Menuju konten utama
Pemberantasan Korupsi

Jejak Firli Bahuri dari Kasus Etik hingga Tersangka Pemerasan

Kasus dugaan gratifikasi dan pemerasan terhadap SYL mengakhiri “rekor licin” Firli Bahuri dalam sejumlah kasus. Ia akhirnya menjadi tersangka.

Jejak Firli Bahuri dari Kasus Etik hingga Tersangka Pemerasan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri memasuki mobilnya usai memenuhi panggilan Dewan Pengawas (Dewas) KPK di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK (ACLC), Jakarta, Senin (20/11/2023). Firli Bahuri memenuhi panggilan Dewas KPK untuk mengklarifikasi terkait pertemuannya dengan tersangka dugaan korupsi Syahrul Yasin Limpo (SYL) saat menjabat menteri pertanian. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.

tirto.id - Sepandai-pandainya tupai melompat, toh akhirnya jatuh juga. Begitu kira-kira peribahasa yang tepat untuk Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri. Pria kelahiran 8 November 1963 memiliki segudang kontroversi dan kerap berurusan dengan masalah etik hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan.

Firli resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada Rabu (22/11/2023) malam. Ia diduga menerima gratifikasi eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo atau SYL. Dalam kasus ini, penyidik juga sudah menyita barang bukti, salah satunya dokumen konversi uang dengan nilai total sekitar Rp7,4 miliar.

“[Disita] dokumen penukaran valas dalam pecahan dolar Singapura dan dolar AS dari beberapa outlet money changer dengan nilai total Rp7.468.711.500,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Ade Safri Simanjuntak, Rabu (22/11/2023).

Firli pun dijerat pasal berlapis dalam perkara tersebut, yakni Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001. Lalu, Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 atau Pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 65 KUHP.

Kasus gratifikasi SYL mengakhiri “rekor licin” Firli dalam sejumlah kasus, khususnya perkara etik. Dalam catatan Tirto, Firli selalu lolos dalam jeratan kasus yang dinilai ia layak dihukum berat. Bahkan, sebelum menjadi pimpinan KPK, Firli sudah tersandung dugaan pelanggaran etik di KPK.

Firli, yang kala itu menjabat Deputi Penindakan KPK sempat bertemu dengan M. Zainul Majdi yang saat itu menjabat Gubernur NTB. Padahal waktu itu, KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi divestasi PT Newmount Nusa Tenggara kepada PT Amman Mineral International. Saat hendak disidang, Firli justru ditarik kembali ke Mabes Polri.

Dugaan kasus etik tersebut, tidak menjadi halangan bagi Firli untuk kembali ke KPK. Pada 2019, ia justru dipilih oleh Komisi III DPR RI sebagai ketua KPK periode 2019-2023. Saat menjabat sebagai pimpinan komisi antirasuah ini, Firli tercatat beberapa kali berurusan dengan masalah etik.

Salah satunya, Firli pernah dilaporkan koalisi masyarakat sipil ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK karena tidak patuh protokol kesehatan dan hidup mewah dengan menggunakan helikopter untuk kepentingan pribadi. Dalam kasus ini, Firli hanya dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis pada 2020.

Akan tetapi, sanksi teguran tersebut tidak membuat Firli kapok. Pada 2022, tindakan Firli kembali menimbulkan kontroversi saat ia bertemu Lukas Enembe yang kala itu masih menjabat Gubernur Papua di kediamannya. Saat itu, KPK tengah melakukan penanganan perkara yang berkaitan dengan Enembe. Namun, Dewas KPK menilai tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan Firli.

Kasus lain adalah dugaan pelanggaran etik dalam pemberhentian Direktur Penyelidikan KPK, Brigjen Endar Priantoro. Di saat yang sama, Firli juga dilaporkan lantaran beredarnya dokumen penyidikan perkara korupsi di Kementerian ESDM. Lagi-lagi, Firli lolos dalam sidang etik karena dianggap kurang bukti.

Kasus teranyar, Firli kembali dilaporkan ke Dewas KPK terkait pertemuan dia dengan SYL. Kasus dugaan pelanggaran etik ini masih diproses Dewas KPK hingga saat ini. Namun di sisi lain, kasus ini –dugaan pemerasan terhadap SYL-- juga diusut Polda Metro Jaya hingga akhirnya Firli ditetapkan sebagai tersangka.

Publik Sambut Baik Penetapan Tersangka Firli Bahuri

Penetapan tersangka Firli oleh Polda Metro Jaya disambut baik oleh para pegiat antikorupsi. Mantan ketua wadah pegawai KPK yang juga aktivis antikorupsi, Yudi Purnomo Harahap, bersyukur Firli jadi tersangka. Ia menilai, Polri profesional dalam bertugas.

“Alhamdulillah, akhirnya, masa depan pemberantasan korupsi setidaknya akan ada harapan cerah, terima kasih Polda Metro Jaya atas kerja keras dan profesional membersihkan KPK dari unsur korupsi,” kata Yudi dalam keterangan tertulis, Kamis (23/11/2023).

Yudi juga menegaskan bahwa Firli tidak lagi sebagai pimpinan KPK setelah penetapan tersangka tersebut. Yudi mendorong agar Firli mundur dari komisi antirasuah.

“Otomatis Firli akan nonaktif dari posisinya. Oleh karena itu sebaiknya Firli mundur daripada jadi beban KPK,” kata Yudi.

Hal senada diungkapkan Boyamin Saiman dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI). Ia menilai, Polda Metro Jaya telah memberikan kepastikan hukum sebagaimana permintaan Firli.

“Atas penetapan [tersangka] itu, ya menyambut gembira sekali karena ini supaya ada kepastian hukum seperti atas permintaan Pak Firli sendiri, kan, meminta segera ada kepastian hukum bahkan dengan adigium atau istilah Justice delayed Justice denied. Jadi maksudnya keadilan yang tertunda sama dengan bukan keadilan,” kata Boyamin, Kamis (23/11/2023).

Boyamin menambahkan, “Jadi harus cepat, kalau tertunda berarti bukan keadilan itu kan. Memang enggak enak kalau tertunda-tunda terus digantung.”

Boyamin juga meminta agar Polda Metro Jaya segera melakukan upaya hukum. Ia tidak ingin ada manuver lain yang dipakai Firli demi mencari selamat atau upaya politisasi seperti dugaannya di masa lalu tentang upaya pencarian Harun Masiku. Ia dulu menduga, Firli menggunakan kasus Harun Masiku sebagai alat untuk selamat.

Boyamin berharap agar penyidik segera melengkapi berkas, menyerahkan kepada kejaksaan dan segera diadili. Ia pun menilai Firli bisa menggunakan kewenangan praperadilan atau mengikuti sidang secara langsung untuk membuktikan ketidakbersalahan dalam kasus dugaan gratifikasi ini.

Di sisi lain, Boyamin menekankan bahwa Firli tidak bisa berkantor di KPK setelah penetapan tersangka ini. Ia menekankan hal itu sudah diatur dalam undang-undang. Ia juga menyarankan Firli fokus pada proses hukum yang menjeratnya.

“Berdasarkan Undang-Undang KPK, Pak Firli harus nonaaktif, jadi mulai besok sudah nonaktif tidak, bisa masuk lagi ke kantor KPK, tidak lagi menjadi pimpinan KPK dan itu lebih baik bagi Pak Firli karena akan konsentrasi menghadapi kasus hukumnya,” kata Boyamin.

Menurut Boyamin, Firli sebaiknya fokus pada kasus juga demi kebaikan KPK. Ia beralasan, kerja KPK selama ini penuh tantangan karena terbebani dalam pemberantasan korupsi.

“Jadi kayak tersandera karena ada proses di penyidik Polda. Nah, kalau sudah nonaktifkan, kan, otomatis menghilangkan beban bagi KPK itu sendiri,” kata dia.

Boyamin berharap, pimpinan KPK yang tersisa, bahkan mungkin ditambah dengan penanggung jawab pengganti Firli, bisa fokus dalam pengungkapan kasus besar. Ia menilai, KPK di era Firli belum mampu mengungkap kasus korupsi besar.

Presiden Joko Widodo pun menanggapi soal penetapan tersangka Firli Bahuri ini. Jokowi meminta publik untuk menghormati proses hukum.

“Hormati semua proses hukum, hormati semua proses hukum,” kata Jokowi di Papua, Kamis (23/11/2023).

Hingga naskah ini dirilis, pihak Istana belum menerima surat penetapan tersangka Firli. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, memastikan pemerintah akan segera menindaklanjuti dengan aturan yang berlaku.

“Sampai pagi ini Kemensesneg masih menunggu surat pemberitahuan penetapan tersangka dari Polri. Jika surat itu sudah diterima, maka akan diproses selanjutnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Ari di Gedung Utama Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Kamis (23/11/2023).

Ia memastikan Jokowi akan mengeluarkan keputusan presiden yang mengacu pada Pasal 32 ayat 2 UU 20 tahun 2002 jo UU 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia memastikan proses pembuatan Keppres menunggu surat pengumuman penetapan tersangka dari Polri.

“Surat pemberitahuan penetapan tersangka dari Polri diberitahukan pada presiden, kemudian dari situ aturan dalam UU 19/2019 dijalankan penetapan sebagai pemberhentian sementara, juga dikeluarkan dalam bentuk Keppres,” kata Ari.

Di sisi lain, kuasa hukum Firli tidak tinggal diam. Firli dipastikan akan melakukan perlawanan terhadap penetapan tersangka tersebut.

“Intinya kami akan melakukan perlawanan,” kata kuasa hukum Firli, Ian Iskandar saat dihubungi wartawan melalui sambungan telepon, Kamis (23/11/2023).

Ian mengaku, tim Firli masih membutuhkan waktu untuk mempelajari alasan penetapan tersangka Firli. Di sisi lain, kliennya juga belum mendapatkan panggilan pemeriksaan dalam kapasitas sebagai tersangka hingga kini.

“Belum, belum ada (surat panggilan),” tutur Ian.

Baca juga artikel terkait KASUS FIRLI BAHURI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz