tirto.id - Perhelatan Pilkada serentak 2018 tak cuma diramaikan oleh ratusan kandidat dan belasan parpol yang saling membangun aliansi, tetapi juga menjadi panen raya bagi bisnis lembaga survei sekaligus konsultan politik.
Lembaga-lembaga ini rutin merilis merilis hasil survei, dengan bobot timbangan ke kandidat tertentu, untuk tujuan memengaruhi persepsi publik, dan syukur-syukur menggerakkan elektorat pindah haluan.
Pada provinsi gembrot di Pulau Jawa saja sudah ada 14 lembaga konsultan politik yang telah merilis hasil survei dalam tiga bulan terakhir.
Fadli Ramdhani, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan lembaga survei dan konsultan politik merupakan dua entitas berbeda. Survei adalah wilayah yang menjunjung objektivitas, sementara konsultan politik mengandung sisi subjektivitas.
"Lembaga survei dan konsultan politik tidak boleh dicampurkan. Satu menghendaki profesionalitas karena survei bagian dari partisipasi masyarakat. Sementara konsultan menjadi pendampingan pemenangan. Ini soal etis keilmuan," ujar Fadli kepada Tirto.
Berikut penjelasan Fadli mengenai mengapa lembaga-lembaga survei, yang masih satu atap perusahaan dengan pekerjaan tukang konsultan politik, harus menjaga independensinya demi menjaga "bisnis kepercayaan" dari publik.
Setiap Pilkada, Pileg, maupun Pilpres, lembaga survei merangkap konsultan politik mulai ramai lagi. Bagaimana Anda melihatnya?
Menjamur lembaga survei memang sudah biasa tetapi mereka harus memenuhi prasyarat yakin terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Survei bagian dari bentuk partisipasi masyarakat dalam undang-undang Pilkada. Sepanjang diakreditasi oleh kelompok organisasi profesi, penjelasan metodologi survei secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan hasil surveinya ya enggak masalah. Memang ada larangan jika perusahaan yang sudah melakukan survei tidak boleh menjadi bagian tim pemenangan para kandidat kepala daerah.
Apa dampak jika lembaga survei dan konsultan politik menjadi tim pemenangan kepala daerah?
Kalau menjadi konsultan politik saja enggak masalah sepanjang dilakukan secara profesional. Tapi, jika melihat undang-undang Pilkada, lembaga yang melakukan survei dan jajak pendapat kepada masyarakat tidak boleh berafiliasi dengan tim pemenangan kepala daerah tertentu. Sudah menjadi rahasia umum beberapa lembaga survei dalam pemilihan umum ternyata bagian dari tim pemenangan, dan itu dilarang dalam undang-undang.
Di sejumlah daerah, para kandidat memakai konsultan politik sekaligus lembaga survei, tanggapan Anda?
Ini dua ranah berbeda. Satu untuk kepentingan pemenangan pemilihan, yang bekerja demi meloloskan calon kepala daerah yang didampinginya. Satu lagi survei jejak pendapat, bagian dari partisipasi masyarakat yang harus lepas dari kepentingan pemenangan.
Dua domain ini berbeda. Tapi, jika dicampurkan, tentu saja akan menjadi hal yang tidak etis karena di satu sisi ada kepentingan untuk melakukan pemenangan dengan bekerja memengaruhi masyarakat. Tim pemenangan membangun strategi kemenangan politik lainnya untuk kepentingan calon yang didampingi. Ini bicara survei yang dirilis kepada publik, ya.
Kalau survei internal tidak menjadi permasalahan, silakan saja. Kalau survei yang dirilis ke publik tentu akan bermasalah karena lembaga survei dan konsultan politik tidak boleh dicampurkan. Lembaga survei bisa saja membuat survei pesanan calon kandidat dengan syarat tidak menjadi bagian tim pemenangan.
Bagaimana penilaian Anda jika ada intervensi konsultan politik terhadap survei tersebut karena dalam satu perusahaan?
Itu harus dibuktikan. Ini soal etis, atau tidak profesionalitas. Untuk menghindari kepentingan, mereka harus menjelaskan dua domain tersebut. Domain pemenangan untuk membela kepentingan klien secara profesional. Di sisi lain, ada domain partisipasi bagian lembaga survei. Ini enggak boleh dicampuradukkan.
Dalam publikasi hasil survei, sering kali lembaga survei enggan menyebut siapa pemesannya, dengan alasan rahasia klien. Tanggapan Anda?
Ini sebenarnya ruang yang sulit untuk diatur secara rigid. Tidak boleh lembaga survei yang mendampingi pasangan calon merilis surveinya kepada publik. Tapi, kalau ada lembaga survei yang diminta salah satu calon, kemudian bukan bagian dari tim pemenangan calon tersebut, ya enggak apa-apa.
Karena itu, hal seperti ini sulit untuk diatur secara detail. Meskipun dalam UU Pilkada sangat jelas melarang hasil survei tidak boleh menjadi bagian dari pemenangan kepada daerah, tetapi realitasnya sulit untuk menjangkau pengawasan tersebut. Jadi, selama survei dilaksanakan dengan metode benar, menyebutkan sumber dana survei dari mana secara jujur kepada publik, ia masih bisa ditolerir.
Jika lembaga survei itu menolak transparan padahal hasil surveinya dirilis ke publik, dan dikutip media-media?
survei itu bagian dari penelitian. Salah satu bentuk penelitian itu harus menyampaikan dana dari mana. Lembaga survei bagian dari metode riset. Yang terpeting dari riset itu dari mana sumber dananya. Dana itu riset itu bagian dari produk akademik yang harus dijelaskan kepada publik untuk menjaga netralitas.
Apa tantangan lembaga survei dalam Pilkada tahun ini?
Survei menjadi salah satu bentuk dan cara melakukan riset dalam pertarungan pilihan kepala daerah. Karena itu idealnya harus dipisah. Selama survei tidak disampaikan kepada publik (untuk konsumsi internal), dan bagian dari pemenangan, sah-sah saja. Tetapi dilarang ketika survei itu bagian dari pendampingan pemenangan (konsultan politik), lalu dirilis ke publik, berdampak luas, bisa memengaruhi masyarakat, ruang diskusi, dan menggiring opini publik.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam