tirto.id - Duet sutradara Jose Purnomo dan Rizal Mantovani kembali terjalin dalam Jailangkung2, sekuel Jailangkung (2017) yang dulu sukses meraup 2,5 juta penonton. Daur ulang permainan tradisional yang berevolusi jadi ritual pemanggil makhluk gaib ini belum selesai.
Film diawali dengan akar konflik, jauh ke Sumatera tahun 1947. Kapal “Oerang Medan” milik Belanda bersiap pulang ke Eropa, berisi barang-barang dari bekas tanah jajahan. Salah satunya kotak berjeruji yang berukuran besar dan tertutup. Isinya misterius, dan menarik perhatian tiga awak kapal pribumi.
Diam-diam mereka menyusup ke bagian penyimpangan kotak jeruji, menyingkap kain, dan melihat sesosok perempuan di dalamnya. Sebuah jimat yang tergantung di leher si perempuan diambil. Si perempuan tiba-tiba hidup, kemudian membunuh seluruh penghuni kapal.
Belakangan diketahui bahwa perempuan tersebut adalah Matianak, sosok hantu yang bisa dipelihara untuk kepentingan kekuasaan dan kekuatan gaib. Matianak bisa dikontrol memakai jimat “urang sukmo”, yang dicuri awak kapal. Jimat berharga itu karam bersama akhir riwayat kapal “Oerang Medan”.
Maju ke abad 21, keluarga Bella (Amanda Rawles) harus berurusan dengan teror setan-setan menyeramkan usai ayahnya (Lukman Sardi) sadar dari koma. Ia dibantu oleh (pacarnya, teman akrabnya, atau teman-tapi-mesranya?) Rama (Jefri Nichol).
Film sekuel yang baik adalah yang mampu menjelaskan kilas balik film sebelumnya, baik dalam penjelasan langsung maupun terselip di dialog. Jailangkung 2 gagal memenuhi ekspektasi ini, sehingga membuat saya yang belum menonton film pertama kebingungan atas banyak hal. Kedekatan Bella dan Rama hanya salah satunya.
Cerita beranjak ke adik Bella, Tasya (Gabriella Quinlynn), yang didera kesepian akut. Ia tumbuh tanpa didampingi almarhum ibunya. Tanpa disengaja, pada suatu hari ia melihat video ayahnya bermain jailangkung untuk berkomunikasi dengan arwah sang ibu.
Saat Tasya diam-diam mencoba hal yang sama, dengan boneka kayu yang dirakit sendiri, ia justru terseret masuk ke alam gaib dan tak mampu kembali.
Masalah bertambah saat kakak Bella, Angel (Hannah Al Rasyid), melahirkan anak secara tak wajar. Angel hamil dalam waktu yang sangat singkat. Di titik ini saya kembali kebingungan sebab tak dijelaskan asal-usul kehamilan Angel. Tahu-tahu ia sudah melahirkan saja, menurut sebuah flashback, di sebuah lubang kuburan.
Anak Angel adalah Matianak baru. Pada suatu hari, Matianak tiba-tiba berubah dengan cepat dari sesosok bayi menjadi seorang perempuan remaja dengan penampilan serupa kuntilanak. Ia kemudian meneror keluarga Bella, dan sayangnya ayah Bella tak mampu berbuat apa-apa.
Beruntung, Rama berupaya untuk memecahkan misteri ini. Ia juga dibantu oleh Bram (Naufal Samudra), mahasiswa baru yang satu jurusan dengan Rama. Sembari ketiganya mencari jimat “urang sukmo” untuk menjinakkan Matianak di rumah, ayah Bella mendapat bantuan dari seorang paranormal untuk menyelamatkan Tasya.
Dua cerita besar itu tidak berkaitan langsung, dan hingga akhir tidak disambung melalui benang merah yang memuaskan penonton. Penulis skenario film ini sungguh malas. Mereka nampak belum matang dalam menciptakan rangkaian konflik yang berkesinambungan dalam satu narasi yang utuh.
Saya paham, banyak pihak tak menggantungkan harapan tinggi pada film horor Indonesia (kecuali yang berkelas tapi minoritas seperti Pengabdi Setan [2017]). Namun pembagian dua cerita besar ini melupakan esensi judul film sendiri.
Jailangkung yang membuat Tasya dijerat tragedi, tidak menjadi sumber konflik utama atau mendapat eksplorasi yang cukup. Sorotan utamanya justru ada pada petualangan Bella dan kawan-kawan. Film ini seharusnya berjudul Matianak, sebab permainan jailangkung hanya disajikan sebagai pelengkap.
Bagian penyelamatan Tasya pun cuma menduplikasi kisah penyelamatan bocah bernama Dalton di film Insidious (2010). Ayah Tasya dibimbing paranormal memasuki dunia gaib, dengan nuansa gelap dan menyeramkan yang sama. Sebagaimana ayah Dalton, ia juga harus bertemu dan melawan makhluk-makhluk menyeramkan yang menyekap Tasya.
Jika Insidious mengambil latar masyarakat Barat era 1950-an, Jailangkung 2 mengambil inspirasi dari dunia kerajaan Jawa. Si paranormal berdandan dan bersikap layaknya sinden, demikian juga cerita-cerita yang ia paparkan, kental mistisisme Jawa.
Ada banyak adegan yang mengganggu saya sebab menimbulkan pertanyaan yang tak terjelaskan, lagi-lagi berpangkal pada bagaimana penulis skenario yang kurang matang dalam menyusun cerita.
Memelihara anak setan jelas sesuatu yang beresiko tinggi. Bella amat perhatian atas sikap aneh kakaknya ini. Namun ayahnya membiarkan dengan alasan ingin keluarganya kembali normal. Normal yang ia maksud adalah agar keputusan kakaknya tidak diganggu serta tidak timbul perselisihan baru. Meski harganya adalah sesosok anak setan yang tinggal dan mengacau di rumah?
Wow. Dahi saya mulai berkerut dengan keputusan yang tak masuk akal tersebut.
Kedua, menyangkut sosok Bram yang di akhir film memberikan plot twist (yang tidak terlalu mengagetkan sebab mampu ditebak sejak awal).
Ia bertemu secara tak sengaja dengan Bella, untuk pertama kali, saat Bella diganggu makhluk gaib di kampus. Rama yang penyelamat penenang Bella, kemudian mengajak Bram ikut mendiskusikan misteri di kantin.
Lalu, tanpa ba-bi-bu, Bram akrab sampai turut diajak ke sebuah petualangan mencari jimat yang berbahaya. Rama dan Bella membolehkan saja, tanpa curiga barang sedikit pun.
Kerutan di dahi saya makin bercabang, bingung dengan cara penulis naskah menyatukan para karakter utama yang terlihat amat dipaksakan.
Ketiga, tentang Rama, yang mengaku mahasiswa Antropologi, tapi cara menyelesaikan masalahnya sama sekali tidak ilmiah. Ia gandrung, boleh dikatakan obsesif, dengan mistisisme Jawa, terutama soal makhluk-makhluk gaibnya. Dari toko buku langganan, ia mendapat buku lawas tentang Matianak, yang menurut saya isinya serupa buku harian anak indigo.
Nalar para tokoh di film ini barangkali memang mistis, mistis, dan mistis. Kehilangan anak tidak ditanggulangi dengan menghubungi pihak kepolisian, tapi dengan meminta bantuan paranormal.
Di mercusuar yang terletak di bibir pantai dekat tenggelamnya kapal, ada petunjuk di mana lokasi karam, tapi otoritas keamanan tak pernah menyelidikinya. Petunjuk ini tentu saja ditemukan dengan mudah oleh Rama dan Bram.
Akhiran film, terutama cara mengalahkan Matianak dengan teramat instan, akting sekelas sinetron dari para pemeran utama yang masih muda-muda, dan scoring yang berlebihan untuk efek jumpscare, melengkapi rendahnya kualitas film ini.
Pada akhirnya, Jailangkung 2 hanya menjadi film horor khas Indonesia yang tak menawarkan kebaruan apa pun.
Namun, produsen barangkali tak peduli akan hal ini, asal jumlah penonton bisa mendatangkan profit, atau minimal balik untung. Agar Jailangkung 3, 4, dan seterusnya bisa dibikin kembali.
Editor: Maulida Sri Handayani