tirto.id - Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018, Mabes Polri meningkatkan pengawasan terhadap media sosial yang menyebarkan informasi tanpa fakta atau hoax. Polri pun akan menandatangani nota kesepakatan dengan KPU dan Bawsalu sebagai penyelenggara pemilu.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi M Iqbal, di Jakarta, seperti dikutip Antara, Kamis (27/12/2017).
“Jadi memang fenomena sekarang medsos menjadi satu alat untuk mencapai tujuan bermacam-macam,” kata Iqbal.
Iqbal mengatakan, kepolisian diberi amanat menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, kemudian kinerja dengan menangani kasus penyebaran informasi hoax melalui medsos. Mabes Polri, kata Iqbal, serius menangani penyebaran informasi hoax ini dengan memperkuat struktur kelembagaan seperti Biro Multimedia Divisi Humas dan Direktorat Siber Bareskrim.
Polri, kata Iqbal, mengayomi masyarakat untuk memelihara keamanan dan ketertiban melalui cara preemtif dan preventif pada pengguna media sosial.
Iqbal menuturkan, Mabes Polri juga menggelar diskusi yang berkaitan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia agar masyarakat maupun warganet tidak percaya dan mewaspadai terhadap informasi hoax.
Mantan Kapolrestabes Surabaya Jawa Timur itu juga mengimbau para bakal calon kepala daerah maupun legislator bersaing secara "fair", santun dan tidak menghalalkan segala cara atau menghasut masyarakat dalam memenangkan pemilihan.
Pengawasan terhadap penyebaran hoax di media sosial ini dilakukan karena masyarakat dengan mudah terpancing dengan banyaknya informasi tanpa fakta di medsos. Mengapa publik menyukai hoax atau kabar bohong?
Kolumnis The Daily Dot, Cabell Gathman mengurai kenapa di era media sosial kita gemar menyebarkan kebohongan. Menurut Cabell, saat ini banyak orang di media sosial tak lagi membaca konten yang mereka bagikan. Orang-orang di media sosial kerap hanya membaca judul yang mereka pikir benar. Hal ini bisa dilihat dari beberapa berita yang kadang judul dan isinya tak berkaitan, tetapi ketika dibagikan orang cenderung berkomentar tentang judulnya saja.
Kemalasan orang untuk melakukan verifikasi, atau tabayun, atau berbaik sangka, banyak digunakan oleh para pemburu klik untuk menulis judul bombastis, berita bohong, atau konten yang asal agar disebarkan di media sosial. Ini yang kemudian membuat banyak media yang tak kredibel mendapatkan porsi penyebaran atau sharing yang tinggi di media sosial.
Banyak dari netizen yang menyebarkan berita dari situs media yang tidak kredibel, tidak patuh etika jurnalistik, atau punya integritas dalam menyebarkan berita. Padahal menurut Cabell, untuk mencegah hoax, hal sederhana yang bisa dilakukan adalah melihat legitimasi dari sumber berita.
Beberapa kabar hoax beredar di media sosial besar, seperti Twitter dan Facebook. Bisa berupa postingan mandiri berupa foto dari akun individu atau tautan dari blog atau media yang tak kredibel. Sejauh ini banyak orang yang memperlakukan Facebook seperti Google dan menjadikan segala isinya sebagai kebenaran. Dr. Pamela Rutledge, director of the Media Psychology Research Center, menyebut bahwa gejala ini terjadi karena orang rentan terhadap paparan informasi. Berita yang banyak bertubi membuat orang malas memverifikasi dan mencari kebenaran.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz