tirto.id - Semua negara akan kena angin fasisme pada waktunya. Atau tidak?
Malcolm X, Afro-Amerika yang menolak diskriminasi rasial, pernah berkata: Media adalah entitas paling adikuasa di dunia. Mereka punya kuasa membuat yang suci menjadi berlimpah dosa, dan pendosa menjadi yang paling suci. Mereka punya kekuatan mengatur pikiran massa.
Malcolm bisa saja salah, tapi setidaknya ucapan itu berlaku soal Breitbart, sebuah media sayap kanan di Amerika Serikat. Seperti dituliskan The New York Times, media berkiblat konservatif ini menjadi ladang suara potensial pendukung Republikan dan jadi salah satu faktor pendukung kemenangan Donald J. Trump dalam pertandingan presidensial kemarin.
Ini tak lepas dari pandangan politik sang pemimpin umum: Stephen Bannon. Ia kepala kampanye Donald Trump, juga seorang kader Partai Republik. Ia juga baru saja dipilih jadi Kepala Strategi Presiden Donald Trump untuk Gedung Putih.
Di bawah pimpinan Stephen Bannon, sejak 2012 hingga tahun ini Breitbart bahkan mengukuhkan dirinya sebagai mimbar bagi paham alt-right.
Alt-right alias alternative-right, sendiri merupakan paham baru yang ditumbuhkan muda-mudi ras kulit putih di Amerika Serikat. USA Today menyebutnya sebagai gerakan sosial orang-orang ras kulit putih yang khawatir dan ketakutan kehilangan kuasa serta wibawa di AS, sehingga mereka menentang imigrasi dan multikulturalisme.
Belakangan, Wikipedia bahkan menyamakan alt-right dengan istilah supremasi kulit putih, fobia Islam, antifeminisme, homofobia, antisemitisme, nasionalisme etnis, populisme sayap kanan, nativisme, dan tradionalisme.
Tapi Breitbart bikin banyak orang di Amerika terkejut karena dalam waktu relatif pendek, media itu begitu populer, mengalahkan media arus utama lain. Di Facebook saja, ia bersaing dengan media sekelas The Washington Post dan The New York Times. Ia juga mengalahkan Fox News yang selama ini jadi media kesayangan para konservatif AS. Indikatornya adalah pengaruh Breitbart terhadap kampanye presiden lalu, dan statistik pengunjung.
Breitbart bahkan jadi media nomor empat paling banyak dirujuk pengguna Facebook pada hari pemilu AS. Mengalahkan CNN, Buzzfeed, The New York Times, Fox News, IJ Review, dan Independent dalam daftar 10 media paling laku di Facebook terkait kata kunci: Trump, Hillary, dan Election.
Bahkan Hilarry Clinton menyebut Breitbart sebagai media musuh nomor 1 Partai Demokrat di AS. Ia menggambarkan media ini sebagai outlet berita yang rasis, radikal dan menyakitkan hati.
Sebelum jatuh ke tangan Bannon, Breitbart News didirikan satu dekade lalu oleh Andrew Breitbart yang sudah meninggal pada 2012 lalu. Andrew Breibart, selain high profile dalam dunia media, juga seorang aktivis Tea Party—gerakan konservatif yang mengadvokasi pajak seminimal mungkin.
Breitbart saat didirikan 2005 adalah media kecil yang berbasis di Los Angeles. Tak ada yang menyangka berita-beritanya yang cenderung memancing pertikaian akan mengundang banyak pemirsa.
Berita-berita di Breitbart memang tendensius. Ia menyebut imigran sebagai ‘sekelompok pemerkosa’, dan jadi salah satu media pertama yang menyebarkan kondisi kesehatan Hillary yang tak baik. Para penulisnya sering memfitnah gerakan Black Lives Matter, menuding gerakan itu sebagai fitnah yang dilancarkan orang kulit hitam. Padahal gerakan itu muncul karena tingginya angka kematian warga Afrika-Amerika di AS yang dibunuh polisi kulit putih.
Breitbart bahkan menggambarkan “Muslim muda di Barat” sebagai “bom waktu yang segera meledak di dunia.”
The New York Times bahkan menggambarkan Breitbart sebagai media antisemitisme, misoginis, antimuslim, sumber petaka, dan tak bertanggung jawab lewat artikel Ruth Marcus dalam opini berjudul “Breitbart bukanlah Sekadar Media. Ia adalah Sampar, Wabah Penyakit”
Tapi Breitbart melabel diri sebagai media perjuangan sayap kanan yang sudah tak lagi disuarakan media-media konservatif yang biasanya jadi wadah kaum Republikan. Dalam berita online salah satu media konservatif, seperti dikutip The New York Times, pemimpin redaksinya, Alexander Marlow, bilang: “Fokus kami bukan lagi tentang dikotomi antara kiri versus kanan. Ini berubah menjadi populisme dan nasionalisme versus globalisme.”
Ia bahkan menyebut Fox News, yang sebelumnya menjadi media kesayangan para konservatif, telah kehilangan kepercayaan dari mereka yang berakar rumput kanan. Ia menyayangkan Rupert Murdoch, pemilik Fox News, yang disebutnya tak bergairah mengkritik imgrasi yang terlampau terbuka.
“Fox malah mengkritisi Trump dan nilai-nilai yang diperjuangkan pemilihnya,” tambah Marlow. “Banyak konservatif merasa dikhianati.”
Bagi sebagian orang, kesuksesan Breitbart menggalang massa adalah sebuah pertanda buruk.
Heidi Beirich, Direktur Intelligence Project di Southern Poversty Law Center, pada The New York Times mulai memantau Breitbart sejak sadar kalau media pembela supremasi putih seperti The Daily Stormer selalu dikaitkan dalam pemberitaan mereka.
“Bagi orang-orang alt-right, yang pada dasarnya merasa dirugikan selama ini dan belum mendapat bagian di sistem politik sama sekali, kehadiran Breitbart menjadi penting. Amat penting,” katanya. “Pandangan mereka akhirnya ada di arus utama.”
Inilah poin penting yang diingatkan banyak orang kepada Hillary Clinton saat pilpres berlangsung: pendukung Breitbart, orang-orang yang mengagungkan rasnya sendiri, di AS sana masih banyak dan mendominasi.
Tapi tak semua orang yang pernah berafiliasi dengan Breitbart senang dengan kesuksesannya meraih massa. Beberapa stafnya yang keluar awal tahun ini mengatakan Bannon telah mengubah basis situs mereka yang awalnya anti-otoriter menjadi outlet propaganda de facto pendukung Trump.
Ben Shapiro, salah satu editor yang mengundurkan diri, mengatakan pada The New York Times: “Aku tak yakin kalau mendiang Andrew Breitbart akan bangga melihat medianya sekarang disebut sebagai fondasi supremasi kulit putih di internet.”
Adakah yang masih mengatakan kekuatiran terhadap fasisme di Amerika Serikat sebagai hal yang berlebihan?
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani