, ada tiga langkah yang mereka lakukan. Pertama, Facebook maupun Twitter, kini mulai membatasi ruang gerak bagi laman atau situsweb yang tak jelas kredibilitasnya menggunakan platform mereka. Misalnya, dengan menolak menampilkan iklan mereka. Kedua, media sosial kini memperkenalkan fitur “disputed” atau “related articles/content.”
Tujuannya, memberikan informasi lain bagi pengguna media sosial atas konten-konten yang diduga tak jelas juntrungannya. Ketiga, media sosial kini mengubah algoritma, caranya dengan memprioritaskan unggahan yang berasal dari teman atau keluarga dan mem-deprioritaskan publikasi dari situsweb/laman yang tak kredibel.
Secara umum, dalam paparan paper Alcott itu, Facebook unggul dibandingkan Twitter soal upaya percobaan memberantas hoaks. Penelitian atas konten-konten hoaks yang berasal dari 570 laman pemroduksi berita palsu, yang dilakukan pada Januari 2015 hingga Juli 2018, menyebut bahwa interaksi pengguna atas konten-konten yang berasal dari laman hoaks tersebut menurun tajam di Facebook. Sementara itu, konten-konten demikian malah tetap bertahan diperbincangkan di Twitter.
“Rasio interaksi konten hoaks di Facebook dibandingkan Twitter di awal penelitian ada di kisaran 40:1, lalu menurun menjadi 15:1 di akhir periode penelitian. Sementara itu, sebagai perbandingan, interaksi pada situs berita utama hingga laman bisnis dan budaya (yang menghadirkan berita sungguhan) tetap stabil dari waktu ke waktu,” tulis paper tersebut.
Artinya, sebaran hoaks di Facebook sukses diredam hingga 60 persen.
WhatsApp, Tantangan Sesungguhnya
Benedict Carey, dalam tulisannya di The New York Times, mengungkap secara tersirat salah satu alasan mengapa hoaks menyebar dengan baik di media sosial ialah soal kecepatan. Media sosial adalah soal kecepatan. Pada akhirnya, platform tersebut membuat informasi berlari cepat hingga pengecek fakta sukar mengejarnya. Facebook dan media sosial lainnya berperan tak ubahnya sebagai “pemasar” berita palsu, sama seperti peran mereka memasarkan produk sepatu atau make up dan lainnya.
“Informasi palsu menyebar luas sebelum dapat dicegah (bahkan) oleh algoritma,” tulis Carey.
Kesukaran membendung hoaks atau berita palsu juga didukung oleh skema bisnis media sosial. Media sosial, hingga hari ini, bertahan hidup melalui iklan. Semakin sering pengguna berlama-lama di media sosial, semakin banyak konten yang dibagikan, semakin baik bagi media sosial menawarkan slot bagi pengiklan. Sayangnya, ini pun disukai hoaks. Semakin ramai, hoaks semakin mudah “nimbrung.”
Pada Juli 2018, Facebook kehilangan kapitalisasi pasar, dampak atas turunnya saham mereka sebesar 19 persen ke angka $176,26 per lembar saham. Turunnya kapitalisasi pasar, sebagaimana dilaporkan Market Watch, salah satunya terkait dengan kebijakan Facebook melakukan perombakan atas platformnya, antara lain menghentikan penyebaran hoaks, melakukan langkah keamanan lebih tinggi, dan tindakan privasi lainnya. Langkah-langkah ini ternyata tak disukai pasar.
Namun, tantangan paling berat membasmi hoaks sesungguhnya tak hadir pada media sosial seperti Facebook atau Twitter. Tantangan paling berat justru datang pada WhatsApp, aplikasi pesan instan yang dibeli Facebook seharga $19 miliar pada 2014 silam.
Daniel Funke, dari The Poynter Institute, menyebut kesukaran membendung hoaks di WhatsApp karena aplikasi itu sejak awal dirancang tertutup. “Jika Facebook dan Twitter merupakan ruang publik di mana berita, foto, dan video mengalir secara bebas, WhatsApp lebih terkotak-kotak,” katanya. WhatsApp bagai “kotak hitam” yang penuh misteri dan sukar dijangkau.
Di WhatsApp, grup pun dibatasi hanya bisa diisi 256 anggota. Yang terdaftar secara spesifik dan sukar disusupi orang-orang luar. Aplikasi ini dirancang untuk mudah mem-forward atau melanjutkan pesan, bahkan tanpa diketahui bagaimana pesan yang di-forward itu berasal. Ini membuat pengadangan berita palsu di WhatsApp sukar dilakukan. Apalagi, aplikasi seperti WhatsApp menggunakan teknologi enkripsi untuk mengamankan komunikasi yang dilakukan di atasnya.
“WhatsApp dirancang untuk membuat informasi penggunanya aman dan terjaga privasinya, jadi tak ada seorang pun yang bisa mengakses konten si pengguna,” kata Carl Woog, Policy Communication Lead WhatsApp.
Ganasnya hoaks di WhatsApp telah memakan korban jiwa. Di distrik Bidar, India, sebagaimana diwartakan CNN, seorang pemuda bernama Mohammed Azam tewas selepas diamuk massa. Berdasarkan keterangan H. R. Mahadev, deputi komisioner distrik Bidar, Azam, yang kebetulan lewat sekolahan, berhenti untuk memberikan coklat pada salah seorang siswa. Entah kenapa, siswa lainnya justru berteriak kala Azam tengah memberikan coklat. Teriakan siswa itu memantik sekitar 2.000 orang di sekitar untuk mencurigai bahwa Azam penculik, dan lantas menyerangnya.
Sebelum Azam jadi korban, warga India dihebohkan oleh video penculikan anak-anak yang disebarkan melalui WhatsApp. Padahal, dilansir The New York Times, video yang disebarkan itu merupakan bagian dari iklan layanan masyarakat Pakistan. Namun, diubah oleh pihak tak bertanggung jawab dan dikesankan bahwa terjadi penculikan anak-anak secara masif di India.
Azam tak sendirian. Setidaknya telah lebih dari 20 orang yang disangka penculik tewas selepas video hoaks penculikan menyebar via WhatsApp di India. WhatsApp akhirnya tak tinggal diam, pada Juli 2018, mereka mengumumkan serangkaian pembaruan di WhatsApp, seperti membatasi forward hingga hanya bisa dilakukan ke 20 kontak, turun dari angka 100 kontak sebelumnya. WhatsApp pun kini meniadakan tombol “quick forward” pada konten berbasis audio, video, dan gambar. Pengguna perlu kerja ekstra untuk membagikan informasi atau konten, selepas pembaruan dilakukan.
Hingga hari ini hoaks masih berada di media sosial, di Facebook maupun Twitter, dan aplikasi perpesanan seperti WhatsApp. Langkah-langkah yang diambil para pemilik platform mungkin bisa menurunkan sebaran hoaks, tetapi tidak untuk membunuh sampai tuntas.
Editor: Suhendra