tirto.id - Tidak banyak orang bisa melakukan apa yang dilakukan Soleh Solihun. Meski saya pribadi belum—atau mungkin tidak—bisa tertawa lepas kala mendengar leluconnya, saya akui ia adalah penghibur dengan pengalaman yang lengkap.
Sebelum jadi komika, ia lebih dulu dikenal sebagai jurnalis musik Rolling Stone Indonesia. Dari situ, ia terjun ke dunia lawak; berawal dari pembawa acara sampai berakhir jadi komika seperti sekarang. Tak berhenti sampai situ saja, Soleh kemudian merambah dunia akting dengan jadi kameo, pemeran utama, sampai sutradara.
Debut filmnya sebagai sutradara terjadi pada tahun lalu saat Soleh membuat Mau Jadi Apa? yang berkisah mengenai masa kuliahnya di Universitas Padjajaran. Untuk ukuran debut penyutradaraan, film ini terbilang tak terlalu istimewa. Biasa-biasa saja. Mengingat tema masa muda dan perkuliahan dalam sinema Indonesia sudah jamak digarap serta berakhir begitu-begitu saja.
Tak lama kemudian, Soleh menggarap film keduanya. Ia rupanya mengambil keputusan berani dengan membuat film komedi-horor. Tak tanggung-tanggung, ia memilih zombie selaku pijakan ceritanya. Film tersebut berjudul Reuni Z dan ia dibantu Monty Tiwa yang pada Mau Jadi Apa? juga melakukan hal serupa.
Jalan cerita Reuni Z begitu sederhana. Awalnya, reuni 20 tahun yang diadakan Angkatan ’97 SMA Zenith berlangsung normal. Semua tertawa dan melepas rindu akan masa-masa SMA. Akan tetapi, keriaan itu berubah pembantaian ketika kelompok tari yang mengisi acara reuni tiba-tiba beralih rupa jadi zombie. Film lantas berfokus tentang bagaimana upaya para tokoh utama menyelamatkan diri dari ladang pembunuhan (atau peternakan zombie?).
Di luar cerita yang amat sederhana dan mudah ditebak, tak bisa dipungkiri saya mengapresiasi beberapa hal dalam film ini. Pertama adalah keberanian Soleh mengangkat tema zombie sebagai fondasi cerita. Tema zombie bisa dikata jarang diangkat sineas lokal. Mungkin yang pertama adalah Kampung Zombie (Billy Christian, 2015), meskipun gestur ala zombie (namun bukan narasi khasnya) sedikit banyak bisa disaksikan di film-film seperti Pengabdi Setan (1980).
[Koreksi, 15 April 2018, 20.00 WIB: Versi awal tulisan ini mengandaikan Reuni Z sebagai film zombie pertama Indonesia. Sejauh yang bisa dilacak film Indonesia pertama yang bertema zombie adalah Kampung Zombie]
Film horor Indonesia masih terlalu memprioritaskan demit-demit dalam negeri macam pocong, kuntilanak, tuyul, suster Belanda, sampai arwah gentayangan yang kerap muncul tanpa diduga, memberikan efek kaget luar biasa biadabnya, hingga hanya dapat diusir dengan membaca Ayat Kursi atau rupa-rupa sesajen.
Demit-demit itulah yang sampai hari ini masih dijadikan barang dagangan sineas lokal. Dikomersialisasi, dieksploitasi, dan diulang terus menerus sampai masyarakat berpikir, “POCONG LAGI, POCONG LAGI!” Nyaris tak ada pembaharuan karakter demit di film-film horor yang berkutat di nama-nama tersebut sebelum akhirnya Soleh muncul dengan wacana zombie.
Saya tak menyebut Soleh sebagai sosok revolusioner yang berani menabrak batasan genre horor di Indonesia. Selain pernyataan itu terlalu bombastis, saya juga bisa dianggap sebagai penulis bayaran yang kerjanya memuji film-film bikinan rumah produksi tertentu. Lagipula untuk menentukan sineas bisa dikata revolusioner atau tidak, pertimbangannya cukup banyak yang mungkin tidak bisa kelar dalam 900 karakter tulisan.
Intinya, Soleh berani mengambil keputusan mengangkat harkat martabat zombie yang kerjaannya memangsa manusia dan suka meraung-raung tak jelas di skena horor Indonesia yang didominasi nama-nama itu saja.
Poin kedua adalah soal karakter-karakter dalam film Reuni Z. Soleh dan Monty tak menyajikan karakter yang kosong dan miskin background. Tiap karakter yang ditulis keduanya punya latar kehidupan yang beragam dan menggambarkan kondisi sosial terkini.
Misalnya, karakter Juhana (yang diperankan Soleh sendiri) adalah aktor film kelas B yang berupaya menaikkan popularitas dan ketenaran dengan cara sampai mengemis ke sutradara ternama. Atau Jeffri (Tora Sudiro) yang digambarkan sebagai pekerja kantoran yang bosan terhadap rutinitasnya lalu berusaha jadi YouTuber dengan sering mengunggah video tutorial bermain gitar yang baik namun jarang ditonton dan di-subscribe. Ada pula karakter bernama Marina (Dinda Kanya Dewi) yang dulunya laki-laki tetapi digambarkan habis operasi gender dan berubah wujud jadi perempuan.
Lewat karakter-karakter tersebut, Soleh dan Monty berusaha membawa narasi sosial terkini ke dalam alur cerita Reuni Z. Meski tak jadi fondasi utama, konteks sosial itu konsisten muncul. Sepanjang film, penonton bakal sering menyimak obrolan soal respons terhadap transgender, fenomena hijrah, hoaks, sampai orang-orang yang gemar bullying, dan berlaku seksis. Semua itu dikemas Soleh dan Monty dengan gaya bertutur ringan nan sarkas.
Tapi sayang, semua nilai plus itu tak sepenuhnya diiringi eksekusi yang mulus. Reuni Z meninggalkan sejumlah lubang di menit-menit selanjutnya.
Yang menggelikan tentu saja kala menyaksikan jarak 20 tahun tidak merubah sama sekali sifat dari tokoh di Reuni Z. Jody (Surya Saputra) dan kroco-kroconya, misalkan, masih digambarkan suka mengerjai teman dengan menarik celana dalam mereka. Di usia yang hampir menyentuh kepala empat, sikap-sikap anak kecil tersebut masih saja disertakan. Ini mengingatkan karakter Tita dalam Eiffel I'm In Love 2 yang sudah berumur tapi masih suka merengek dan mengoleksi boneka anjing.
Lubang lain yang ditinggalkan Soleh dan Monty berwujud dalam betapa pandirnya usaha karakter-karakter keluar dari kemelut serangan zombie. Latar kejadian Reuni Z terjadi dua dekade usai anak-anak angkatan ’97 SMA Zenith lulus sekolah, yakni 2017. Artinya, pada 2017 modernisasi (baca: semua sudah digital) sudah muncul di segala lini.
Namun, dengan bijaknya, Reuni Z meniadakan hal itu. Di tengah serangan zombie, tiba-tiba semua perangkat canggih seperti musnah tanpa sisa. Padahal, saat acara berlangsung, orang-orang ini, katakanlah, begitu aktif menggunakan gawainya. Entah untuk keperluan media sosial sampai yang lain. Akan tetapi, saat teror zombie berlangsung, hanya sedikit dari mereka yang memanfaatkan gawai untuk mencari bantuan, salah satunya Jeffrie yang menelepon polisi.
Yang ingin saya tekankan adalah ... "Kenapa kalian tak bijak menggunakan gawat untuk cari bantuan dari luar, lewat tweet, posting, upload foto atau video, WAHAI ANGKATAN '97 SMA ZENITH? Tidakkah kalian ingat jika SMA Zenith ada di tengah kota, bukan di pelosok yang susah sinyal? Lalu, buat apa kalian punya kawan YouTuber?"
Apa yang terjadi antara gawai dan teror zombie di Reuni Z sungguh tidak masuk akal. Tak cuma dari sisi kenyataan, melainkan juga logika film itu sendiri. Dengan memutuskan untuk meniadakan peran gawai, kisah Reuni Z tak kelihatan seperti terjadi di sekolah tahun 2017, tapi di Korea Utara mini.
Mungkin masih bisa dimaklumi, jika kisah Reuni Z terjadi di era 90an. Tapi Reuni Z terjadi pada 2017, di mana manusia sulit lepas dari gawai.
Walhasil, sepanjang film, karakter-karakter Reuni Z hanya berlari-lari mengelilingi sekolah, sembunyi di tiap ruangan, dan mengunci pintu dari dalam. Bahkan, ketika polisi masuk dan berhasil membunuh satu-dua zombie (meski akhirnya mereka mati juga dengan cara konyol), para karakter ini tidak berupaya menuju pintu keluar SMA yang jelas-jelas sudah terbuka. Mereka malah berupaya keras menuju aula (yang justru lebih membahayakan nyawa mereka) untuk memainkan lagu yang diyakini bisa memusnahkan zombie.
Keputusan tersebut nyatanya harus dibayar mahal. Demi memenuhi ego karakter utama untuk memainkan lagu semasa SMA, salah satu karakter harus rela diserang zombie sebelum akhirnya tewas di tempat.
Selain membuat karakter-karakter utamanya jadi pandir, serangan zombie juga memunculkan semangat kepahlawanan dan rela berkorban. Jika sikap tersebut memang dilandasi motivasi kuat, tak jadi soal. Tapi, yang ada di Reuni Z tidaklah demikian, seperti yang dialami Raina (Fanny Fabriana).
Di awal film, ia diceritakan sebagai wanita karier yang sukses, ceria, dan aktif. Namun, tiba-tiba menjelang selesai film, ia digambarkan berubah jadi perempuan yang terluka, rapuh, dan akhirnya memilih mengorbankan diri sebagai jalan keluar dari rumah tangganya yang hancur. Situasi-situasi semacam itu membuat saya bertanya-tanya. Teman dekat bukan, mengingat nama karakter utama (Juhana, Jeffrie, dan Lulu) saja sering lupa, tapi malah rela berkorban untuk mereka dengan alasan yang bisa diperdebatkan. Tak ada cukup preseden untuk sampai ke pilihan-pilihan yang diambil Raina.
Kondisi itu pula yang semakin menegaskan kecanggungan Reuni Z membungkus karakter utama dalam menyelesaikan konflik sampai-sampai harus menggunakan karakter yang tak jelas rimbanya sebagai medium resolusi. Dalam Reuni Z, karakter-karakter utama digambarkan tanpa inisiatif, hanya diam saja menunggu orang lain bergerak, dan seolah mereka ditakdirkan harus selamat dari serangan zombie.
Nampaknya, segala kepandiran mereka masih berlanjut di edisi (atau film) selanjutnya mengingat si penyebar virus zombie yang berwujud tukang bakso masih berkeliaran dan menyebarkan virusnya hingga ke luar sana. Konyolnya lagi, mereka tak bisa mendeteksi gejala tersebut sebelum akhirnya Juhana paham bahwa bakso yang dihidangkan di depannya memuat virus zombie.
Lagi-lagi, apabila adegan pamungkas ini hendak dijadikan penutup yang lucu dan mempertegas kedunguan karakter-karakter utama, Reuni Z gagal. Penonton tak tertawa melainkan bertanya penuh keheranan: "Bukankah salah satu karakter bernama Prilly (Cassandra Lee) tahu bahwa bakso yang hendak dimakannya sama persis dengan bakso yang ingin disantapnya saat hari reuni tiba yang menyebabkan orang-orang jadi zombie?"
Mungkin memang ketemu zombie bikin orang jadi pandir.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf