tirto.id - Pemilihan umum (Pemilu) yang seharusnya berjalan aman, adil, bebas dan jujur tak jarang malah melahirkan kekerasan hingga konflik. Honduras yang baru saja menggelar Pemilu menjadi salah satu negara yang harus menghadapi krisis politik pascapemilu akibat kecurangan dalam penghitungan suara.
Salvador Nasralla, pemimpin oposisi yang memimpin Alliance, yakin akan merebut kemenangan dari lawannya yang merupakan petahana, Juan Orlando Hernandez. Keyakinan itu muncul setelah dalam perhitungan suara sementara ia berhasil unggul 5 persen atas Hernandez. Di sisi lain, pihak Hernandez juga yakin akan kembali memimpin Honduras.
Dua kubu yang sama-sama yakin telah memenangkan Pemilu terang saja membuat suasana di negara tersebut menjadi tegang. Suasana semakin panas karena pengumuman hasil penghitungan molor. Empat hari setelah Pemilu, hasil belum juga diumumkan komisi pemilihan umum (TSE). TSE beralasan, keterlambatan hasil penghitungan terjadi karena suara misterius di daerah pedesaan dan adanya gangguan pada sistem komputer.
Tentu saja situasi tersebut dicurigai oleh pihak oposisi. Nasralla dan kelompoknya sejak awal sudah mencurigai TSE tidak independen. Mereka menganggap lembaga pemilu berada dalam kendali Partai Nasional yang berkuasa. Dugaan itu semakin kuat menyusul keterlambatan pengumuman hasil penghitungan suara.
Tidak ingin dikadali oleh rezim yang berkuasa, massa pendukung Nasralla mulai turun ke jalan dan memblokade jalan di ibu kota Honduras, Tegucigalpa. Aksi itu disertai bentrokan antara massa dengan pihak kepolisian. Demonstrasi tersebut akan berlanjut hingga dilakukannya penghitungan suara di hadapan perwakilan partai dan pengamat internasional, menurut klaim Nasralla.
Baca juga:Presidential Threshold Tak Relevan Jika Pemilu 2019 Serentak
Kemarahan pendukung Nasralla tidak hanya karena menduga adanya penyimpangan, akan tetapi karena kegagalan masyarakat internasional untuk berbicara meski ada serangkaian peristiwa yang menurut oposisi mengarah pada kecurangan yang sudah direncanakan.
“Masyarakat internasional terutama UE, AS, dan OAS perlu untuk tidak berpihak dan sebaliknya mengambil peran aktif dalam menuntut dan mengamati penghitungan fisik karena TSE (lembaga pemilihan umum Honduras) jelas tidak dapat dipercaya....,” ujar Nasralla.
Situasi di Honduras memburuk lantaran Hernandes dinyatakan menang atas Nasralla dengan selisih tipis 1,6 persen suara. Sekitar 11 orang tewas dan 15 lainnya luka-luka dalam demonstrasi di Honduras pascapemilu.
Pemilu 2017 pun menyeret Honduras berada di ambang krisis politik terburuk sejak kudeta militer 2009 yang menggulingkan presiden Manuel Zelaya dari Partai Liberal yang kini mendukung Nasralla. Sejak saat itu, sayap kanan menguasai pemerintahan Honduras.
Undang-Undang Honduras hanya memungkinkan seorang presiden berkuasa selama satu periode saja. Aturan ini pernah ingin diubah oleh Presiden Manuel Zelaya, tetapi dianggap ilegal oleh Mahkamah Agung Honduras. Situasi inilah yang memicu kudeta pada 2009.
Jika Zelaya gagal, Hernandez berhasil mengubah Undang-Undang yang dimaksud pada 2015 silam. Tidak heran jika Hernandez bisa kembali maju untuk mencalonkan diri sebagai presiden untuk kedua kalinya dalam Pilpres 2017.
Baca juga:Hati-Hati Kena Stres Usai Pemilu
Pemilu Berujung Duka
Tak hanya di Honduras atau di negara Amerika Latin yang kerap berhadapan dengan konflik pascapemilu. Di Kenya, Pemilu kerap berujung duka. Pada 2007, sekitar 1.300 orang meninggal dan 600.000 orang lainnya mengungsi akibat penyerangan kepada suku-suku yang dianggap berseberangan dalam pemilu.
Dalam tulisan Olga Khazan bertajuk What Causes Some Elections to Go Violent?, ia memaparkan bahwa sebagian besar yang menghadapi permasalahan pada pemilu berasal dari negara-negara berkembang.
Baca juga: Agar Generasi Z Tak Fanatik dalam Pemilu
Menurut Olga, ada tiga hal yang memicu problem lanjutan setelah Pemilu: hasil pemilu yang tidak kredibel, anggapan bahwa sang pemenang “menguasai segalanya” serta preseden bahwa kekerasan adalah cara yang efektif dalam memperoleh suara.
Tiga hal itu dapat terjadi karena lemahnya lembaga penegak hukum dan minimnya transparansi Komisi Pemilihan Umum. Penegakan hukum yang buruk dan lembaga penyelenggara Pemilu yang tidak transparan mencerminkan tingginya praktik korupsi dan kolusi. Saat polarisasi politik menguat dan memanas karena Pemilu yang sangat ketat dan gaduh, kinerja lembaga pemilihan umum yang buruk sangat mungkin memicu ledakan konflik yang bisa berdarah-darah.
Di Indonesia, bulan-bulan mendatang akan dihangatkan oleh Pilkada serentak. Ketua KPU Arief Budiman sejak November lalu telah mengingatkan soal potensi konflik dalam Pilkada serentak 2018.
"Potensi konflik selama pilkada 2018 bagi kami (KPU) sepertinya tinggi, karena pertarungan di 2018 ini paling melibatkan banyak hal," kata Arief.
Salah satu elemen yang membuat Pilkada serentak 2018 sangat strategis adalah karena setelah itu, pada 2019, akan dilangsungkan Pilpres 2019. Inilah yang membuat Presiden Jokowi belum lama ini menyebut tentang tahun politik.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Zen RS