Menuju konten utama

Agar Generasi Z Tak Fanatik dalam Pemilu

Sebagai penerus masa depan, Generasi Z bisa menimbang berkaca pada sejarah agar tak terjerumus ke dalam fanatisme.

Agar Generasi Z Tak Fanatik dalam Pemilu
ILUSTRASI GENERASI Z. Sejumlah siswa SD mengunjungi Monas, Jakarta, Jumat (17/2). ANTARA FOTO/Septianda Perdana

tirto.id - Definisi rentang umur Generasi Z bermacam-macam. Pada 2012, ketika jurnalis Bruce Horovitz memperkenalkan nama Generasi Z, rentang umur yang digunakan belum jelas. Namun istilah itu mulai makin sering dipakai setelah presentasi dari agen pemasaran Sparks and Honey viral pada 2014.

Dalam presentasi itu, rentang umur yang dipakai mendeskripsikan Generasi Z adalah mereka yang lahir tahun 1995 sampai 2014. Badan statistik Kanada menghitung Generasi Z mulai dari mereka kelahiran 1993 sampai 2011. McCrindle Research Centre di Australia menyebut Generasi Z sebagai orang-orang yang lahir pada 1995 sampai 2009. MTV lain lagi. Mereka mendefinisikan generasi itu sebagai orang-orang yang lahir selepas Desember 2000.

Terlepas rupa rentang umur tersebut, mereka semua sepakat bahwa Generasi Z adalah orang-orang yang lahir di generasi internet—generasi yang sudah menikmati keajaiban teknologi setelah kemunculan internet.

Lalu, rentang umur berapa yang tepat dipakai Indonesia untuk menggambarkan Generasi Z-nya?

Internet hadir di Indonesia pada 1990. Baru pada 1994, Indonet hadir sebagai Penyelenggara Jasa Internet komersial perdana di negeri ini. Dengan garis batas itu, kita bisa menentukan Generasi Z Indonesia adalah mereka yang lahir pada pertengahan 1990an sampai medio 2000an.

Jika Generasi Z pertama adalah mereka yang lahir pada 1995, artinya orang yang paling tua dari Generasi Z Indonesia sudah berumur 21 tahun. Menilik konstitusi Indonesia, seseorang yang berumur 21 tahun setidaknya telah mengalami 2 kali pemilu. Mereka yang sudah berumur 17 tahun pada 2012 pasti sudah pernah merasakan gegap gempita pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu legislatif pada 2014 silam.

Namun, jika dihitung lebih teliti, seseorang yang lahir pada 1995 sudah mengalami—paling banyak—7 kali pemilu. Jumlahnya bisa saja kurang dari itu, tapi tak mungkin lebih. Jumlah tersebut juga sangat tergantung pada bulan kelahiran dan domisili. Serta keinginan atau keengganan orang tersebut datang ke tempat pemungutan suara.

Misalnya, seseorang yang berdomisili di Jakarta dan lahir pada Januari 1995, mungkin saja sudah mengikuti 6 kali pemilu seumur hidupnya: Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014, Pemilu Legislatif 2014, dan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017 yang sampai dua putaran. Jumlah ini, tentu, di luar kemungkinan ia turut mencoblos pada pemilu kota/kabupaten/provinsi tempat ia tinggal.

Setidaknya, orang-orang yang tercatat sebagai Generasi Z sudah berpengalaman melihat gejolak politik dalam pemilu Indonesia, baik sebagai penonton maupun pemilih—terlepas hak pilihnya dipakai atau tidak. Bahkan ketika masih kecil dan belum punya hak suara, tentu sebagian mereka juga masih ingat bagaimana suasana rumah kala pemilu diselenggarakan.

Satu hal yang juga muncul kala musim pemilu tiba adalah suasana perseteruan. Tidak hanya terjadi di panggung pemilihan antara masing-masing calon kandidat, suasana itu juga ada di rumah tangga para simpatisan kandidat.

Salah satu pemilu paling sengit yang masih basah di ingatan adalah pemilu presiden 2014: memilih Joko Widodo atau Prabowo Subianto bisa meretakkan hubungan ayah-anak, suami-istri, apalagi sepasang karib. Dunia internasional bahkan menonton perseteruan panas itu dari negaranya masing-masing.

Contoh lain, yang juga terjadi di Indonesia, dan juga menarik perhatian dunia, adalah pemilu gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017. Nama Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama bahkan santer disandingkan dengan gelar Gubernur Kristen dalam sejumlah berita internasional terkait kasus Al-Maidah.

Pemilu memang bukan cuma sebuah pesta demokrasi, tapi juga ladang perseteruan. Tak peduli teritorialnya cuma mencakup sepetak desa, atau seluas negara. Salah satu alasan munculnya perseteruan itu adalah fanatisme para simpatisan.

Ada banyak hal yang bisa digambarkan dari kata fanatisme. Filsuf Prancis Denis Diderot pernah sekali berkata, “Dari fanatisme ke barbarisme cuma perlu satu langkah.” Di lain waktu, sejarawan Inggris Edward Gibbon pernah bilang, “Fanatisme meniadakan rasa perikemanusiaan.” Filsuf Austria Rudolf Steiner menganggap, “Fanatisme adalah hal paling celaka di muka bumi.”

Rasanya sukar menemukan muatan positif pada kata fanatisme, bila tidak datang dari mereka yang menjalaninya sendiri. Tapi, apa sebenarnya fanatisme?

Dalam kanal Psychology Today, psikolog Jeremy E. Sherman menjelaskan seorang fanatik sebagai orang-orang yang percaya dirinya tahu segala hal, yakin bahwa ia punya akses pada kebenaran mutlak, dan mabuk atas racun keteguhan diri tersebut, sehingga merasa harus memaksa orang lain takluk pada kebenaran mereka.

Seorang fanatik biasanya melihat segala sesuatu cuma berdasarkan dua spektrum jelas: benar dan salah, baik dan buruk, atau hitam dan putih. Terkadang, ekspresi fanatik itu menjadi eksklusi: "mereka" atau "kami."

Infografik Menghindari Psikologi Menuju Fanatik

Sherman mencontohkan, psikologi fanatisme itu sering muncul dalam pandangan politik dan agama. Misalnya: sayap kanan atau kiri, Kristen atau Islam, liberal atau komunis, agama baru atau agama konservatif. Maksud Sherman, fanatik yang mengidentifikasikan dirinya sebagai kanan pasti tidak akan pernah setuju dan tertarik dengan segala gagasan yang ditunjukkan orang sayap kiri.

Begitu pula jika seorang sayap kiri sudah menjadi seorang fanatik. Ia pasti tidak akan mendengar atau bahkan peduli pada gagasan orang-orang sayap kanan.

Mengabaikan gagasan seseorang karena menganggap diri sendiri punya gagasan yang lebih baik adalah hal wajar dan sah-sah saja. Namun, jika sudah mencapai taraf fanatik, seseorang biasanya tidak akan santai jika masih melihat orang lain belum mengikuti kebenaran yang ia junjung. Tak jarang, para fanatik berubah menjadi ekstremis dan melakukan kekerasan demi memaksakan ideologi yang diyakininya.

Contoh paling populer hari ini adalah ISIS, teroris dari Timur Tengah yang meyakini bahwa membunuh orang-orang tak sepaham dengan mereka akan berbuah surga.

Selain jalan pedang seperti yang dilakukan ISIS, kaum fanatik juga bisa "berjuang" lewat jalan demokrasi. Itu sebabnya mereka tak jarang terjun ke arena politik demi mengisbatkan ideologinya. Misalkan kelompok Alt-Right di Amerika Serikat yang yakin bahwa ras mereka, Arya, lebih agung daripada ras lain. Atau gerakan untuk menerapkan syariat Islam. Dalam politik, orang-orang fanatik akan jadi pemilih berorientasi ideologi—orang-orang yang tak peduli pada jejak rekam karier dan prestasi seorang calon pemimpin, kecuali terkait ideologinya.

Politik, padahal, dasarnya bukan hal buruk. Ia adalah cara dan wadah untuk mengelola kepentingan banyak orang. Cara untuk mengelola kepentingan umum inilah yang kerap jadi lahan perseteruan: mana cara yang paling benar? Seorang fanatik akan berjuang toh-tohan agar cara yang benar menurut keyakinannya yang partikuler itu bisa dan harus diterapkan untuk semua kalangan. Ini pula yang kerap terjadi dalam momentum pemilu dan pilkada.

Satu hal yang bisa dipelajari Generasi Z dan generasi setelahnya dari para milenial dan generasi sebelumnya: Fanatisme dalam pemilu pada ujungnya kerap tidak menghasilkan apa-apa, kecuali permusuhan. Apalagi jika rezim yang didukung mati-matian (atau ditolak mati-matian) itu ternyata tak melaksanakan apa yang diharapkan oleh pemilih fanatiknya.

Menurut data BPS, angka harapan hidup orang Indonesia rata-rata 70,1 tahun. Jika digenapkan jadi 70 tahun, artinya seorang Generasi Z bisa mengalami pemilu 86 sampai 87 kali dalam seumur hidupnya, dengan catatan konstitusi Indonesia masih serupa sekarang. Kalau dalam setiap pemilu selalu bersikap fanatik dan memusuhi orang yang pilihannya berbeda, apa tidak capek?

Baca juga artikel terkait PILGUB DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani