Menuju konten utama
Ketahanan Pangan

Jerit Pelaku Usaha Mikro saat Harga Gula Melejit Naik

Ketum Asosiasi IUMKM Indonesia sebut harga gula yang melejit naik telah berdampak pada pelaku usaha, khususnya mikro.

Jerit Pelaku Usaha Mikro saat Harga Gula Melejit Naik
pelaku usaha es teh jumbo tengah melayani pesanan konsumen. tirto.id/Dwi Aditya Putra

tirto.id - Tangan mungil Rina terlihat lihai menyajikan minuman dingin. Tidak sampai satu menit, satu cup besar es teh manis jumbo selesai dibuatnya. Diletakkan di mesin pres, diambil sedotan, lalu dimasukan ke kantong plastik sebelum diserahkan ke konsumen.

Es teh manis jumbo milik Rina, sebagian besar menggunakan bahan utama gula kristal atau konsumsi. Sehari, ia bisa menghabiskan 5 sampai 8 kilogram (kg) gula, tergantung dengan banyaknya pembeli.

“Berasa juga belakangan ini karena [harga gula] naik," ucap dia kepada reporter Tirto, Kamis (2/11/2023).

Sadar akan kenaikan bahan baku produksi minumannya, wanita asal Pekalongan ini mencari cara dengan menurunkan produksinya. Dalam satu cup plastik besar, takaran es teh manis biasanya 90 mili liter, kini dikurangi menjadi setengahnya 40 mililiter.

"Mau tidak mau batu es nya kita banyakin," imbuh dia.

Sejauh ini, Rina memang belum berencana untuk menaikkan harga jual es teh jumbo di tempatnya. Untuk satu cup besar dijual seharga Rp4.000. Ia khawatir jika harga naik, maka konsumen di tempatnya berkurang.

"Alternatifnya kita mengurangi produksi takaran," ucap dia.

Lain dengan Rina, Iwan Kurniawan punya cara lain untuk mengakali kenaikan harga gula. Pemilik usaha kedai makanan dan minuman ini mengurangi gula untuk rasa manis minuman yang ada di tempatnya.

"Pakai [gula] juga, enggak banyak sekarang. Lebih ke susu kaleng sekarang," kata Iwan kepada reporter Tirto.

Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, mengamini bahwa pelaku usaha khususnya mikro saat ini telah terdampak harga gula yang belakangan tidak stabil. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional per Kamis, 2 November 2023 harga rata-rata gula pasir di DKI Jakarta sudah menyentuh di Rp17.100 per kg.

Tidak hanya di jantung Ibu Kota, harga gula di beberapa provinsi lainnya seperti Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua Barat juga sudah berada di kisaran Rp17.000 per kg. Sementara harga gula tertinggi rerata terjadi di Provinsi Gorontalo dan Maluku yakni tembus di Rp17.250 per kg.

Harga rerata tersebut tentu jauh lebih tinggi jika dibandingkan pada Harga Acuan Penjualan (HAP) di tingkat konsumen dan HAP di tingkat produsen sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 17 Tahun 2023.

Usaha es teh jumbo

Usaha es teh jumbo tengah melayani pesanan konsumen. tirto.id/Dwi Aditya Putra

Dalam aturan terbaru itu, Badan Pangan Nasional melakukan penyesuaian HAP gula konsumsi menjadi Rp12.500 per kg di tingkat produsen dan HAP di tingkat konsumen Rp14.500 per kg, serta Rp15.500 per kg khusus Indonesia Timur dan daerah Tertinggal, Terluar, Terpencil, dan Perbatasan (3TP).

"Tentu saja ini membuat UMK harus pintar-pintar memutar otak untuk bisa menekan ongkos produksi. Dan akhirnya UMK harus rela pendapatan turun dari biasanya," ujar dia kepada Tirto, Kamis (2/11/2023).

Hermawati menuturkan, masyarakat dan pelaku usaha makanan dan minuman sudah teriak dan mengeluh dengan harga kebutuhan pokok yang naik terus dan tidak pernah stabil. Ditambah pemerintah sampai hari ini, kata dia, belum bisa menjamin ketersediaan dan kestabilan harga di tingkat pasar.

"Jadi mau tidak mau masyarakat atau pelaku UMK hanya bisa pasrah,” kata dia.

Kenaikan harga gula ini, beririsan dengan kenaikan harga pangan di dunia. Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), indeks harga gula dunia mencapai 162,7 poin pada September 2023. Angkanya meningkat 9,78 persen atau 14,5 poin dibandingkan pada bulan sebelumnya (month-to-month/m-to-m) yang sebesar 148,2 poin.

Melihat trennya, indeks harga gula global cenderung meningkat sejak Mei 2020. Bahkan, nilainya mencetak rekor tertinggi dalam 13 tahun terakhir atau sejak September 2011.

Kenaikan harga gula secara global dipengaruhi oleh pasokan yang lebih ketat, karena produksinya diperkirakan menurun di sejumlah negara penghasil utama, seperti Thailand dan India. Ini tak lepas dari kondisi cuaca yang lebih kering dari biasanya akibat El Nino.

Selain itu, melonjaknya harga gula di dunia disebabkan oleh tingginya harga minyak mentah secara global. Sebab, penggunaan bioetanol yang berbasis tebu makin masif ketika harga minyak melambung.

Produksi Turun Jadi Penyebab Harga Gula Naik

Khusus di dalam negeri, kenaikan harga gula saat ini terjadi karena produksi dalam negeri tidak maksimal. Di sisi lain, jumlah kebutuhan konsumsinya besar. Kebutuhan gula nasional secara umum adalah 7,3 juta ton, sementara gula konsumsi 3,2 juta ton dan gula industri 4,1 juta ton. Sementara produksi gula nasional masih sangat rendah, yaitu 2,35 juta ton.

Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) (Persero) atau ID Food, Frans Marganda Tambunan, mengakui bahwa jumlah produksi gula yang dihasilkan RNI tidak lebih dari belasan persen kebutuhan nasional. Pada tahun ini saja, produksi gula tebu tidak lebih dari 300 ribu ton.

“Tahun ini produksi gula tebu RNI totalnya sekitar 260 ribu ton, sekitar 90 persen dari target yang direncanakan,” kata Frans kepada Tirto, Kamis (2/11/2023).

Untuk mengcover kebutuhan nasional, RNI sendiri mendapatkan penugasan impor dari pemerintah untuk membanjiri pasar. Pada tahap pertama realisasi impor dilakukan RNI baru 97.068 ton dari total izin impor diberikan sebanyak 107.900 ton.

“Dari izin 107,900 ton realisasinya 97,068 ton,” ucap dia.

Pedagang gula di pasar Kopro

Pedagang gula di pasar Kopro, Jakarta, Selasa (24/10/2023). (Tirto.id/Hanif Reyhan Ghifari)

Masalah produksi dalam negeri memang tengah menjadi tantangan. Hasil kajian Universitas Muhammadiyah Surakarta [PDF] menemukan permasalahan faktor-faktor yang memengaruhi produksi dalam negeri tidak maksimal. Salah satu faktor utamanya adalah ketidakmampuan industri gula dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan gula masyarakat yang terus meningkat. Hal ini dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan per kapita masyarakat setiap tahunnya.

Produktivitas gula di Indonesia yang semakin rendah dapat dilihat dari penurunan jumlah produksi gula yang dihasilkan petani dan pabrik gula yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya manajemen dari setiap pabrik gula nasional yang terus meningkat, mengakibatkan Indonesia menjadi negara pengimpor gula untuk memenuhi seluruh permintaan gula nasional setiap tahunnya.

Permintaan gula nasional selalu mengalami perubahan dan bahkan cenderung mengalami kenaikan sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang selalu bertambah setiap tahunnya. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat menyebabkan total kebutuhan konsumsi gula juga terus meningkat. Kenaikan konsumsi gula di Indonesia tidak diikuti dengan kenaikan tingkat produksi yang mampu menutupi jumlah permintaan gula domestik.

Permasalahan lainnya terjadi ketika luas areal tebu yang rata-rata mengalami peningkatan tidak diikuti dengan total produksi gula yang mampu memenuhi konsumsi gula dalam negeri. Rendemen dan luas areal tebu juga memengaruhi jumlah produksi gula setiap tahunnya. Luas areal tebu dilihat dalam beberapa tahun terakhir lebih cenderung mengalami peningkatan, sedangkan rendemen (kadar gula dalam batang tebu) lebih cenderung naik turun.

Pada 2022 misalnya, produksi Gula Kristal Putih (GKP) hanya sebesar 2,45 juta ton yang diperoleh dari luas areal 488.982 hektare (Ha). Produksi ini meningkat sekitar 2,34 persen dibandingkan dengan produksi GKP tahun 2021, begitu juga jumlah tebu digiling meningkat 12,67 persen Peningkatan ini disebabkan oleh adanya peningkatan luas areal dan produktivitas tebu. Namun untuk rendemen 2022 lebih rendah dibandingkan 2021.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda melihat hal lain yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga gula. Dia menduga, kenaikan harga gula terjadi saat ini beririsan dengan mainan mafia. Selisih harga gula internasional dengan dalam negeri saat ini dinilai terlalu jauh. Bahkan perbedaan harganya mencapai 100 persen.

Bagi pelaku gula dalam negeri, memang opsinya lebih baik impor dibandingkan produksi dalam negeri. Sebab impor jelas harga jual ecerannya Rp14.500 per kg, sementara harga internasionalnya bisa Rp7.000-an per kg.

“Maka yang harus dilakukan membersihkan mafia-mafia impor gula ini. Sudah terlalu lama mereka menikmati manisnya bisnis impor gula,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (2/11/2023).

KEDATANGAN GULA IMPOR TAHAP PERTAMA

Pekerja melakukan bongkar muat gula kristal putih impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Sabtu (1/4/2023).ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/tom.

Baca juga artikel terkait GULA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz