Menuju konten utama

Apa Itu Manipol USDEK Pidato Soekarno, Sejarah, Isi, & Tujuannya

Istilah Manipol USDEK keluar saat Soekarno berpidato pada 17 Agustus 1959 untuk mempersatukan berbagai kekuatan saat itu.

Apa Itu Manipol USDEK Pidato Soekarno, Sejarah, Isi, & Tujuannya
Ilustrasi Hari Hari Terakhir Bung Karno. tirto.id/Fuad

tirto.id - Manipol USDEK merupakan akronim dari Manifestasi Politik Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian bangsa Indonesia.

Istilah ini keluar saat Presiden Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1959.

Dalam pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, Soekarno menyampaikan gagasan ini sebagai manifestasi politik yang selanjutnya menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) resmi menetapkan pidato tersebut sebagai GBHN dengan judul Manifestasi Politik Republik Indonesia.

Sejarah Manipol USDEK

Lahirnya gagasan Manipol USDEK dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicetuskan Soekarno tidak terlepas dari masa Demokrasi Terpimpin.

Mengutip dari Mariana dalam Kehidupan Politik dan Ekonomi Bangsa Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin (2020:3), disebutkan upaya mewujudkan demokrasi terpimpin dimulai sejak tahun 1957.

Namun upaya tersebut masih belum terwujud karena dewan nasional yang dibentuk Soekarno tidak dapat bekerja secara maksimal.

Presiden Soekarno masih terus berusaha agar saat itu demokrasi terpimpin dapat dilaksanakan. Pada tahun 22 April 1959 dalam sidang konstitusi bersama Konstituante, Soekarno berupaya kembali ke UUD 1945 sebagai jalan mewujudkan demokrasi terpimpin.

Upaya tersebut kembali menemui jalan buntu karena setelah tiga melakukan pengambilan suara (voting), konstituante tidak dapat memutuskan konstitusi negara.

Masih dari Mariana (2020:4), Soekarno akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai jalan akhir mewujudkan pelaksanaan demokrasi terpimpin.

Dalam dekrit tersebut Soekarno menegaskan tiga poin penting, yaitu pembubaran konstituante, kembali ke UUD 1945, dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dilihat sebagai jembatan untuk peralihan Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin. Konsep demokrasi terpimpin akhirnya dijabarkan Presiden Soekarno tepat pada 17 Agustus 1959.

Dalam pidato kenegaraan tersebut, dihadapan para Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) Soekarno dengan lantang menyatakan Manipol USDEK sebagai ideologi yang menguatkan Pancasila.

Setelah mendengar paparan Soekarno mengenai Manipol USDEK, Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) menetapkan konsep tersebut sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan judul Manifestasi Politik Republik Indonesia.

Isi Manipol USDEK

Ahmad Sugiyono dalam Akar-AkarDemokrasi di Indonesia dan Perkembangannya Masa Kini (2020:12), menyebut gagasan Manipol USDEK memiliki beberapa isi.

  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Sosialisme ala Indonesia
  • Demokrasi Terpimpin
  • Ekonomi Terpimpin
  • Kepribadian Indonesia
Konsep ini juga memiliki makna yang menjunjung tinggi nilai kegotong-royongan, menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Selain itu, penerapan konsep ini menjadi solusi mengatasi perpecahan yang terjadi saat itu. Sehingga banyak masyarakat umum dan masyarakat politik mendukung penerapan Manipol USDEK.

Tujuan Manipol USDEK

Berdasarkan isi dari Manipol USDEK, Ahmad Sugiyono dalam Akar-Akar Demokrasi di Indonesia dan Perkembangannya Masa Kini (2020:12), menyatakan lahirnya ide tersebut dari Soekarno karena melihat situasi yang terjadi pada masa itu.

Tujuan Soekarno mencetuskan gagasan Manipol USDEK sebagai jalan untuk mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang bersaing saat itu.

Pengumpulan ataupun penyatuan ini bukan tanpa alasan, Soekarno menginginkan kekuatan politik tersebut menjadi kesatuan yang mewujudkan cita-cita, tujuan, maupun kepentingan bangsa dan negara.

Selain itu, lahirnya gagasan Manipol USDEK sekaligus sebagai upaya melawan kekuatan neokolonialis, kolonialis dan imperialis (Nekolim).

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Aditya Widya Putri