tirto.id - Sejak mendaftar sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat pada 10 Januari 2018, TB Hasanuddin-Anton Charliyan tak pernah mengungguli kompetitornya dari hasil survei. Malahan, selama enam kali survei oleh lima lembaga lokal dan nasional, ia selalu di posisi buncit.
Lantas, apa komentar mantan sekretaris militer Presiden Megawati tersebut?
TB Hasanuddin menuding lembaga survei itu bernuansa pesanan sehingga menghasilkan data yang ia sebut "tidak akurat." Ia menantang lembaga survei itu bekerja secara independen. TB Hasanuddin berkata demikian karena hasil lembaga-lembaga survei itu berbeda dari hasil survei internalnya.
Lembaga survei berperan penting dalam memotret perkembangan tingkat popularitas, kesukaan, dan elektabiltas terhadap partai politik maupun calon kepala daerah. Ia memberikan data-data evaluasi performa kepuasan para pemilih terhadap partai politik dan calon kepala daerah.
Nyarwi Ahmad dalam "Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik" (2012) menulis ada intensitas yang meningkat konstestan parpol dan calon kepala daerah memakai industri lembaga survei dan konsultan politik sejalan pemilu langsung pasca-2004.
Ahmad menyatakan industri konsultan politik menjadi tradisi baru dalam dunia komunikasi politik di Indonesia. Ia bahkan mendapat dukungan dari industri media. Kini, para peracik strategi itu menjadi aktor baru yang ikut mewarnai dunia politik di Indonesia.
Semula dipakai untuk kepentingan akademis, lembaga survei menjadi sebuah peluang bisnis, dan berkembang merangkap sebagai institusi konsultan politik. Pada 2005, Denny Januar Ali mendirikan Lingkaran Survei Indonesia. Setelahnya pelbagai lembaga survei dan konsultan politik menjamur sejalan negara kepulauan ini mengadakan Pilkada, Pileg, dan Pilpres.
Berdasarkan data Pemilu 2014, ada 56 lembaga survei sekaligus konsultan politik yang terdaftar secara resmi ke Komisi Pemilihan Umum. Mereka di antaranya Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP-LSI Network), Charta Politika, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Indikator, Cyrus Network, Indo Barometer, Poltracking Indonesia, Soegeng Sarjadi Syndicated, dan Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, mengatakan bahwa jasa konsultan politik adalah peluang bisnis pada Pilkada dan Pilpres. Dalam perkembangannya, konsultan politik menjadi kebutuhan primer bagi politikus. Kadang-kadang, karena sumber daya yang terbatas, pekerjaan macam ini kelabakan melayani calon klien.
Sebagaimana dikatakan Chaniago, "sudah banyak klien" yang ditolaknya. "Satu klien membutuhkan sumber daya dari kami 18 orang," katanya. Voxpol hanya sanggup menggarap sekitar 10 kepala daerah di kabupaten/kota pada Pilkada 2018, tetapi Chaniago enggan menyebutkan para kliennya.
Jenis Jasa dan Tarif Konsultan Politik
Sejumlah lembaga survei dan konsultan politik ini menawarkan beberapa paket jasa, tergantung kesanggupan sang kandidat.
Voxpol misalnya menawarkan dua paket: lengkap dan terbatas. Bila setuju dengan paket lengkap, klien menerima jasa survei opini publik sekaligus konsultan politik; pemetaan politik, manajemen protokoler dan relawan, pengawasan dan evaluasi, keeping, media relation & public relation, supporting kandidat, logistik, serta influence & campaign. Untuk paket terbatas, klien semata menerima jasa survei opini publik, quick count, exit poll, dan konsultan. Kedua paket ini memiliki durasi: minimal 6 bulan dan maksimal 2 tahun sebelum pemilihan.
Lembaga lain seperti Charta Politika menawarkan empat jasa: riset, media, strategi pemenangan, dan sekolah politik; yang sepenuhnya tergantung pada permintaan klien.
Baik Chaniago dari Voxpol, Sirojudin Abbas dari SMRC, Sunarto Ciptoharjono dari LSKP, dan Yunarto Wijaya dari Charta Politika enggan menyebut biaya paket konsultan politik.
Meski begitu, Yunarto memberi gambaran mengenai komponen biaya jika seorang menggunakan jasa konsultan politik.
"Biaya survei untuk 400 responden kabupaten/kota sebesar Rp120-150 juta sekali survei, tergantung daerahnya. Pemilihan gubernur dengan 800 responden sebesar Rp225 juta-350 juta. Survei nasional dengan 1.200 responden rerata sebesar Rp600 juta; kalau 2.000 responden bisa di angka Rp700 juta," kata Yunarto.
Lembaga Survei + Konsultan Politik ≠ Etika
Dalam aturan yang ditetapkan KPU Nomor 8 Tahun 2017 menyebut, di antara hal lain, bahwa lembaga survei dilarang melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilihan; benar-benar melakukan wawancara dalam survei; tidak mengubah data lapangan maupun dalam pemrosesan data; menggunakan metode ilmiah; serta melaporkan sumber dana.
Kenyataannya, beberapa syarat macam itu acap diabaikan.
Sunarto Ciptoharjono dari Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSI Network) mengatakan perlu dibedakan antara "survei privat" dan "survei publik." Untuk yang pertama, hanya dikonsumsi oleh tim internal kandidat.
"Menjaga kontrak, menjaga kerahasiaan klien, dan jika dipublikasikan harus izin kandidat," katanya.
Sekalipun begitu, hasil dari survei publik pun jadi pertanyaan karena tak semua datanya dibuka. Sunarto tak membantah tudingan ini, dan menjelaskan bahwa klien memakai data itu sebagai "strategi pemenangan."
"Karena itu kami [lembaga survei] tunduk pada aturan kontrak, tidak semua rahasia dibongkar karena punya klien," ujarnya.
"Intinya," kata Sunarto, "strategi dan rahasia dapur enggak dibongkar semua. Toh, klien yang biayai, yang keluarkan duit."
Sebenarnya, mengharapkan lembaga survei untuk menjaga kualitas independensinya sudah diatur dalam UU 16/1997 tentang statistik. Dalam sejumlah pasalnya menyebutkan bahwa lembaga survei wajib memberi kesempatan yang sama kepada masyarakat untuk mengetahui dan memperoleh manfaat dari survei; bila tidak, lembaga survei bersangkutan dikenai pidana paling lama 1 tahun atau denda Rp25 juta.
Imbas dari campur baur peran antara lembaga survei dan konsultan politik bisa terlihat dari sejumlah hasil survei yang berbeda satu sama lain mengenai elektabilitas para kandidat.
Misalnya, pada Pilkada Jawa Timur, lembaga survei PolMark Indonesia dan Charta Politika, yang masing-masing menggelar survei pada awal Februari dan awal Maret, mengunggulkan pasangan Gus Ipul-Puti Soekarno ketimbang Khofifah-Emil Dardak. Sebaliknya, lembaga survei Poltracking Indonesia, yang menjaring pendapat pada awal Maret, memenangkan Khofifah-Emil dibandingkan Gus Ipul-Puti.
Nyarwi Ahmad, masih dalam bukunya, menulis bahwa kritik terhadap lembaga survei kerap terkait pada akurasi dan validasi data. Juga soal independensi lembaga survei untuk kepentingan politik tertentu.
"Lemahnya akuntabilitas dan transparansi pendanaan lembaga survei, dan status pengelolaan lembaga survei yang kental dengan kepentingan bisnis, menjadikan independensi lembaga survei politik terus dipertanyakan," tulis Ahmad.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam