tirto.id - Di saat lembaga survei lain merilis kemenangan bagi pasangan calon (paslon) nomor 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Precision Public Policy Polling (PPPP) menyebut pemenang Pilpres 2019 adalah paslon nomor 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Pada Selasa (9/4/2019) Tirto mendapat rilis dari Director of Operations of PPPP Amerika, Jokovic Martinez, yang mengatakan petahana hanya mendapat suara sebanyak 36 persen. 51 persen sisanya memberikan suara untuk Prabowo-Sandiaga. Sedangkan sisa kurang lebih 13 persennya belum memberikan pilihan.
Tim Periksa Fakta Tirto kemudian melakukan penelusuran terhadap PPPP. Tim tidak bisa menemukan sosok “Fajri Herdiawan” yang dalam siaran pers disebutkan sebagai orang yang bisa dihubungi terkait riset PPPP.
Nama perusahaan lembaga tidak umum, dan penggunaan email tanpa alamat domain lembaga turut menguatkan keraguan atas kredibilitas PPPP.
Tim tidak mendapat respons saat mencoba menghubungi PPPP melalui surat elektroni. Saat menghubungi nomor kontak yang tersedia, seorang pria yang mengaku bernama Jokovic Martinez menjawab untuk menerangkan bahwa dirinya adalah konsultan independen dan vendor “Brookings Institution” untuk Asia.
Penelusuran lebih lanjut terkait profil Jokovic Martinez menemui kebuntuan, baik di mesin pencari, media sosial, maupun di situs resmi Brookings Institution sendiri. Di Amerika Serikat sendiri ada lembaga survei Public Policy Polling, tapi bukan representasi maupun memiliki kaitan dengan PPPP.
Ditambah kejanggalan-kejanggalan lain, termasuk kelemahan metodologi penelitian, tim Periksa Fakta Tirto menyimpulkan hasil survei PPPP diragukan kebenarannya. PPPP sebagai lembaga juga diragukan kredibilitasnya karena ketiadaan laman resmi, jejak digital, hingga informasi soal penanggung jawab.
Direktur Riset Populi Center Usep S. Ahyar mengaku belum pernah mendengar PPPP. Ia mempertanyakan kredibilitasnya karena namanya baru hadir jelang masa pencoblosan Pilpres 2019. Ia menambahkan belum memahami keberadaan hingga kepentingannya.
“Tapi biarkan masyarakat menilainya (kredibel atau tidak), ini lembaga baru yang tiba-tiba muncul karena ada Pilpres,” katanya pada Tirto, Selasa (9/4/2019).
Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) Hamdi Muluk turut mengaku belum pernah mendengar nama PPPP. Baginya PPPP adalah contoh lembaga survei yang baru muncul menjelang pemilu. Ia mengistilahkannya dengan “tibad” atau “tiba-tiba ada”.
Ia menghimbau masyarakat untuk lebih kritis terhadap lembaga survei, apalagi yang berasal dari luar negeri. “Karena banyak lembaga survei yang hanya dipakai untuk menggiring opini masyarakat, dan datanya dibuat-buat saja,” imbuhnya, Selasa (9/4/2019).
Jorge Buendia adalah direktur Global Fellow di Wilson Center’s Institute. Pada April 2018 ia menganalisa bagaimana survei abal-abal ada, dipakai, dan pada akhirnya punya dampak yang sama berbahayanya dengan berita palsu (hoaks).
Judulnya Fake Polls as Fake News: The Challenge for Mexico’s Elections(PDF). Di dalamnya Buendia mencermati kerja-kerja memanipulasi pemilih melalui informasi menyimpang sudah terjadi sejak lama. Kasusnya juga terjadi di berbagai jenis negara, baik yang demokratis maupun otoriter.
Pelakunya partai dan politisi tak jujur, sementara korbannya calon pemilih yang kekurangan akses ke sumber informasi yang kredibel, lanjut Buendia. Proses itu menjadi ancaman bagi demokrasi, khususnya untuk kredibilitas penyelenggaraan pemilu, karena membuat warga membuat keputusan buruk.
“Beberapa analis mengatakan fenomena itu yang melahirkan Brexit dan kemenangan Trump di Amerika Serikat.”
Analisis Mona Chalabi untuk Guardian menyebutkan hal yang sama. Pada pemilihan presiden tahun 2016 terjadi peredaran survei secara liar, terutama oleh media massa. Chalabi menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membuat Trump menang.
Pesta demokrasi di Meksiko, menurut Buendia, dirisak melalui survei abal-abal yang diperlakukan selayaknya berita palsu. Hasilnya dipublikasikan di media sosial, menjadi sesuatu yang viral dan dipercaya banyak orang.
Tapi masalah yang lebih mendasar: survei palsu itu diberitakan oleh media massa selayaknya survei kredibel. Keramaian sirkulasinya di media sosial hanyalah dampak dari publikasi pertama yang dilakukan media-media cetak maupun daring.
Hal yang sama diungkapkan Harry Enten dalam analisis bertajuk Fake Polls Are A Real Problem di kanal pengulas survei politik, FiveThirtyEight.
Bagi sebagian orang survei-survei yang berkeliaran diramalkan tidak memiliki dampak yang signifikan. Tapi politisi elite yang pernah diwawancarai Enten berkata sebaliknya: survei nakal betul-betul bisa mempengaruhi hasil pemilu.
Enten pernah berbincang dengan pegiat survei untuk Partai Republikan bernama Acam Geller. Geller bekerja untuk kampanye Trump pada Pilpres AS 2016. Ia bilang survei-survei itu selalu membuat berita karena jurnalis menganggapnya sebagai “berita yang gampang ditulis.”
Geller kemudian menambahkan, “ada terlalu sedikit pengawasan terhadap metodologi yang dipakai dalam survei. Bagi kebanyakan jurnalis survei ya survei.”
Metodologi adalah tulang punggung validitas survei. Mengingat disebutkan pusatnya ada di Amerika, Hamdi Muluk mengkritisi survei PPPP karena metodenya kemungkinan dilakukan melalui telpon. Metode ini mengandung kelemahan karena sampling-nya hanya mereka yang tertera di buku telepon.
Usep S. Ahyar bersepakat. “"Kalau metodologi tele polling dengan by phone itu masalah, berarti populasinya itu yang punya telepon rumah saja.”
Problemnya berlanjut ke fakta bahwa saat ini tidak semua masyarakat Indonesia memiliki atau masih menggunakan telepon kabel, apalagi yang tinggal di pedalaman. "Jadi mereka yang terdaftar di DPT tapi tak memiliki telepon, tidak mendapatkan kesempatan yang sama menjadi sampel," imbuh Usep.
Tidak hanya telepon kabel. Survei dengan menggunakan telepon genggam juga dinilai bermasalah. Usep mengatakan tidak semua calon pemilih menggunakan telepon genggam. Kadar validitasnya pun bisa meragukan mengingat ada warga yang memiliki lebih dari satu nomor telepon.
Jorge Buendia aktif meneliti banyak topik terkait pemilu di Meksiko. Mulai dari metode kampanye, perilaku pemilih, hingga opini publik. Ia menyoroti survei abal-abal telah menginterupsi pemilu Meksiko sejak tahun 2000-an.
Saat itu sejumlah koran mengabarkan survei dari firma-firma gelap seperti Ceprocepp, Technomanagement, dan Fishers. Tidak ada yang tahu di mana kantor firma-firma tersebut, bagaimana metodologi penelitiannya, atau siapa penanggungjawabnya.
Dua dekade berselang kasusnya tidak mereda, namun makin ramai tiap gelaran pemilu lokal maupun nasional. Kelahiran media sosial turut membuat penyebarannya makin masif. Meski demikian, tidak setiap survei selalu memenangkan kandidat yang menjadi dalang di baliknya.
Jika tidak ada kepastian, apa yang membuat sebagian politisi tetap menggenjot survei abal-abal? Buendia mencatat sebab mereka masih percaya dengan bandwagon effect.
Bandwagon effect adalah saat pemilih menentukan pilihan kepada satu kandidat karena kandidat tersebut mendapat dukungan dari mayoritas publik. Nama lainnya "efek ikut-ikutan". Persis seperti metode seseorang dalam mengonsumsi suatu barang karena orang lain juga memiliki barang tersebut.
Dalam konteks pertarungan elektoral, bandwagon effect berlaku untuk pemilih pragmatis yang hanya ingin tidak mau kalah. Ia memilih kandidat yang hampir pasti menang dari mana pun latar belakang politiknya.
Buendia menyebutnya pemilih strategis (strategic voters), tipe pemilih yang tidak mau menyia-nyiakan waktu dan tenaga mereka untuk mendukung kandidat atau partai yang kesempatan menangnya tipis.
Dengan merilis tingkat elektabilitas palsu dari seorang kandidat, misalnya, barisan pemilih strategis diharapkan akan mendukung kandidat dengan elektabilitas tinggi di survei yang sama. Padahal, kenyataannya, kandidat tersebut memiliki elektabilitas yang rendah (berdasarkan survei kredibel lain).
Dinamika elektabilitas kandidat juga tidak akan berubah drastis dalam waktu yang singkat. Ini adalah faktor lain yang membuat Hamdi Muluk makin meragukan survei PPPP sebab hasilnya berbeda 180 derajat dengan mayoritas lembaga survei lain.
Perubahan secara drastis Hamdi katakan bukan sesuatu yang mustahil. Namun syaratnya harus ada peristiwa yang benar-benar besar serta secara signifikan mempengaruhi reputasi kandidat yang sedang di puncak tangga elektabilitas.
"Berubah itu kalau ada kejadian drastis dan ada sentimen-sentimen negatif, seperti kasus [penistaan agama] Ahok dulu. Tadinya Ahok unggul, tiba-tiba kalah. Kalau saya lihat hal seperti itu [saat ini] tidak ada," terangnya.
Editor: Windu Jusuf