Menuju konten utama

Termasuk Pemilih Macam Apakah Anda dalam Pilkada?

Ada empat jenis pemilih: pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih skeptis, dan pemilih tradisional.

Termasuk Pemilih Macam Apakah Anda dalam Pilkada?
Sejumlah warga mengikuti simulasi Pilkada DKI Jakarta putaran kedua di Kelurahan Bukit Duri, Jakarta, Jumat (14/4). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Jelang pencoblosan putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017 yang akan diadakan serentak besok (20/4), ada berbagai tipologi yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi calon pemilih. Firmanzah dalam Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas (2012: 113) membaginya dalam dua dimensi besar untuk memahami ini, yakni pemilih berorientasi policy-problem-solving (selanjutnya disebut orientasi kebijakan) dan orientasi ideologi.

Secara sederhana, pemilih yang berorientasi kebijakan akan menggunakan beberapa catatan kinerja dan reputasi calon yang akan dipilihnya. Sedangkan pemilih yang berlandaskan pada orientasi ideologi lebih mengedepankan akan kesamaan pemikiran maupun latar belakang antara pemilih dengan calon yang akan dipilih.

Ada beberapa faktor determinan yang menyebabkan hal itu terjadi, yang pertama merupakan latar belakang pemilih. Ini menyangkut juga dengan pendidikan yang bisa diakses, kemampuan ekonomi, sampai kehidupan keluarga maupun masyarakat pemilih. Sekalipun media massa juga punya pengaruh besar, akan tetapi dalam beberapa level sosial masyarakat hal ini tidak bisa digeneralisasi bisa cukup mempengaruhi ke semua aspek.

Pada level sosial tertentu, terutama pada masyarakat kelas bawah, lingkungan lebih punya peran penting ketimbang framing media massa yang lebih punya pengaruh pada masyarakat kelas menengah. Itulah kenapa baik calon Basuki Tjahaja Purnama maupun Anies Baswedan tetap menyambangi dan mengagendakan kunjungan ke masyarakat di level terbawah.

Mendatangi calon pemilih penting untuk menyampaikan gagasan kedua calon, karena tidak semua masyarakat punya akses ke media massa atau tidak semua bahasa politik keduanya—baik dalam acara debat maupun kampanye lewat media—bisa dipahami. Pertemuan langsung memungkinkan terjadi komunikasi untuk saling bertukar gagasan dengan bahasa yang lebih membumi dan bisa dipahami antara pemilih dengan calon yang dipilih.

Dalam memahami perilaku pemilih, ada empat karakter. Kategori pertama adalah pemilih rasional. Pemilih di kategori ini mengutamakan rekam jejak dan program yang dijanjikan, sekaligus menganalisis kemungkinan program-program tersebut relevan untuk dikerjakan atau tidak. Seperti yang dikaji oleh Dista Kurniawan dalam "Pengaruh Hasil Survei tentang Elektabilitas Capres-Cawapres 2014 terhadap Perilaku Pemilih di Surabaya" di jurnal Review Politik, pemilih rasional tidak begitu peduli faktor ideologi suatu partai dari kandidat tertentu.

Sejak pemilu presiden 2014, pemilih pada pemilu maupun pilkada sudah mampu melihat kandidat sebagai persona atau pribadi. Faktor ideologi yang hadir bersamaan dengan partai politik yang ada di belakang kandidat sudah tidak lagi menjadi poin penting. Tentu, masih ada pemilih yang punya prinsip kuat akan ideologi.

Kecenderungan ini juga dibaca oleh partai politik. Terbukanya Prabowo Subianto menerima Anies sebagai calon Gubernur Jakarta dari Partai Gerindra, meski Anies adalah tim sukses Presiden Joko Widodo pada pilpres sebelumnya, menunjukkan bahwa partai sadar bahwa pemilih lebih melihat figur ketimbang partai.

Gejala yang sama juga berlaku saat PDI Perjuangan mengusung Ahok maju sebagai cagub kali ini. Dulu di Pilkada DKI Jakarta 2012, PDI berkoalisi dengan Partai Gerindra, dan Ahok merupakan pasangan dari cagub Joko Widodo. Namun sejak Pilpres 2014, konstelasi berubah. PDI Perjuangan dengan Partai Gerindra berada dalam posisi berhadap-hadapan. PDI menjadi partai utama penyokong pemerintahan, sedangkan Gerindra menjadi partai oposisi.

Ahok lalu keluar pada September 2014. Setelah langkah Ahok sempat diisi aksi pengerek daya tawar seperti wacana calon perorangan dan pengumpulan sejuta KTP, Megawati akhirnya mengumumkan bahwa PDI mengusung Ahok tanpa Ahok harus menjadi kader PDI.

Dalam aspek tertentu, aspek ideologi dalam menentukan pilihan juga sebenarnya bisa masuk pada kategori pemilih rasional. Sebab, pertimbangan rasional tidak melulu mengenai kebijakan, tetapi juga soal keamanan prinsip kehidupan yang diusung tiap-tiap pemilih.

Sekalipun prinsip-prinsip personal seperti agama maupun kesukuan dianggap tidak relevan karena cenderung kuno atau kaku, tapi bagi kelompok pemilih atas dasar ideologi, faktor ini dianggap merupakan jaminan bagi keamanan lingkungan, keluarga, dan kehidupan mereka yang—bisa jadi—menjadi alasan mereka tetap bisa bertahan hidup.

Pada kategori pemilih berikutnya adalah pemilih kritis. Pemilih kritis merupakan gabungan antara pemilih yang menjatuhkan pilihannya atas dasar kebijakan dengan pemilih atas dasar ideologi. Pemilih akan melihat figur secara personal serta melihat program maupun rekam jejaknya, tapi juga akan melihat citra partai politik di belakangnya.

Infografik Tipe Pemilih

Pemilih rasional melihat calon dari sisi persona, sedangkan pemilih kritis pertimbangan menjadi lebih kompleks dan rumit. Proses menjadi pemilih kritis ini bisa terjadi dalam dua tahapan. Pertama, pemilih melihat ideologi partai politik yang mengusung kemudian melihat kecocokan calon dengan cita-cita partai politik. Kedua, tertarik lebih dulu dengan figur calon, baru kemudian melacak potensi partai politik yang mengusung.

Pada tahap ini, pemilih akan menganalisis banyak hal sebelum menentukan pilihannya. Bagaimana PDI bisa mengupayakan program-program Ahok sebagai gubernur jika terpilih? Si pemilih, misalnya, akan menimbangnya dengan mengamati citra PDI. Sebaliknya, pemilih juga akan bertanya bagaimana Partai Gerindra bisa menyokong rencana kerja Anies Baswedan. Pertimbangan semacam ini bisa membuat pemilih kritis menentukan pilihannya di detik-detik akhir menjelang pencoblosan.

Sampai pada tahap tertentu, jika pemilih tidak menemukan apa yang bisa diharapkan dari kedua pilihan, maka ia akan memilih opsi ketiga: golput, yang pada akhirnya akan berubah menjadi karakter pemilih berikutnya, yakni: pemilih skeptis. Pemilih skeptis hampir mirip namun berbeda dengan pemilih kritis. Mereka tidak merasa terikat dengan ideologi apapun dan cenderung menganggap bahwa kebijakan yang dijanjikan—baik dari partai maupun secara personal—tidak akan membawa perubahan yang berarti.

Pada kategori berikutnya, ada pemilih tradisional. Robert Rohrscheneider dalam The Strain of Representation (2002: 150) menyampaikan bahwa pemilih tradisional adalah yang paling mudah dimobilisasi selama periode kampanye. Loyalitas begitu tinggi, apa saja yang dikatakan oleh pemimpin kelompok adalah sabda yang tidak akan pernah terlihat salah atau keliru. Dalam beberapa tahapan, jenis pemilih ini bisa menjadi sangat berbahaya karena menjadi “pasukan” yang rela untuk melakukan apapun yang dikatakan oleh pemimpinnya.

Bagaimana dengan peta pemilih di Jakarta?

Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) periode 31 Maret-5 April 2017, menunjukkan ada tiga alasan terbesar yang membuat pemilih menentukan pilihannya pada Pilkada DKI Jakarta 2017 kali ini. Di posisi puncak, ada 20 persen pemilih yang memilih berdasarkan bukti yang nyata dari hasil kerja calon yang ada. Di posisi kedua, ada faktor pertimbangan kesamaan agama (16,7 persen), dan di posisi ketiga pemilih yang menimbang pengalaman cagub di pemerintahan (16,5 persen).

Dari hasil tersebut, bisa dilihat bahwa pemilih dengan orientasi kebijakan jumlahnya hanya sedikit lebih besar di atas pemilih berbasis ideologi yang menentukan pilihannya berdasarkan faktor kesamaan agama. Pemilih berdasar kesamaan agama ini jumlahnya beda tipis dengan pemilih berorientasi rekam-jejak kandidat. Anda termasuk yang mana?

Baca juga artikel terkait PILKADA DKI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Politik
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Maulida Sri Handayani