Menuju konten utama

Jelang Ramadan Harga Pangan Naik, Pemerintah Tak Kunjung Belajar

Menurut Eliza Mardian, masalah ini semestinya bisa diantisipasi jauh-jauh hari oleh pemerintah yang dimulai dari manajemen stok hingga pendistribusian. 

Jelang Ramadan Harga Pangan Naik, Pemerintah Tak Kunjung Belajar
Seorang pedagang menata telur ayam di Pasar Klender, Jakarta, Senin (26/2/2024). r. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/tom.

tirto.id - Kenaikan harga pangan saat Ramadan menjadi alarm bagi masyarakat Indonesia. Pola ini hampir selalu terjadi setiap tahun dan terus berulang ketika menjelang maupun saat Ramadan dan Idulfitri.

Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan sudah mewanti-wanti masyarakat atas terjadinya kenaikan harga secara umum pada Ramadan tahun ini. Kondisi kenaikan harga pangan tecermin dari tekanan inflasi cenderung meningkat pada periode tersebut.

"Waspada terjadinya kenaikan harga secara umum pada momen bulan Ramadan,” kata Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M Habibullah, dalam konferensi pers rilis inflasi, di Kantornya, Jumat (1/3/2024).

Perkembangan inflasi menjelang Ramadan selalu terjadi pada beberapa komoditas pangan, di antaranya daging ayam ras, minyak goreng, beras, ayam hidup, daging sapi, telur ayam ras, hingga gula pasir.

Jika merujuk panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) per awal Maret 2024, rerata harga komoditas yang disebutkan di atas harganya sudah melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang diatur oleh Bapanas.

Daging ayam ras, misalnya, rerata harga nasional sudah mencapai Rp37.110 per kilogram (kg). Harga tertinggi terjadi di Papua Barat Daya mencapai Rp52.350 per kg, dan terendah di Sulawesi Selatan Rp28.250 per kg.

Bergeser ke minyak curah, saat ini harga rerata nasionalnya mencapai Rp15.490 per liter. Harga tertinggi terjadi di Papua Barat Daya sebesar Rp21.210 per liter dan terendah di Jambi Rp14.240 per liter.

Kemudian untuk beras premium dan medium rerata nasional harganya sudah berada di Rp16.450 per kg dan Rp14.320 per kg. Harga beras premium dan medium tertinggi masing-masing terjadi di Papua Pegunungan dengan harga Rp25.500 per kg dan Rp22.360 per kg.

Sedangkan untuk harga terendah beras premium dan medium terjadi di Aceh Rp14.600 per kg dan Kalimantan Selatan Rp12.580 per kg.

Selanjutnya untuk harga daging sapi murni, saat ini harga rerata nasionalnya sudah tembus Rp134.290 per kg. Harga tertinggi Rp170.000 per kg di Papua Pegunungan dan terendah Rp112.260 per kg di Nusa Tenggara Timur.

Lalu untuk telur ayam ras, rerata harga nasionalnya juga sudah berada di Rp30.590 per kg. Harga tertinggi mencapai Rp60.000 per kg di Papua Pegunungan dan terendah Rp26.810 per Kg di Aceh.

Rencana impor daging tahun 2024

Pedagang menunggu pembeli daging sapi di Pasar Senen, Jakarta, Kamis (22/2/2024). Badan Pangan Nasional menetapkan rencana impor daging sapi tahun ini sebesar 145.251 ton yaitu di bawah jumlah pengajuan rencana kebutuhan oleh para pelaku usaha sebanyak 462.011 ton. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nym.

Perlunya Stabilisasi Harga & Jaga Daya Beli

Kenaikan harga pangan yang menjadi persoalan berulang mendapatkan atensi khusus dari DPR. Anggota Komisi XI DPR, Anis Byarwati, mendesak agar pemerintah berupaya lebih keras melakukan stabilisasi harga pangan dan mengerek daya beli masyarakat.

Sebab, menurut dia, kenaikan harga-harga bahan pokok terjadi menjelang dan selama Ramadan telah menambah beban masyarakat di tengah keterbatasan pendapatan.

“Pemerintah harus segera menstabilkan harga pangan,” ujarnya dalam keterangan resminya, Jumat (1/3/2024).

Apa yang terjadi di lapangan saat ini, kata Anis, tak mencerminkan data-data makro perekonomian yang kerap disebut cukup baik. Karena faktanya, angka pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen tak diikuti dengan tingkat inflasi pangan yang terkendali.

Jika merujuk data BPS, perkembangan inflasi harga pangan bergejolak atau volatile food mencapai 8,47 persen (year on year/yoy) pada Februari 2024. Inflasi yang melesat ini dipicu oleh kenaikan harga bahan makanan, terutama beras dan cabai merah. Inflasi volatile food ini bahkan yang tertinggi sejak Oktober 2022.

Anggota fraksi PKS itu juga menyoroti masalah kurangnya keterbukaan lapangan kerja saat ini secara tak langsung memengaruhi kemampuan daya beli masyarakat. Namun daya beli yang tak mengalami peningkatan itu, justru dibayangi oleh kenaikan harga pangan yang terbilang tinggi.

“Kondisi ini sangat dirasakan oleh masyarakat. Artinya, masyarakat merasakan ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Harga beras dan lain-lain naik signifikan, sehingga menaikkan pengeluaran rakyat kecil di tengah lapangan kerja yang terbatas,” kata Anis.

Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, memahami bahwa kenaikan harga menjelang dan saat Ramadan ini menjadi siklus tahunan yang berulang setiap tahun. Masalah ini semestinya bisa diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya oleh pemerintah.

"Bisa dimulai dari manajemen stok hingga pendistribusiannya," kata Eliza kepada Tirto, Jumat (1/3/2024).

Dia menuturkan, untuk kenaikan tahun ini selain karena siklus tahunan, juga karena tingginya permintaan akibat pemilu (pilpres dan pileg) yang digelar serentak. Karena selama kampanye dan silaturahmi sering kali ada aktivitas pembagian sembako, sehingga mengerek permintaan lainnya.

Maka, kata Eliza, hal yang mesti dilakukan pemerintah dalam jangka pendek, pertama adalah memastikan kelancaran distribusi. Sebab distribusi akan menentukan harga di konsumen.

Kedua, pengawasan yang ketat agar tidak ada oknum yang memanfaatkan kondisi untuk melakukan aksi spekulasi. Lalu ketiga, perlu upaya penegakan hukum yang tegas jika terjadi aksi spekulasi agar memberikan efek jera.

Harga cabai naik di Palangka Raya

Pedagang menimbang cabai rawit di Pasar Besar Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (26/2/2024). ANTARA FOTO/Auliya Rahman/tom.

Pemerintah Tak Bisa Atasi Kenaikan Harga

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, menyayangkan pemerintah tidak bisa mengatasi kenaikan harga pangan. Padahal kenaikan ini bukan yang pertama dan selalu terjadi serta sudah bisa diprediksi sebelumnya

"Maka antisipasinya harusnya sudah bisa dilakukan jauh jauh hari. Sayangnya kita juga sering kali menyaksikan kenaikan harga tidak bisa diantisipasi dengan baik," kata Said kepada Tirto, Jumat (1/3/2024).

Said mengatakan, untuk tahun ini memang situasinya menjadi lebih berat. Hal ini karena terjadi perubahan iklim dan dampaknya dirasakan sampai saat ini.

Dalam kasus beras misalnya, Perum Bulog, kata Said, harus bisa meredakan kenaikan harga dengan melakukan operasi pasar yang cukup. Terutama pada wilayah-wilayah yang mengalami kenaikan harga dan kelangkaan beras

"Sisa quota impor yang ada bisa dioptimalkan untuk segera dimasukan dan disebarkan dalam operasi pasar," ujarnya.

Namun demikian, kata Said, impor ini jangan sampai terlambat datang melewati fase puncak permintaan, karena bisa memukul balik produksi dan harga gabah di tingkat masyarakat.

Untuk meredam kenaikan harga pangan saat Ramadan, Bapanas sebenarnya sudah memberikan opsi gerakan pangan murah (GPM). Gerakan ini diklaim mempunyai andil dalam menghadapi tantangan gejolak harga sejumlah pangan atau bahan pokok menjelang Ramadan dan Idulfitri.

Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas, Nyoto Suwignyo, mengatakan GPM bertujuan memberikan solusi terhadap lonjakan harga bahan pokok yang sering terjadi menjelang Ramadan serta menyediakan pasokan pangan bagi masyarakat.

“Jelang bulan Ramadan tahun ini, Badan Pangan Nasional bersama para mitra kembali menggencarkan pelaksanaan Gerakan Pangan Murah (GPM) di berbagai daerah di seluruh Indonesia,” kata Nyoto.

Baca juga artikel terkait KENAIKAN HARGA PANGAN JELANG RAMADAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi