tirto.id - Komnas HAM, United Liberation Movement for West Papua, dan Majelis Rakyat Papua, menandatangani kesepakatan Jeda Kemanusiaan Bersama di Jenewa, Swiss pada 11 November 2022. Dalam kesepakatan ini TNI, Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai pihak-pihak yang berseteru tidak dilibatkan.
TNI-Polri-TPNPB angkat senjata, mereka juga menyebabkan ketakutan warga Papua karena sebagai korban konflik, tapi para jagoan-jagoan ini tidak ikut serta dalam penandatanganan. Tiga poin penting dalam nota kesepahaman ini yakni menghentikan konflik Papua, membantu pengungsi, dan menangani tahanan.
Jeda Kemanusiaan Bersama ini adalah bersyarat dan merupakan bentuk nyata komitmen para pihak guna melanjutkan penjajakan menuju perundingan damai. Nota kesepahaman juga mengatur tentang prinsip, prosedur, dan mekanisme pelaksanaan jeda kemanusiaan.
Pada 15 November atau empat hari setelah penandatangan, Komando Nasional Pengontrol Manajemen Mabes TPNPB-OPM di bawah pimpinan Mayjen Terryanus Satto, merespons hal tersebut. TPNPB mengklaim “Jeda kemanusiaan yang telah ditandatangani oleh ULMWP, MRP dan Komnas HAM RI di Jenewa adalah sia-sia dan seperti Perjanjian New York 15 Agustus 1961.”
Alasan sia-sia karena mereka tidak melibatkan aktor utama dalam konflik bersenjata di Papua, yaitu Komando Nasional Kelompok Tempur TPNPB-OPM. Pimpinan TPNPB menyampaikan kepada seluruh pejuang Papua Merdeka agar tidak terpengaruh, tapi tetap fokus pada agenda prioritas yaitu mogok sipil nasional dan Perang Revolusi Total untuk Pembebasan Nasional Papua Barat.
Terkini, Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom menegaskan, bila ada kesepakatan jeda kemanusiaan berikutnya dan itu berada dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, kelompoknya ogah duduk satu meja.
“Tidak mungkin kami akan berunding dengan kabinet Jokowi. (Kami mau berunding) di bawah mediasi Perserikatan Bangsa-Bangsa,” kata dia kepada Tirto, Kamis, 5 Januari 2023.
Ketika ditanya apakah ia mau berunding bila pemerintahan tidak di bawah tangan Joko Widodo, Sebby tak menjawab.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) turut merespons jeda kemanusiaan Papua. Kontras berpendapat keberadaan perjanjian di Jenewa itu tidak cukup untuk membawa situasi Papua menjadi lebih baik lantaran kesepakatan tersebut tidak ditandatangani oleh pihak yang berkonflik yakni TNI, Polri dan TPNPB.
Merujuk pada prinsip hukum humaniter internasional serta ketentuan-ketentuan hak asasi manusia, pihak yang berkonflik seharusnya menjamin perlindungan kepada warga sipil dan memastikan bahwa konflik bersenjata tidak berdampak negatif dan merugikan secara berlebihan.
Pada konflik bersenjata di Papua, Kontras menilai bahwa pihak yang berkonflik sama sekali tidak mematuhi ‘Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Warga Sipil di Masa Perang’ yang mewajibkan pihak dalam konflik bersenjata menjamin keselamatan warga sipil, serta prinsip kemanusiaan humaniter yang mengharuskan para pihak mencegah penderitaan.
“Jika pemerintah Indonesia konsisten dalam menerapkan prinsip tersebut, maka kerugian yang ditimbulkan oleh konflik bersenjata di Papua seharusnya dapat diminimalisasi dan mekanisme seperti jeda kemanusiaan sesungguhnya tak perlu dilakukan,” kata Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti.
Wajib Paham Karakteristik
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth berkata, jeda kemanusiaan intinya adalah penghentian konflik sementara yang bertujuan mengatasi dampak konflik secara kemanusiaan.
“Masing-masing pihak paham ini? Kalau paham, baru bisa dibikin kesepakatan,” ucap dia saat dihubungi reporter Tirto, Senin, 9 Januari 2023.
Jika TNI dan Polri membingkai bahwa TPNPB hanya mau baku muntah pelor, pun TPNPB berpikir mereka harus menumpas aparat keamanan Indonesia, maka kesepakatan damai adalah angan-angan belaka. Sebagai jalan tengah, maka harus ada pihak lain yang dipercaya oleh para pengangkat bedil itu. Si “mediator” wajib mendapatkan kepercayaan dari para aktor konflik.
Karakteristik konflik Papua dan konflik Aceh berbeda, kata Adriana. Tsunami jadi alasan pertikaian aparat keamanan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka setop. Bukan berarti harus ada bencana alam yang meluluhlantakkan Bumi Cenderawasih agar masalah-masalah di sana kelar. Lantas, banyak pihak menganggap membuat jeda kemanusiaan di Papua itu mudah, seperti yang diterapkan di Bumi Seuramoe Mekkah.
“Itu juga keliru. Sekali lagi, jeda kemanusiaan harus sesuai konteks konflik itu sendiri. Di Papua, kelompok (pro kemerdekaan) banyak dan bergerak di area tertentu. Harus dipahami dahulu. Jika (rencana perundingan) ditanyakan kepada pihak yang berkonflik, pasti jawabannya ‘tidak’,” terang Adriana.
Faktor kesulitan lain dalam membentuk jeda kemanusiaan adalah referendum. Jika unsur-unsur referendum itu ada, maka bisa saja pemerintah Indonesia enggan bersepakat. Sisi lain, pernyataan resmi dan kemauan pemerintah Indonesia untuk “mengajukan” jeda kemanusiaan, hingga kini nihil. Iktikad baik pemerintah adalah salah satu kunci penyelesaian konflik Papua.
Pemerintah memang punya otoritas membuat kebijakan dari atas hingga bawah, termasuk Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, misalnya. Tapi yang dilupakan pemerintah ialah ada konflik bersenjata di sana, kata dia.
“Itu diselesaikan sesuai dengan kondisi di sana. Tidak bisa berharap pembangunan berhasil kemudian konflik selesai. Tidak seperti itu. Sekarang siapa yang mau berpikir serius soal jeda kemanusiaan Papua?” kata Adriana.
Tekanan Publik
Masyarakat terkejut, tak habis pikir, lantas mengutarakan pendapatnya ketika Ferdy Sambo jadi tersangka pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat. Suara-suara publik memenuhi media sosial. Adriana menilai “tekanan” menjadi salah satu cara agar pemerintah dan para pihak yang bertikai memperhatikan keinginan rakyat.
Dalam konteks ini, publik bisa memberikan “tekanan” ihwal jeda kemanusiaan melalui media sosial. Gaung dunia maya itu dapat memenuhi kesadaran masyarakat. Adriana pun menilai problem di Papua adalah toxic conflict karena semua pihak jadi korban, siklus kekerasan tak berhenti, konflik berlangsung meluas, kepentingan bermacam-macam, dan relasi memburuk.
“Tekanan harus lewat media sosial, (cara) yang paling mudah. Kalau itu masif, pemerintah baru muncul kesadaran bahwa ada permasalahan di sana,” kata dia.
Sementara itu, Socratez Sofyan Yoman, Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, menyatakan jeda kemanusiaan di Papua sangat diperlukan untuk mengurangi masalah. “Kami mendukung penuh jeda kemanusiaan. Yang penting ada upaya, bukan masalah tidak dilibatkan TNI dan TPNPB,” ucap dia kepada Tirto, Senin, 3 Januari 2023.
“Kalau (representatif TPNPB), ULMWP ada di dalam (perjanjian). Saya pikir itu sangat representatif, apalagi ada MRP yang mewakili kultural orang asli Papua,” lanjut dia. Apalagi jeda kemanusiaan itu dilakukan di Jenewa, yang menurut Socratez upaya itu diketahui secara internasional.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz