Menuju konten utama
Mozaik

Jatuh Bangun Majalah Mangle: Nyaris Sirna, Kini di Tangan Unpad

Setelah bertahan 68 tahun dan belakangan terus-menerus kesulitan terbit, majalah Mangle akhirnya dikelola Universitas Padjadjaran.

Jatuh Bangun Majalah Mangle: Nyaris Sirna, Kini di Tangan Unpad
Majalah Mangle. foto/https://mangledigital.id/

tirto.id - Sekali waktu, di sebuah kosan di Jalan Kebon Kembang (kini Jalan Dewi Sartika), Bogor, berlangsung diskusi sengit soal pemilihan nama untuk sebuah media hiburan. Beberapa orang melemparkan sejumlah nama seperti "Mataholang" dan "Tandang", tapi "Manglé" yang diusulkan Wahyu Wibisana memikat banyak hati.

Rochana Sudarmika, sang pemilik kos sekaligus kolega Wibisana, seperti ditulis Agus Sopian dalam "Tujuh Melati nan Layu" di majalah Pantau, menangkap ide itu dan mengusulkan Mangle sebagai nama majalah bulanan yang akan mereka kelola.

Keputusan bulat lahir: Manglé akan jadi nama majalah budaya Sunda. Oeton Moechtar, suami Sudarmika, tak ragu menyokong dana. Ia menyediakan kantor di belakang rumah, lima mesin tik, payung Yayasan Kebudayaan Sunda, dan modal Rp10.000.

Sempat ditawari untuk memimpin, Moechtar, pejabat dinas kehutanan yang sesekali menulis karya seperti Modana dan Mustika Leuweung, menolak karena kesibukan. Ia menunjuk istrinya sebagai direktur.

Majalah Manglé lebih dari sekadar lembaran kertas berisi tulisan, ia adalah sebuah institusi budaya yang selama lebih dari enam dekade telah mengabdikan dirinya sebagai penjaga, pengembang, dan penyebar bahasa, sastra, serta identitas Sunda.

Keberadaannya yang panjang, melintasi periode-periode penuh dinamika menegaskan posisinya sebagai salah satu pilar penting dalam lanskap media dan kebudayaan di Jawa Barat.

Baru-baru ini, Universitas Padjadjaran mengambil langkah signifikan untuk menyelamatkan Manglé dari potensi kepunahan. Melalui unit kerjanya, baik Pusat Budaya Sunda maupun Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda, Unpad secara resmi mengambil alih pengelolaan Manglé.

Dari Bogor ke Bandung

Kelahiran sebuah media sering kali dilatari oleh semangat zaman dan kepedulian sekelompok individu. Demikian pula dengan Manglé yang kemunculannya pada pertengahan abad ke-20 menandai sebuah tonggak penting dalam sejarah pers berbahasa Sunda.

Majalah Manglé secara resmi menapaki dunia pers Indonesia di Kota Bogor. Meskipun beberapa catatan menyebutkan bahwa cetakan fisik pertama terbit pada 21 Oktober 1957, tanggal 21 November 1957 kemudian ditetapkan sebagai hari lahir resmi.

Penetapan ini didasarkan pada momen ketika edisi perdana majalah ini mulai diedarkan kepada publik. Menariknya, distribusi pada edisi awal dilakukan secara cuma-cuma seakan memberi sinyalemen bahwa Manglé lahir bukan semata-mata atas dorongan komersial, melainkan lebih didasari idealisme dan misi kebudayaan yang luhur.

Edisi perdana Manglé yang diberi nama Sekar Manglé dicetak 500 eksemplar, hadir dengan tampilan yang sederhana. Sampul mukanya menampilkan sosok Ika Rostika, seorang juru kawih dari sanggar seni Mang Koko, maestro karawitan Sunda yang sangat disegani di Jawa Barat.

Majalah Mangle

Majalah Mangle. wikimedia/Publik domain

Pemilihan figur dari dunia seni tradisi ini sejak awal telah mengisyaratkan orientasi Manglé pada khazanah budaya Sunda. Menurut makalah di Scribd, nomor perdana dicetak sebanyak 20 halaman, bukan 24 halaman sebagaimana terkadang disebutkan.

Kualitas cetaknya masih sederhana, didominasi warna hitam putih dan agak buram. Tata letak serta ilustrasinya terkesan seadanya, seperti memanfaatkan foto-foto di percetakan tanpa kaitan langsung dengan isi berita. Oplah awalnya pun terbilang terbatas, yakni hanya 500 eksemplar.

Di balik lahirnya Manglé, berdiri tujuh tokoh utama yang menjadi pemrakarsanya. Mereka adalah Oeton Moechtar, Rochamina Sudarmika, Wahyu Wibisana, Sukanda Kartasasmita, Saleh Danasasmita, Utay Muchtar, dan Alibasah Kartapranata.

Beberapa sumber mencatat peran M.A. Salmoen sebagai salah satu perintis sekaligus penasihat, serta Abdullah Romli yang turut membantu. Para pendiri, yang sebagian besar merupakan sastrawan dan budayawan, memiliki kepedulian terhadap kelestarian dan pengembangan kebudayaan Sunda.

Belum genap setahun, Wahyu Wibisana hijrah ke Bandung. Mh. Rustandi Kartakusumah, kader Partai Nasional Indonesia (PNI), mengambil alih Manglé. Alih-alih mempolitisasi sebagaimana kekhawatiran banyak pihak, ia justru menghidupkan kembali semangat sastra majalah ini.

Kartakusumah, sastrawan angkatan 1945 seangkatan Chairil Anwar, dikenal lewat karya drama seperti Prabu dan Putri (1950). Meski sempat meredup di Indonesia karena mengajar di Yale, Harvard, dan MIT, ia membawa pengalaman globalnya untuk mengangkat Manglé. Oplah yang anjlok ke 40 ribu naik menjadi 50 ribu per edisi dwimingguan, dengan harga Rp7.

Kepindahan kantor ke Bandung pada 1962 memperkuat posisi Manglé sebagai ikon budaya Sunda. Era ini menjadi periode keemasan Manglé. Konten makin berkualitas, rubrik teratur, dan tiras melonjak fantastis hingga mendekati 100.000 eksemplar per terbitan, angka luar biasa untuk media berbahasa daerah.

Frekuensi terbit berubah dari bulanan ke mingguan pada 1965, makin memikat pembaca. Di era Orde Lama, Manglé juga menjadi corong sosialisasi program pemerintah lewat artikel serial tentang Manipol Usdek (Manifestasi Politik Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional).

Untaian Melati Simbol Keindahan dan Kesucian

Nama "Manglé" makna filosofi yang kuat. Dalam bahasa Sunda berarti "ranggeuyan kembang" atau untaian bunga, khususnya melati, yang lazim dikenakan oleh pengantin perempuan Sunda sebagai penghias sanggul atau sebagai bagian dari keris pada upacara pernikahan.

Untaian melati ini melambangkan keindahan, keharuman, kesucian, dan harapan akan kebahagiaan. Harapan para pendirinya agar majalah yang mereka rintis menjadi seindah dan seharum namanya, serta berfungsi sebagai penghias dan penjaga marwah kebudayaan Sunda.

Filosofi tersebut menjadi salah satu kunci Manglé memiliki daya tahan dan kemampuan untuk bertahan selama berpuluh-puluh tahun, bahkan ketika menghadapi berbagai periode sulit. Ideologi untuk ngamumulé budaya Sunda terbukti menjadi kekuatan penyokong yang melampaui tuntutan pasar semata.

Pada mulanya, Manglé dirancang dengan tujuan utama untuk melestarikan bahasa dan budaya Sunda melalui format majalah hiburan atau panglipur. Pendekatan ini dipilih agar pembaca dapat menikmati sajian majalah, tanpa merasa terbebani secara langsung oleh misi pewarisan budaya yang diemban.

Pada fase awal, sekitar 95 persen konten Manglé berisi materi-materi ringan seperti dongeng, cerita pendek, dan anekdot. Menyesuaikan kebutuhan masyarakat Sunda pada masa itu akan hiburan dan kisah-kisah humanis.

Karena itulah, wartawan Manglé tidak ada yang perlu ke lapangan mengejar materi konten. Bahkan menurut penelitian pada 2020, tidak ada satu pun karyawan lulusan jurnalistik yang bekerja di Manglé.

Namun, Manglé tidak statis. Seiring waktu, Manglé tidak hanya bertahan, tetapi juga bertransformasi menjadi sebuah media yang memiliki peran sentral. Dari sekadar majalah hiburan, ia berkembang menjadi wadah informasi, ekspresi budaya, dan bahkan kawah candradimuka bagi para penulis Sunda.

Ia terus berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan pembacanya serta tuntutan zaman. Secara bertahap, kontennya menjadi semakin beragam, mencakup tidak hanya hiburan, tetapi juga informasi yang lebih luas mengenai bahasa, sastra, budaya, agama, ekonomi, politik, hingga kesenian.

Makalah berjudul "Keberadaan Majalah Mangle Sebagai Media Informasi dan Pelestari Budaya Sunda" mencatat proporsi rubrik pun mengalami pergeseran. Pada satu periode, komposisi konten menunjukkan bahwa rubrik hiburan dan human interest menempati porsi sekitar 55 persen, sementara sejarah dan budaya mendapat alokasi 20 persen, diikuti oleh agama dan pendidikan sebesar 20 persen, dan sisanya diisi oleh berita-berita informatif lainnya.

Evolusi konten ini menunjukkan kemampuan Manglé untuk merespons dinamika masyarakat Sunda seraya tetap memegang teguh misi kebudayaannya.

Majalah Mangle

Majalah Mangle. wikimedia/Mojangsunda

Rubrik-Rubrik Kunci

Kekuatan Manglé terletak pada rubrik-rubriknya yang khas dan digemari pembaca. Beberapa rubrik yang menjadi primadona antara lain cerita pendek (carpon atau carita pondok), cerita bersambung (carita nyambung), cerita komedi, dan cerita misteri.

Selain itu, Manglé juga menyediakan ruang bagi apresiasi sastra melalui rubrik seperti Bale Rancage dan Koropak Manglé, yang memungkinkan pembaca untuk memberikan kritik dan masukan terhadap karya-karya yang dimuat.

Untuk memperkuat misinya dalam pelestarian bahasa, Manglé menghadirkan rubrik pengajaran bahasa Sunda.

Dengan rubrik seperti pengajaran bahasa Sunda, Atikan (Pendidikan), Budaya, Warta (Berita), Katumbiri (Pelangi/Ragam), Gaya Hirup (Gaya Hidup), hingga Carita Lucu (Cerita Lucu) dan PuridingPuringkak (Misteri/Horor), Manglé memikat beragam pembaca.

Suplemen seperti Manglé Remaja dan Manglé Alit menjangkau generasi muda, menjadikannya bacaan keluarga yang merangkul semua usia dan selera.

Sejak kelahirannya, Manglé menjadi solusi bagi guru bahasa Sunda yang kesulitan menemukan bahan ajar. Lebih dari itu, majalah ini melahirkan dan membina sejumlah penulis Sunda. Dengan memberi panggung bagi penulis muda, Manglé menjaga regenerasi sastra Sunda, memastikan kesinambungan kreativitas.

Tak hanya melestarikan tradisi, Manglé juga mendorong modernisasi sastra Sunda. Melalui cerita pendek, cerita bersambung, puisi, dan rubrik apresiasi seperti Bale Rancage, majalah ini menghidupkan bentuk serta tema baru, membawa sastra Sunda melampaui tradisi lisan menuju ekspresi kontemporer yang dinamis.

Aspek visual Manglé, terutama desain sampulnya, juga telah menjadi ciri khas yang sangat melekat dan sering kali menjadi subjek analisis. Tradisi untuk selalu menampilkan mojang-mojang Sunda sebagai model sampul merefleksikan representasi ideal kecantikan dan kebudayaan Sunda pada masanya.

Seturut jurnal di ARS University, desain sampul dan logo Manglé mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Pada era 1980-an, logo Manglé disertai dengan logogram berbentuk siluet wanita dalam untaian bunga, secara eksplisit merujuk pada makna nama "Manglé".

Kemudian, pada awal tahun 2000-an, logo mengalami perubahan signifikan dengan mengadopsi stilasi aksara Sunda kuno, sebuah upaya untuk mempertegas dan memperkuat identitas kesundaan majalah ini di era modern. Foto-foto sampul tidak hanya menampilkan figur, tetapi juga menangkap tren mode dan estetika zaman, sekaligus menjadi representasi konseptual perempuan Sunda.

Perjalanan Menuju Redup

Dari angka yang pernah mendekati 100.000 eksemplar pada masa jayanya, tiras majalah ini menyusut hingga sekitar 50.000 eksemplar, dan kemudian stabil di kisaran yang jauh lebih rendah, yakni antara 5.000 hingga 10.000 eksemplar per terbitan.

Salah satu penyebab utama dari penurunan drastis ini adalah menurunnya minat masyarakat Sunda secara umum terhadap media cetak lokal. Bahasa Sunda, sebagaimana banyak bahasa daerah lainnya di Indonesia, semakin terpinggirkan oleh para penuturnya sendiri.

Bahasa ini tidak lagi menjadi bahasa pengantar utama dalam sistem pendidikan formal, dan ironisnya, terkadang dianggap lebih sulit untuk dipelajari dibandingkan bahasa asing seperti bahasa Inggris oleh generasi muda.

Dalam kancah media berbahasa Sunda, Manglé sejatinya tidak sendirian. Terdapat beberapa media lain yang juga berupaya melayani audiens Sunda, seperti Kujang, Sunda Midang, Cupumanik, Galura, dan Giwangkara.

Namun, di antara nama-nama tersebut, Manglé tercatat sebagai media yang paling konsisten dan mampu bertahan paling lama. Meski demikian, persaingan tetap ada, dan tantangan yang dihadapi oleh pers daerah secara umum juga dirasakan oleh Manglé.

Akhirnya, perubahan preferensi pembaca, yang mulai beralih ke media nasional atau bentuk hiburan lain, menjadi faktor yang sulit dihindari.

Selain itu, faktor eksternal seperti ketiadaan dukungan dari pemerintah juga turut berkontribusi. Penghentian langganan dari berbagai instansi pemerintah dan sekolah-sekolah di wilayah Jawa Barat, misalnya, memberikan pukulan telak bagi sirkulasi Manglé.

Krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir 1990-an semakin memperparah keadaan, membuat tiras Manglé terjun bebas hingga mencapai angka sekitar 4.000 eksemplar saja.

Kemunduran ini bersifat multikausal, melibatkan pergeseran selera pembaca, tekanan ekonomi, dan perubahan dalam dukungan institusional.

Perjuangan Manglé dengan demikian merupakan cerminan dari krisis yang lebih luas yang melanda media berbahasa daerah di Indonesia.

Baca juga artikel terkait BAHASA SUNDA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi