Menuju konten utama
Sirojudin Abbas (SMRC):

Presidential Threshold Tak Relevan Jika Pemilu 2019 Serentak

Alih-alih dipandang akan menguatkan sistem presidensial, penetapan presidential threshold dinilai tidak cocok karena pemilu presiden dan parlemen 2019 dilaksanakan secara serentak.

Presidential Threshold Tak Relevan Jika Pemilu 2019 Serentak
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kanan) bersalaman dengan Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy (kiri) sebelum memulai rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/6). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) antara DPR dan pemerintah belum juga mencapai titik temu. Salah satu isu krusial yang membuat jalannya pembahasan alot adalah soal penetapan ambang batas perolehan suara untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.

Pemerintah bersikeras partai atau gabungan partai yang ingin mengusung calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) mesti memiliki minimal 20 kursi di DPR atau meraih 25 persen suara sah nasional. Angka tersebut mengacu pada presidential threshold yang berlaku di Pemilu 2014. Sementara sejumlah fraksi di DPR menyuarakan hal sebaliknya: pemilu serentak tak butuh presidential threshold atau kalau pun mesti ada angkanya diturunkan menjadi 10 kursi DPR atau 15 persen raihan suara sah nasional Pemilu 2014.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan berharap pemerintah maupun DPR bisa lebih luwes dalam hal presidential threshold. Hal ini menurutnya penting guna menghindari terjadinya kebuntuan dalam proses pembahasan RUU Pemilu.

“Kalau mau bertahan, ya, deadlock pasti. Namanya politik kita kan mesti take and gift,” kata Zulkifli di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (5/7).

Zulkifli mengatakan PAN tidak mempersoalkan ada atau tidaknya presidential threshold di Pemilu 2019. Yang terpenting menurutnya keputusan diambil secara musyarakat mufakat oleh pemerintah dan DPR. Zulkifli juga menolak wacana pertemuan antara DPR dan pemerintah untuk menyelesaikan kebuntuan pembahasan RUU Pemilu.

“Jangan dikit-dikit presiden, dong. Masak RUU Pemilu enggak bisa diselesaikan sendiri [di DPR],” ujarnya.

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto mengatakan proses pembasahan RUU Pemilu menjadi alot karena perbedaan pandangan tidak hanya terjadi antara fraksi-fraksi di DPR tapi juga dengan pemerintah. “Karena seperti yang kita ketahui RUU Pemilu ini yang lebih menyulitkan bagi kita ketidaksamaan perbedaan tidak hanya oleh fraksi-fraksi, tapi juga pemerintah,” kata Agus.

Agus mengatakan menyelesaikan perbedaan antar-fraksi lebih gampang ketimbang dengan pemerintah. Misalnya dengan mengambil keputusan melalui mekanisme voting.

Pembahasan RUU Pemilu ditargetkan selesai pada 20 Juli 2017. Agus berharap sisa waktu yang ada bisa dimanfaatkan oleh seluruh fraksi dan pemerintah untuk menyamakan persepsi. “Sehingga dalam waktu ini kami punya waktu untuk berdiskusi terus antara DPR dan pemerintah. Di dalam DPR juga harus sepakat dan pemerintah harus sepakat,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang menjadi perwakilan pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu mengatakan pemerintah masih bersikukuh dengan angka presidential threshold 20 persen. Jika angka ini tidak disepakati oleh mayoritas fraksi di DPR maka ada dua opsi yang bisa ditempuh yakni voting di paripurna atau pemerintah menolak melanjutkan pembahasan. Jika opsi kedua yang terjadi, maka pemerintah akan menggunakan UU Pemilu 2014 dengan meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi.

Peneliti SMRC Sirojudin Abbas menyatakan presidential threshold penting untuk memperkuat sistem presidensial yang berlaku di Indonesia. “Tujuan utama konsep presidential threshold dan parliamentary threshold pada dasarnya sama: penguatan sistem presidensialisme,” kata Sirojudin saat dihubungi Tirto (4/7).

Menurutnya, ambang batas perolehan suara akan berdampak terhadap penyederhanaan jumlah partai di parlemen. Sebab, partai-partai yang tidak lolos threshold otomatis tersingkir. Dengan begitu, kekuatan politik akan terakumulasi di beberapa partai.

"Penyederhanaan partai di parlemen akan membantu kinerja presiden karena hanya bekerja dengan sedikit partai. Dengan demikian, maka sistem presidensial akan lebih kuat dan lebih kuat dan efektif karena ada pengurangan beban negosiasi politik dengan parlemen," jelasnya.

Namun, ada masalah terkait pelaksanaan Pemilu 2019 nanti yang akan berlangsung serentak antara pemilihan presiden dengan pemilihan anggota DPR. Karena pelaksanaannya yang serentak, menurut Sirojudin, konsep presidential threshold menjadi tidak relevan diterapkan.

“Jumlah 20-25 persen atau 10-15 persen jadi tak punya dasar. Sebab, dasar rujukan threshold-nya jadi tidak jelas: pada hasil pemilu yang mana? Jika yang dimaksud hasil pemilu 2014, capaian threshold mereka sudah digunakan untuk mengusung capres/cawapres 2014,” katanya.

Kecuali, lanjut Sirojudin, jika RUU Pemilu menyepakati klausul pengecualian untuk pemilu 2019, bahwa presidential threshold merujuk pada hasil pemilu 2014. Atau, menurutnya, konsep presidential threshold bisa diterapkan jika pemilu presiden terjadi dua putaran.

"Putaran pertama sebagai pemilihan awal untuk menjaring calon-calon terkuat. Semua partai peserta pemilu 2019 boleh ajukan calon sendiri atau berkoalisi mengajukan calon. Putaran kedua hanya partai-partai yang lolos parlemen yang bisa mengajukan calon presiden sendiri atau berkoalisi mengajukan calon," ia memaparkan sistem dua putaran yang dimaksudkannya. "Pada putaran kedua inilah presidential threshold pantas diterapkan. Lebih tinggi persentasenya bisa lebih baik. Karena akan menyederhanakan jumlah calon.”

Selain perkara ambang batas pencalonan presiden, isu lain yang juga mengganjal pembahasan RUU Pemilu adalah parliamentary threshold (ambang batas parlemen), alokasi jatah kursi per daerah, sistem pemilu, dan metode konversi suara. Sejauh ini Pansus RUU Pemilu telah menyiapkan empat paket untuk pengambilan keputusan perihal lima isu tersebut, yakni:

Paket A

  1. Ambang batas parlemen (5 persen)
  2. Ambang batas presiden (10-15 persen)
  3. Alokasi kursi per daerah (3-8 kursi)
  4. Sistem pemilu (Terbuka)
  5. Metode konversi suara (Sainte Lague Murni)

Paket B

  1. Ambang batas parlemen (5 persen)
  2. Ambang batas presiden (20-25 persen)
  3. Alokasi kursi per daerah (3-8 kursi)
  4. Sistem pemilu (Terbuka terbatas)
  5. Metode konversi suara (Sainte Lague Murni).

Paket C

  1. Ambang batas parlemen (4 persen)
  2. Ambang batas presiden (0 persen)
  3. Alokasi kursi per daerah (3-10 kursi)
  4. Sistem pemilu (Terbuka)
  5. Metode konversi suara (Kuota Hare).

Paket D

  1. Ambang batas parlemen (4 persen)
  2. Ambang batas presiden (10-15 persen)
  3. Alokasi kursi per daerah (3-10 kursi)
  4. Sistem pemilu (Terbuka terbatas)
  5. Metode konversi suara (Sainte Lague Murni).

Baca juga artikel terkait PRESIDENTIAL THRESHOLD atau tulisan lainnya dari Jay Akbar & M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Jay Akbar & M. Ahsan Ridhoi
Editor: Maulida Sri Handayani