tirto.id - “Hoax ada positif dan negatif. Saya juga mengimbau pada kawan-kawan, putra-putri bangsa ini, mari sebenarnya kalau hoax itu hoax membangun kita silakan saja.”
Pernyataan itu meluncur dari bibir Djoko Setiadi, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) usai dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Kompleks Kantor Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (3/1/2017). Pernyataan itu sontak menuai beragam komentar dari warganet hingga memunculkan tanda pagar #hoaxmembangun sebagai trending topic di Indonesia.
Hoax pada dasarnya bukan hal baru. Benih-benih kabar palsu itu sudah muncul sedari lama. Pada 1998, salah satu hoax terbesar yang terungkap ke publik adalah kelakuan pria bernama Stephen Glass, jurnalis sebuah majalah bernama The New Republic di Amerika Serikat. Selama 3 tahun, ia menuliskan berita berbasis pada imajinasinya sendiri dan mengarang sesuai keinginannya.
Menyoal ucapan Djoko ini, Sosiolog Universitas Indonesia Ario Seto menilai, pernyataan Djoko tak berdasar. Ario bilang, tak ada sisi positif dari hoax dan sebaliknya menunjukkan rendahnya mutu literasi pada sebuah masyarakat.
“Ketika seseorang percaya pada hoax, maka itu menunjukkan bahwa orang tersebut tidak melakukan verifikasi informasi. Tidak ada yang namanya hoax yang membangun,” kata Ario kepada Tirto, Rabu malam.
Ia menjelaskan, hoax harus dibedakan dengan smear campaign alias kampanye hitam. Pemahaman tentang dua hal ini harus terlebih dahulu menjadi patokan untuk memahami konteks hoax. Menurut Ario, masyarakat Indonesia kerap mencampuradukkan antara hoax dan smear campaign meski keduanya berbeda. Hoax sebagai berita palsu, sedangkan kampanye hitam bisa sebagai fakta tapi dikemas sebagai kampanye negatif.
“Dahulu di zaman Kaskus, kalau ada kaskuser yang ketahuan menyebar hoax, maka ia akan dibata merah, ID-nya terancam di-suspend dan thread-nya akan ditutup,” kata Ario.
Hoax Urusan Polri
Pernyataan Djoko pun lantas membikin institusi Polri bersikap. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Pol Mohammad Iqbal mengatakan, dirinya sanksi ada hoax yang bersifat membangun. Menurutnya, selama ini hoax merupakan tindakan merugikan dan harus diberantas.
“Hoax yang membangun itu apa dulu? Mana ada. Hoax itu berita yang nggak benar, pasti ada yang dirugikan di situ,” kata Iqbal kepada Tirto.
Baca juga:Jelang Pilkada 2018, Polri Tingkatkan Pengawasan "Hoax" di Medsos
Iqbal tidak percaya ada hoax yang digunakan untuk tujuan positif, seperti memotivasi orang. Sebaliknya, kata Iqbal, keberadaan berita tidak benar, justru tingkat pemahaman masyarakat bisa menjadi bias. “Kami maunya berita itu berita yang membangun, berita yang based on fact,” kata Iqbal.
Iqbal mengatakan, penyataan Djoko tak ditanggapi serius lantaran Polri punya tugas yang lebih penting untuk melakukan penegakan hukum terkait hoax di masyarakat. Pemberantasan hoax sebagai bagian menciptakan kondisi keamanan di masyarakat.
Ario Seto sependapat dengan Iqbal dalam menyikapi soal polemik "hoax membangun". Menurut dia, masyarakat perlu mengklarifikasi ucapan Djoko. Menurut Ario, BSSN tak punya fungsi mengendalikan hoax melainkan fokus kepada keamanan siber seperti di luar negeri.
“[Seperti] e-trade, counter intelligence, dan foreign digital traffic [misalnya pada kasus campur tangan Rusia di pemilu USA tahun lalu],” ucap Ario.
Berkaca dari kejadian 2014, Mohammad Iqbal menjelaskan, fenomena hoax akan masif menjelang tahun politik pada 2018 dan 2019. Menurut Iqbal, Polri akan semakin sibuk untuk memberikan edukasi dan pengarahan agar hoax tidak diproduksi dan disebarkan masyarakat.
“Kami sudah lakukan antisipasi. Edukasi imbauan bekerja sama dengan semua komunitas, dan semua instansi kelembagaan yang menangani itu,” katanya.
Meski begitu, Iqbal menyebut, Polri tak segan menangkap dan memenjarakan pihak-pihak yang diduga menyebarkan berita bohong berbau SARA dan digunakan untuk kepentingan politik dalam pilkada serentak di 171 wilayah di tahun ini.
“Memang tahun politik ini diprediksi agak ramai [hoax], tapi Polri akan komit, kita lakukan penegakan hukum,” kata Iqbal menegaskan.
Ario Seto menyebut polisi lebih punya kewenangan dibandingkan dengan BSSN dalam mengatasi hoax di masyarakat. Ia juga balik bertanya dengan rencana BSSN buat mengurus hoax yang dinilainya tak lebih seperti badan sensor belaka.
“Pun, hoax yang sifatnya merugikan publik, maka kasus itu pun sebaiknya menjadi urusan polisi, bukan BSSN,” kata Ario.
Ia menerangkan, keinginan BSSN buat membasmi hoax seperti utopia lantaran praktik penyebaran hoax sudah ada ribuan tahun silam.
Terkait kewenangan ini, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, tugas BSSN difokuskan untuk mendukung keamanan siber, bukan menangani hoax atau kabar atau informasi palsu.
"Kalau hoax masuk masalah konten. Jadi tugas BSSN tidak terkait hoax," kata Rudiantara seperti dilansir Antara.
Menurut Rudiantara, BSSN sepenuhnya bertanggung jawab untuk menjaga keamanan negara di sektor digital, khususnya mencegah masuknya serangan siber, di antaranya berupa malware. BSSN juga dapat membuat kebijakan yang mengatur tentang keamanan siber, di antaranya terkait penangkalan, mitigasi, hingga pemulihan atau pembangunan kembali fasilitas negara yang sempat terkena malware.
"Nanti juga ada sebagian fungsi dari Direktorat Keamanan Kominfo yang bekerja sama dan aktivitasnya menjadi bagian dari BSSN," kata Rudiantara.
Fenomena Hoax Pasca 2014
Fenomena hoax di Indonesia tak kunjung mereda pascapilpres 2014. Menurut Devie Rahmawati, dosen Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia, hoax di media sosial yang tak kunjung reda terjadi karena banyak sebab.
Pertama, menurut Devie, karena minimnya program literasi media digital ke masyarakat. Devie menganggap penting literasi media digital untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang konten apa saja yang berpotensi melanggar hukum dan tidak.
Hal kedua adalah ketidakjelasan penegakkan hukum. Dalam sejumlah kasus, kata Devie, seringkali pelaku pencemaran nama baik dan ujaran kebencian tidak diproses hingga tuntas. Terakhir, konflik politik di level elite yang acapkali menular ke masyarakat. Devie mengatakan apa yang dilakukan masyarakat sesungguhnya cerminan dari perilaku elite yang mereka contoh.
“Karena para politikus ini orang yang intelek dan punya pengaruh di dunia virtual, tapi tidak menggunakan kekuasaan mereka di dunia digital atau di media untuk kebaikan,” ujar Devie kepada Tirto beberapa waktu lalu.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih