tirto.id - Di awal tahun 2018, partai politik mulai sibuk memilih dan menetapkan bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang akan maju dalam pilkada serentak pada Juni mendatang. Pertarungan politik akan terjadi dalam pilkada yang akan berlangsung di 17 Provinsi dan 154 kabupaten-kota.
Berbagai lembaga survei pun mula sibuk melakukan survei terkait bakal calon kepala daerah. Sejak September 2017, lembaga penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sudah mulai melakukan survei terkait calon pemimpin Jawa Barat.
Dari 820 responden hanya 29,5 yang responden yang mampu menentukan pilihan secara spontan, sedangkan sisanya belum menentukan pilihannya. Responden yang memberi pilihan pada saat itu lebih banyak memilih Ridwan Kamil dibandingkan Deddy Mizwar, Dede Yusuf dan Dedi Mulyadi.
Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil pun optimis menang di Pilkada Jabar dengan menggandeng Uu Ruzhanul Ulum sebagai cawagub. Meski elektabilitas tinggi, wali kota Bandung tersebut tak ingin terbuai melainkan tetap bekerja keras untuk meraih kemenangan. Agar mudah diingat warga, paslon ini menamai koalisinya dengan sebutan “Rindu.”
Baca juga:Gatot Nurmantyo di Bursa Pilkada 2018 dan Pemilu 2019
Jika di Jabar, ada Kang Emil, maka di Sumatera Utara muncul dua tokoh populer yaitu Letjen Edy Rahmayadi dan Djarot Saiful Hidayat. Meski muncul dua nama populer ini, Survei dan Polling Indonesia (SPIN) menunjukkan elektabilitas Edy dan Djarot tetap berada di bawah Tengku Erry Nuradi.
Populer memang menjadi nilai tambah bagi seorang kandidat dan elektabilitas menambah kepercayaan diri kandidat untuk menang.
Salah satu model yang dikenal dalam hubungan survei dan perilaku pemilih adalah efek bandwagon. Argumen dalam efek bandwagon yakni seorang pemilih akan cenderung memilih seorang kandidat atau partai politik karena kandidat atau partai tersebut diopinikan akan memenangkan pemilu.
Pemilih cenderung mengikuti pendapat mayoritas, meski tak semua kandidat yang diopinikan menang akan keluar sebagai pemenang pemilu. Itu mengapa hasil poling yang dilakukan pra-pemilu bisa mempengaruhi keputusan seorang pemilih. Kemenangan dalam poling bisa menghadirkan kemenangan sungguhan di hari pencoblosan, atau menjadi self-fulfilling prophecy.
Namun, tak selamanya demikian. Pada 2016, dunia dikejutkan dalam kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton. Istri Bill Clinton itu awalnya diprediksi akan memenangkan pilpres berdasarkan berbagai lembaga survei. Banyak pemilih yang mendukung Clinton salah satunya karena tak ingin Trump yang memimpin AS.
Clinton populer sebagai seorang politikus sedangkan Trump adalah pebisnis, bintang TV dan tentunya bukan seorang politisi. Trump juga harus melawan tuduhan soal pelecehan seksual yang dialamatkan kepadanya.
Clinton diprediksi menang karena selain ia sebagai perempuan pertama yang berpotensi menjadi presiden AS, ia juga didukung oleh kelompok kulit hitam, imigran dan keyakinan bahwa mereka yang sebelumnya memilih Barack Obama, akan memilih teman separtainya yaitu Clinton. Namun, hasil pemilu berkata lain.
Baca juga:Melesetnya Poling-Poling Prediksi Pilpres AS
Dikutip The Guardian, salah satu faktor yang membawa Trump menang adalah kampanye “make America great again” yang pernah digunakan oleh Ronald Reagan. Ia menyasar kaum kulit putih kelompok pekerja, berpendidikan rendah dan penduduk di kota-kota kecil. Menjanjikan mereka pekerjaan, perbatasan yang aman (terkait maraknya teror yang terjadi di AS dan isu imigran ilegal). Ia kian diuntungkan dengan sistem pemilu AS yang menggunakan electoral vote bukan popular vote.
Hal ini menunjukkan bahwa sosok seorang kandidat tak melulu dapat menjadi jaminan dalam memenangkan pemilu. Ferdi Akbiyik dan Ahmet Husrev Eroglu dalam tulisannya bertajuk “The Impact of Local Political Applications on Voter Choices” memaparkan bagaimana berbagai faktor dapat mempengaruhi dukungan warga.
Ferdi Akbiyik dan Ahmet Husrev Eroglu menggunakan konsep political marketing. Konsep ini bertujuan untuk memengaruhi pemilih dengan menggunakan beberapa produk marketing yakni kredibilitas kandidat, program kerja kandidat serta partai politik.
Populer saja tak cukup untuk memperoleh suara atau menang. Program kampanye yang mengikuti isu terkini adalah komponen kedua yang harus diperhatikan kandidat. Program yang dijanjikan saat kampanye merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi preferensi pemilih dalam periode pemilihan.
Partai politik pengusung dan calon presiden tidak hanya memperhatikan program mereka sendiri. Mereka harus menganalisis program dari pihak lawan, menemukan titik lemahnya, melakukan langkah menyerang. Program kampanye pun harus menjawab permasalahan yang tengah dihadapi negara.
Hal ini pernah dilakukan John F, Kennedy dalam pilpres AS tahun 1960. Kennedy yang berasal dari partai Partai Demokrat menggunakan isu ekonomi yang lesu dan revolusi komunis di Kuba saat melawan wakil presiden Richard Nixon dari Partai Republik.
Dua isu itu menjadi kritik warga di era kepemimpinan Nixon. Bagi Kennedy, Amerika sudah berada di belakang Uni Soviet sehingga diperlukan serangkaian program demi kemajuan negara termasuk menekan pengangguran dan mempercepat laju ekonomi termasuk menghalangi penempatan nuklir di Kuba yang dapat memicu perang.
Awalnya Kennedy hanyalah seorang senator yang tidak terkenal dari Massachusetts, masih muda, dan beragama Katolik. Dalam pilpres itu, Nixon yang dijagokan akan menang, hingga debat calon presiden yang disiarkan di TV mengubah segalanya. Meskipun Nixon menunjukkan penguasaan isu, Kennedy, dengan sikapnya yang santai dan percaya diri mampu memaparkan berbagai program dengan baik termasuk menjawab pertanyaan lawan.
Time dalam laporannya “How the Nixon-Kennedy Debate Changed the World” mengungkapkan tanpa debat televisi pertama di negara itu, Kennedy tidak akan pernah menjadi presiden. Berkat debat TV semua program dan strategi Kennedy dapat disampaikan dengan jelas dan diketahui oleh warga Amerika. Kennedy berhasil mengantongi 303 suara, sementara Nixon hanya 219 suara. Debat Tv itu juga mempengaruhi cara kampanye politik negara di dunia.
Kejutan lain dalam pemilu juga datang dari Inggris. Antara tahun 1940-1945, Winston Churchill dari Partai Konservatif adalah perdana menteri dan sosok yang paling populer. Ia sangat berperan penting saat Perang Dunia II. Saat memimpin tahun 1940, ia sudah diprediksi akan kembali memimpin Inggris dalam pemilu 1945 berdasarkan jajak pendapat yang hasilnya tak pernah di bawah 78 persen.
Namun, ternyata Clement Attlee dari Partai Buruh berhasil memenangkan suara warga Inggris dengan mengantongi 48 persen suara pada pemilu 1945. Kekalahan itu disebut karena Churchill yang lebih mementingkan kemenangan Inggris atas Jerman dibandingkan isu dalam negeri seperti penyediaan kesehatan umum dan pendidikan.
Ia juga tak mempedulikan soal partai politik. Ia mengabaikan kepentingan Konservatif selama tahun-tahun perang. Yang terpenting bagi Churcill adalah menang dalam perang. Sehingga ketika perang usai, ia pun “kehilangan arah dan tujuan.”
Di sisi lain, Clement Attlee dan partai Buruh menyampaikan kampanye yang menjanjikan tatanan sosial baru bagi warga. Partai Buruh memilah-milah kebijakannya mengenai nasionalisasi industri, pekerjaan, jaminan sosial dan masalah yang menurut jajak pendapat, paling penting di benak para pemilih yaitu perumahan.
Menurut Ferdi Akbiyik dan Ahmet Husrev Eroglu kandidat dan partai politik memang harus membedakan pola kampanye sesuai dengan sosioekonomi suatu wilayah. Sebab setiap wilayah memiliki permasalahan yang berbeda. Hal itu dapat mendongkrak peroleh suara.
Peran partai politik pun tak dapat disepelekan. Dalam political marketing, kandidat, program dan partai politik adalah tiga produk penting guna memperoleh suara warga. Salah satu kegagalan Churcill yang populer dan penuh prestasi itu karena ia mengabaikan partai politik saat perang terjadi.
Di Indonesia, kejutan juga terjadi pada Pilkada Jakarta 2017. Proses pemilihan yang dilakukan dalam dua putaran itu awalnya dipimpin paslon Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat sebanyak 42,99 persen suara. Unggul dari kandidat lainnya.
Paslon Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat memang dianggap sebagai sosok yang bekerja dengan benar. Saking populer, tak jarang warga yang berasal dari luar Jakarta memimpikan untuk memiliki gubernur seperti Ahok. Sayangnya, kepopuleran dan prestasi Ahok tak dapat membuatnya melangkah mulus menuju DKI 1. Ditambah ucapannya terkait surat Al Maidah direspons dengan penolakan besar-besaran lewat seri Aksi Bela Islam.
Pada putaran kedua, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno mampu mencuri suara sehingga unggul dengan perolehan suara 57,95 persen. Padahal, hingga November 2016, beberapa hasil poling menunjukkan keterpilihan Anies-Sandi ada di nomor buncit.
Dalam wawancara khususTirto dengan konsultan politik Eep Saefulloh Fatah yang menangani pasangan tersebut, ia mengklaim potensi kekalahan Ahok sesungguhnya sudah terlihat sejak awal sebelum ada isu Al-Maidah (penistaan agama).
“Orang yang puas sama dia di atas 70 persen. 72 koma sekian persen. [Tapi] yang menginginkan dia jadi gubernur [hanya] 40 persen. Ketika dilacak, salah satu sebabnya, ya, itu: Ahok dianggap tidak bisa jadi teladan yang baik. Ahok dianggap punya masalah dalam komunikasi,” ujar Eep.
Di sisi lain, paslon Anies-Sandi juga memanfaatkan peluang dengan menargetkan suara dari pihak yang menentang berbagai kebijakan Ahok, misalnya soal reklamasi. Agus-Sylvi tidak berposisi secara diametral dengan petahana dalam isu tersebut.
Pada akhirnya, popularitas seorang kandidat tak serta merta dapat memuluskan jalannya dalam memenangi pemilu. Ada faktor political marketing yang kuat. Faktor ini akan memindai dan mempromosikan habis-habisan faktor yang paling menjual dari satu kandidat, sambil meneropong dan mengambil keuntungan dari hal yang dianggap sebagai kekurangan dari lawan.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani