Menuju konten utama

Soeharto Jadi Pahlawan? Reformasi Bahkan Belum Jauh dari Ingatan

Wacana pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto dikaitkan pula dengan kemungkinan besar Prabowo melenggang sebagai presiden berikutnya.

Soeharto Jadi Pahlawan? Reformasi Bahkan Belum Jauh dari Ingatan
Ilustrasi Soeharto Didemo di Jerman. tirto.id/Fuad

tirto.id - Media sosial diramaikan dengan diskursus wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Bola liar isu ini bergulir setelah calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, diberikan gelar Jenderal TNI Kehormatan oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu, (28/2/2024).

Wacana pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto dikaitkan pula dengan kemungkinan besar Prabowo melenggang sebagai presiden berikutnya.

Hasil hitung suara KPU sementara ini menempatkan pasangan Prabowo-Gibran di urutan puncak dengan perolehan lebih dari 50 persen suara. Tidak sedikit warganet yang berasumsi jika Prabowo menjadi RI 1, gelar pahlawan untuk Soeharto bakal maujud.

Merespons wacana ini, Partai Golkar, yang identik dengan Soeharto, menyambut baik. Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng, menegaskan bahwa Soeharto memiliki kiprah dan peran membangun Indonesia selama 32 tahun.

“Belum secara spesifik [dibahas Partai Golkar], tapi menurut hemat saya tokoh-tokoh Golkar yang merasakan kiprah Pak Soeharto zaman dulu, apalagi senior-senior, mereka sepakat,” kata dia saat dihubungi Tirto, Kamis (29/2/2024).

Politikus asal NTT itu secara pribadi mendukung wacana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Mekeng mengatakan, peran Soeharto menjadikan Indonesia diakui di belahan dunia Internasional.

“Jadi, beliau juga ikut perang, sebelum kemerdekaan. Setelah itu, beliau memimpin negara ini selama 32 tahun, dari keterpurukan, ekonomi susah, dia pemimpin sampai negara ini diakui dunia,” tutur Mekeng.

Soeharto merupakan eks Ketua Dewan Pembina Partai Golkar. Selama 32 tahun menjadi presiden, nama Golkar juga ikut terkerek seiring kuatnya kekuasaan Soeharto saat itu.

Tidak hanya Mekeng, Ketua DPP Partai Golkar, Meutya Hafid, juga mengakui partainya mendukung pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Alasannya, karena partai berlogo pohon beringin itu lahir dari Soeharto.

“Partai Golkar pasti dukung. Kita kan lahir dari Pak Harto, betul Golkar partai yang telah beradaptasi sekian zaman,” kata Meutya kepada Tirto.

Ketua Komisi I DPR RI itu mengatakan, partainya tak akan lupa jasa Soeharto, apalagi dia juga dijuluki Bapak Pembangunan.

“Selain itu pembangunan di era beliau banyak yang juga dirasakan sampai saat ini,” ujarnya.

Wacana pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto sebetulnya bukan kali ini saja menyeruak. Wacana ini berkali-kali kempis karena protes dari masyarakat sipil dan sejumlah parpol yang menilai bahwa Soeharto tidak pantas diberikan gelar kehormatan itu.

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di era Orba yang masif terjadi dan belum menemui keadilan bagi korban, jadi rantai hitam yang membetot sosok Soeharto terus berada di sisi gelap sejarah.

Prabowo Subianto pernah berencana mengupayakan gelar pahlawan bagi Soeharto. Hal ini sempat disampaikannya saat menjadi kontestan Pilpres 2014. Dia menegaskan wacana ini tidak ada sangkut paut terhadap hubungannya dengan Siti Hediati alias Titiek Soeharto, putri Soeharto.

Mundur lebih jauh, wacana pemberian gelar pahlawan pada Soeharto bahkan sudah muncul beberapa hari setelah Sang Jenderal meninggal.

Ahad, 28 Januari 2008, Soeharto mangkat ke haribaan Tuhan setelah berjibaku dalam sakit selama 24 hari. Sebanyak 40 dokter khusus yang bekerja selama 24 jam merawat Soeharto, turut merampungkan tugas.

Selang beberapa hari setelah Soeharto wafat, usul gelar pahlawan langsung berembus dari Senayan. Ketua Fraksi Partai Golkar saat itu, Priyo Budi Santoso yang punya usul. Tidak tanggung-tanggung, Priyo meminta masyarakat Indonesia memaafkan Soeharto. Usulan itu layu karena banyak penolakan dari fraksi lain di DPR dan masyarakat.

Usulan untuk menyematkan gelar pahlawan pada Soeharto kembali muncul pada 2010. Gelar itu sempat dipertimbangkan Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan yang baru saja diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, penyematan pahlawan tidak jadi dilakukan.

Selanjutnya pada 2016, usulan menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto kembali diupayakan Golkar. Bahkan, pengajuan ini menjadi salah satu keputusan Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar. Sempat masuk pertimbangan di Kementerian Sosial, usulan ini kembali menemui kebuntuan.

Atas wacana yang berkembang saat ini, Gerindra belum buka suara soal kemungkinan Prabowo memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto ketika menjabat sebagai presiden 2024-2029.

Reporter Tirto sudah mencoba menghubungi kader Gerindra lewat Rahayu Saraswati yang juga keponakan Prabowo, namun hingga berita ini ditulis, pesan yang dilayangkan belum direspons.

25 tahun Reformasi

FOTO ARSIP: Mahasiswa meluber hingga ke kubah Grahasabha Paripurna ketika menggelar unjuk rasa yang menuntut reformasi menyeluruh, Selasa (19/5/1998). FOTO ARSIP ANTARA FOTO/Saptono/RF02/ss/hp/asf.

Orde Baru Jilid 2?

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menilai wacana menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional sama saja membangkitkan hantu Orde Baru. Hal ini dinilainya sebagai bentuk pelecehan reformasi yang dengan susah payah membunuh rezim Orde Baru yang otoriter.

“Salah satu yang menjadi agenda reformasi adalah mengadili Soeharto dan kroninya. Itu adalah salah satu sejarah atau proses historis yang memang sudah kita lakukan, dan kita akui sebagai satu sejarah politik, juga sejarah sosial bangsa Indonesia,” ujar Dimas kepada reporter Tirto, Kamis.

Komentar yang datang dari sejumlah kader Partai Golkar disebut Dimas sebagai upaya delegitimasi perjuangan reformasi. Ini sebuah langkah mundur sebab Soeharto merupakan sosok kontroversial yang memiliki rekam jejak kelam.

Almarhum Gus Dur, kata dia, pernah menyampaikan bahwa Soeharto adalah orang yang punya jasa besar, tapi saat bersamaan, dosanya juga besar.

Beberapa peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran HAM, praktik korupsi-kolusi dan nepotisme, serta kejahatan lingkungan terjadi selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto.

Dimas menilai, hal ini tidak lepas dari kebijakan bermasalah Presiden Jokowi. Menurutnya, pemberian gelar Jenderal Kehormatan untuk Prabowo saja sudah menjadi masalah.

Baik Prabowo dan Soeharto, sama-sama punya rekam jejak buruk saat Orde Baru. Padahal, Jokowi sudah sempat mengakui dan menyesali kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kejadian di era Orde Baru.

“Ini merupakan penyangkalan luar biasa dan wajah inkonsistensi Jokowi terhadap kebijakannya sendiri tahun 2023 saat membuat Tim PP HAM Berat Masa Lalu Non-yudisial,” ujar Dimas.

Kekuasaan Soeharto selama 32 tahun memang diiringi gelap-terang. Julukan Bapak Pembangunan yang disematkan kepadanya karena berhasil menarik ekonomi negeri dari keterpurukan. Di sisi lain, hal tersebut diiringi dengan rentetan peristiwa pelanggaran HAM yang menopang kekuasaannya.

Anomali sosok Soeharto disederhanakan dengan baik oleh satu penggal ucapan dari R. William Liddle pada tahun 2008, ketika diwawancarai oleh Koran Tempo. Peneliti senior politik Indonesia dari Universitas Ohio itu menyatakan bahwa Soeharto punya dua wajah.

"Dia seorang diktator tapi juga seorang Bapak Pembangunan. Ibarat dua sisi mata uang."

PERINGATAN 20 TAHUN REFORMASI

Mahasiswa membawa foto korban tragedi 12 Mei 1998 dalam Peringatan 20 Tahun Reformasi di Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta, Sabtu (12/5/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Peluang Wacana Ini

Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menilai wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan menimbulkan polemik.

Menurutnya, jika usul ini betul-betul dilakoni Prabowo saat menjabat sebagai presiden kelak, protes dan sematan adanya unsur politis akan mewarnai gelar pahlawan untuk Soeharto.

“Tentu akan menjadi polemik baru. Ada kesan politis soal anugerah itu, sama politisnya sebagaimana gelar kehormatan Prabowo yang baru ia terima dari Jokowi,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Kamis.

Meski demikian, dia menilai wacana ini tidak akan banyak memengaruhi kubu Prabowo dalam posisinya sebagai peserta pemilu saat ini. Karena di sisi lain, tidak sedikit masyarakat umum yang menganggap Soeharto masih berjasa sebagai seorang pembangun negeri.

“Tentu koalisi Prabowo setuju, utamanya Golkar, karena Soeharto adalah Golkar. Mencari persetujuan akan sangat mudah, terlebih jika Prabowo berkuasa dan berhasil dominankan mitra koalisi,” ungkap Dedi.

Menurut Dedi, secara politik bila wacana ini benar-benar dilakukan juga minim resiko. Pasalnya, generasi muda hari ini menurutnya besar kemungkinan tidak tahu menahu soal urgensi atau tidaknya gelar pahlawan dalam konstelasi politik.

“Parpol pendukung pun besar kemungkinan mudah saja menyetujui,” ujarnya.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai ide memberikan gelar pahlawan pada Soeharto sangat berbahaya. Dia menilai bisa saja desas-desus isu itu saat ini sebagai bagian rencana mengetes opini publik.

“Bisa jadi cara test the water dan kemudian akan ada survei opini publik dalam waktu dekat soal penganugerahan pahlawan bagi Soeharto. Dan sangat mungkin hasilnya banyak yg setuju karena memang sejarahnya sudah dipelintir,” ujar Kunto kepada reporter Tirto, Kamis.

Kunto menilai generasi muda saat ini juga tidak begitu terang memahami sejarah kelam Orde Baru. Lebih lanjut, struktur pendidikan sejarah negeri ini juga masih bermasalah.

“Bahkan sejarawan kalah sama influencer di medsos yang bisa memelintir sejarah. Ini bentuk balas dendam juga misal, jadi kepada PDIP yang identik dengan Sukarno, dan ketika PDIP berkuasa menjadikannya sebagai pahlawan,” ujar dia.

Menurut Kunto, sangat mungkin koalisi Prabowo-Gibran mengikuti sikap Golkar yang menyetujui wacana ini. Sebab karena politik negeri ini hanya sebatas soal-soal transaksional bagi kepentingan parpol.

“Kita akan dikutuk dengan sejarah yang sama karena kita tidak belajar dari sejarah,” ucapnya

Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Afriansyah Noor, menepis kabar bahwa Prabowo dan kubunya akan memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto. Menurut dia, belum ada usulan tersebut di dalam pihak internalnya.

“Menurut saya jangan berandai-andai lah ya. Kan memberikan gelar pahlawan gelar kehormatan kan penuh dengan pertimbangan. Dan ada timnya, ada tim untuk menyelidikinya apakah sudah layak apa belum,” kata Afriansyah kepada reporter Tirto, Kamis.

Menurut dia pemberian gelar pahlawan pada tokoh nasional tidak mudah dan penuh pertimbangan. Dia menilai pasti akan dibutuhkan tim yang akan mempertimbangkan gelar pahlawan sekalipun nama Soeharto dipertimbangkan.

“Ini kan perlu pertimbangan. Jadi nggak gampang dan nggak berandai-andai,” pungkasnya dia.

Baca juga artikel terkait NEWS atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi