tirto.id - "Suami saya sudah gila semenjak kalah Pilkada 2008 di Banyumas."
Rani, istri pendiri situs www.nikahsirri.com mengeluarkan kalimat itu pada media setelah suaminya digelandang polisi. Aris Wahyudi, sang pendiri situs, dikenakan pasal pornografi dan perdagangan orang karena melelang gadis perawan di situsnya.
Tapi kita tak akan membahas soal situs perdagangan manusia itu. Melainkan gangguan kejiwaan setelah pemilu. Kalau Anda rutin menyimak berita di media, pasti ada beberapa berita tentang kelakuan aneh-aneh para calon legislatif yang gagal di pemilihan. Umumnya mereka tertekan secara kejiwaan karena sudah mengeluarkan biaya amat besar, tapi gagal melenggang jadi wakil rakyat.
Kelakuannya beraneka macam. Pada Pemilu 2014 silam, misalkan. Situs berita Antara pernah memberitakan seorang caleg dari Partai Keadilan Sejahtera di Sampang, Madura, yang mengambil paksa sebuah kotak suara karena tidak puas pada hasilnya. Kelakuan lain, caleg dari Partai Hanura di kota Tulungagung, Jawa Timur, menarik kembali bantuan yang ia sumbangkan untuk mushola karena kecewa terhadap perolehan suaranya.
Tak hanya dampak kecil seperti itu. Seorang caleg dari Partai Demokrat di Cirebon, stres hingga dibawa ke sebuah padepokan untuk pengobatan jiwa. Yang paling bikin sedih adalah kasus seorang perempuan dari kota Banjar, Jawa Barat. Ia gagal lolos jadi caleg, dan memutuskan gantung diri. Di luar kasus yang disebutkan di atas, saya yakin ada banyak kasus serupa yang tak terungkap oleh media. Sebabnya bermuara pada stres setelah hasil pemilu tak sesuai harapan.
Nova Riyanti Yusuf, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Cabang DKI Jakarta, mengatakan di Indonesia sudah banyak bermunculan gejala yang disebut sebagai stres usai pemilu (post-election stress disorder, PSED).
"Di kalangan psikiater Indonesia, PSED belum resmi dianggap sebagai disorder, tapi kami pernah mengadakan preliminary survey kecemasan akibat Pemilihan Gubernur DKI," ujar Nova.
Survei yang dimaksudkan Nova dibuat oleh PDSKJI dan Selasar, dilakukan dalam masa Pilkada DKI Jakarta 2017. Ia punya 107 partisipan, dengan 85 di antaranya adalah milenial (usia 19-27 tahun) dan 29 persen punya KTP DKI Jakarta. Survei ini menggunakan sistem Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS), yang mengajukan 50 pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak, untuk mengukur tingkat kecemasan.
Jika jawaban ya kurang dari 7, berarti tingkat kecemasan responden bersangkutan rendah. Jika jawaban ya berkisar 7 hingga 21, itu artinya tingkat kecemasan sedang. Jika responden menjawab lebih dari 21 jawaban ya: tingkat kecemasannya tinggi.
Hasil survei itu cukup mengejutkan. Sebanyak 58 persen partisipan, atau 62 orang, mengalami kecemasan tinggi. Menariknya, yang tidak mencoblos punya persentase kecemasan yang lebih tinggi ketimbang yang tidak mencoblos. Pada Pilgub DKI, topik yang paling membuat cemas adalah perkara ras dan etnis. Selain itu, ada 66,7 persen yang merasa cemas karena kehilangan teman akibat Pilgub.
"Ribut-ribut Pilkada dan proses politik bisa dengan mudah menyebabkan kecemasan karena kemudahan mengakses (mis) informasi melalui media sosial," begitu salah satu kesimpulan hasil survei ini.
Baca juga:Menyaring Informasi di Media Sosial
Begitulah. Kalau ingin menengok hasil kecemasan, atau mungkin huru-hara usai pilkada, media sosial (dan kolom komentar media) adalah tempat yang paling tepat. Kondisi ini diperparah dengan cuplikan gambar hoax, juga tautan berita bohong. Hampir setiap hari, kamu bisa menemukan komentar dan saling ejek seperti ini:
"Dasar kamu cebong!"
"Kamu enggak bisa move on!"
"Dasar penjilat penguasa."
"Kamu kok kerjanya nyinyir. Panasbung, ya?"
Tapi, masalah ini bukan hanya di Indonesia. Amerika Serikat yang iklim demokrasinya dianggap jauh lebih matang ketimbang Indonesia pun mengalami masalah yang sama. Pada 2016, American Psychological Association (APA) mengadakan survei kecemasan terkait Pemilihan Presiden.
Hasilnya tak mengejutkan. Sebanyak 52 persen orang dewasa di Amerika Serikat mengatakan Pilpres 2016 adalah sumber stres mereka. Kecemasan itu juga berasal dari, salah satunya, akses ke media sosial. Sama dengan Indonesia, Amerika Serikat juga menghadapi masalah berita bohong—yang kerap diolok sebagai 'fakta alternatif'. Hal ini disampaikan oleh Lynn Bufka, direktur eksekutif kebijakan APA saat diwawancara oleh The Washington Post.
Baca juga:Inilah Breitbart, Corong NAZI ala Amerika Serikat
"Salah satu tantangan dari aktif di sosial media adalah, selalu ada kecemasan di sana," ujarnya. "Kebaikan masyarakat seperti hilang ketika kita online. Saya menyarankan orang-orang untuk mulai beralih dari media sosial. Tidak apa kok sesekali tidak online."
Masalahnya lagi adalah, stres usai pemilu ini tidak pilih-pilih dalam menyasar korbannya. Baik orang Republik (59 persen) maupun Demokrat (55 persen) mengaku cemas karena pilpres. Dalam sebuah wawancara dengan CNN, seorang psikolog bernama Nancy Molitor mengatakan bahwa ia tak pernah melihat hal seperti ini. Dari milenial hingga yang berusia senja, berkeluh kesah soal politik di sesi terapi psikologi.
Hasilnya memang tak elok. Di tingkatan pribadi, pengidap stres jenis ini banyak yang mengalami susah tidur. Beberapa mengatakan kehilangan gairah untuk bercinta. Padahal bercinta adalah salah satu cara ampuh mengendurkan stres. Di tingkatan sosial dan pekerjaan, seseorang bisa kehilangan teman, berkelahi, hingga susah fokus di pekerjaan.
Saat ini, dunia psikologi masih belum menyatakan secara resmi perkara gangguan psikologi ini, alias ini belum sepenuhnya dinyatakan sebagai gangguan. Para psikolog masih melakukan penelitian lebih lanjut agar bisa menentukan apakah ini benar-benar gangguan psikologi ataukah hanya fenomena pasca-pemilu biasa.
Tapi karena sudah mulai terlihat tanda-tandanya, psikolog juga memberikan beberapa solusi untuk mengurangi stres usai pemilu ini. Tak jauh berbeda dengan cara menghilangkan stres lain, caranya antara lain adalah meditasi. Yoga juga disarankan. Begitu pula dengan latihan fisik yang menguras tenaga. Beribadah juga dianggap bisa lebih membuat tenang. Saran lain yang tak kalah penting: kurangi bermain media sosial.
Baca juga:Media Sosial: Sumber Berita, Sumber Kebohongan
Di Indonesia, gejala stres akibat pemilu sudah tampak sejak 2014 silam. Para pendukung adu bacot di Twitter atau Facebook, bahkan ada yang berkelahi secara fisik. Ketika sudah ada pemenang, yang kalah tetap merasa cemas. Seolah kota, provinsi, atau negara akan hancur jika lawan yang jadi pemimpin. Sedangkan pendukung di kubu pemenang merasa bahwa mereka terus diserang dari segala pihak. Benar adanya, stres usai pemilu ini tak pilih-pilih korban, semua bisa kena.
Mengingat kita akan menghadapi Pemilihan Presiden 2 tahun lagi, gejala stres ini sepertinya tak akan berkurang frekuensinya. Malah tampaknya akan semakin sering, semakin sengit, dan semakin panas.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani