Menuju konten utama

Film LIMA: PMP Masuk Bioskop, Daur Ulang Kasus-Kasus Lawas

Menonton LIMA serasa sedang diajarkan materi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) seperti di masa SD dulu. Beberapa kasus yang ditampilkan hanya daur ulang.

Film LIMA: PMP Masuk Bioskop, Daur Ulang Kasus-Kasus Lawas
Cuplikan adegan film LIMA. YOUTUBE/Film LIMA

tirto.id - Film LIMA dimulai dengan kepulangan Bu Maryam (Tri Yudiman) dari rumah sakit. Ia ditemani anak bungsunya Adi (Baskara Mahendra). Sebelumnya ia didoakan oleh seorang pastur agar penyakitnya diangkat seluruhnya serta tidak bertambah parah.

Di momen ini saya menebak agama Bu Maryam itu Kristen (menimbang penampilannya yang tanpa kerudung juga).

Sayang, takdir berkata lain. Bu Maryam meninggal di rumah. Adi dan kedua kakaknya, Fara (Prisia Nasution) dan Aryo (Yoga Pratama), bersedih. Pembantu mereka, Bi Ijah (Dewi Pakis), kemudian diminta Fara untuk mengurus salat jenazah di masjid kompleks.

Di titik ini saya disadarkan bahwa Bu Maryam ternyata seorang Muslim. Malangnya, pengurus masjid menolak permintaan Bi Ijah. Alasannya: Bu Maryam menganut mazhab yang berbeda.

Lalu, dari perbicangan para tokoh, terungkap bahwa Bu Maryam memang sempat pindah keyakinan ke Kristen, namun balik lagi ke Islam. Hal ini membuat keyakinan yang dipeluk anak-anaknya cukup beragam. Fara, misalnya, perempuan Muslim yang bekerja sebagai pelatih renang, sementara Aryo yang bekerja di sebuah distro menganut Kristen.

Adi, yang masih SMA, memiliki kedekatan istimewa dengan sang ibu. Ia menjadi penengah bagi pertengkaran kecil di antara Fara dan Aryo perihal tata cara penguburan almarhum ibu. Fara ingin seluruhnya berlangsung sesuai syariat Islam, sementara Aryo sedikit banyak protes atas rencana itu.

Fara ingin membersihkan seluruh tubuh ibu termasuk dari pewarna kuku yang belum lama dipoleskan Adi. Adi awalnya kurang setuju, lalu menurut.

Ia juga melarang Aryo bersinggungan dengan mayat ibu yang sudah dimandikan sebab hanya boleh disentuh oleh yang sudah berwudu, dan ikut masuk ke liang lahat selama penguburan sebab hanya diperuntukkan untuk Muslim.

Namun, pada akhirnya, Fara mengalah. Ia singkirkan kekhawatiran atas munculnya omongan para tetangga dan kerabatnya, serta menginzinkan Aryo untuk mengantar ibu ke peraduan terakhir.

Saat pemakaman juga muncul doa dari dua kelompok: yang dipimpin pemuka agama Islam setempat, dan berbentuk nyanyian oleh kelompok muda-mudi pegiat gereja.

Sejak awal, LIMA langsung menyajikan interpretasi atas sedikitnya tiga nilai yang terkandung dalam Pancasila, yakni toleransi antar pemeluk umat beragama, persatuan antar-anggota keluarga, dan dialog sebagai upaya pemecahan sebuah perselisihan.

Hal tersebut selaras tujuan pembuatan LIMA menurut produser sekaligus sutradara Lola Amaria. LIMA juga dibuat oleh total lima sutradara dan berfokus pada lima cerita utama. Penayangan di bioskop-bioskop tanah air sengaja dipilih sejak 31 Mei 2018 untuk menyambut hari lahir Pancasila pada 1 Juni.

infografik misbar lima

LIMA memakai beberapa fragmen peristiwa berupa pelanggaran nilai-nilai Pancasila yang melahirkan konflik bagi para tokoh. Niat yang baik. Namun bagi saya penulis naskah kurang kreatif menggali kasus sebab beberapa di antaranya hanya mendaur ulang kasus lama yang sempat bikin heboh publik di Tanah Air.

Contohnya perilaku menghakimi pencuri yang dialami Adi, untuk menjabarkan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Suatu hari, saat sedang bermain musik dengan seorang teman dekat, ia melihat berita kriminal di televisi, dan mengungkap kekesalan mengapa orang Indonesia gemar main hakim sendiri.

Temannya kemudian berpendapat soal “collective anger”, kemarahan massa, yang tak akan sembuh jika orang-orang waras di Indonesia lebih memilih diam. Di momen itu Adi tersadar bahwa energinya mesti dialihkan untuk mengubah keadaan, bukan cuma kesal dan diam.

Bak sebuah kebetulan, saat pulang ke rumah malam-malam, ia tergerak untuk menolong seorang tertuduh pencuri dari kejaran massa. Di wilayah stasiun kereta yang sudah sepi, si pencuri terdesak, dan mengakui perbuatannya. Ia mencuri sebuah buku dengan sampul Pancasila (tentu saja) untuk adiknya.

Sayangnya, upaya Adi gagal. Si pencuri tewas dibakar massa yang, lagi-lagi kebetulan, memanfaatkan beberapa drum berisi bahan bakar minyak di lokasi kejadian.

Kasus kedua terkait kriminalisasi “wong cilik” untuk menjabarkan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Korbannya anak-anak Bi Ijah di kampung yang terpaksa mencuri bibit kakao perusahaan besar.

Di persidangan pelaku yakni anak sulung Bi Ijah yang masih remaja, Agus, menjelaskan dengan nada emosional bahwa ibunya tak pernah mengajarkan untuk mencuri. Pengacaranya pun kembali menekankan soal hilangnya keadilan dalam kasus yang menimpa kliennya.

Contoh kasus selanjutnya yang menimpa Fara cukup mengandung kebaruan, tapi sayangnya agak klise. Bermula dari atlet di klub renang tempat ia bekerja dapat kesempatan ikut pelatnas Asian Games 2018, Fara diminta sang pemilik klub untuk mendelegasikan atlet pribumi.

Fara yang disebut pemilik klub “terlalu idealis” dan sadar multikulturalisme tentu saja marah. Apalagi atlet terbaik dan yang paling rajin di klubnya adalah Kevin, anak keturunan Tionghoa (yang orang tuanya meninggal akibat kerusuhan Mei 1998).

Fara dipecat sebab tetap mengajukan Kevin, meski akhirnya oleh pengurus renang pusat yang tidak antagonis diangkat lagi jadi pelatih pelatnas.

Mengapa saya bilang klise, sebab karakter rasis si pemilik klub datang secara tiba-tiba, yang saya kira hanya demi mendapatkan konflik secara instan semata. Tidak dijelaskan latar belakang kuat yang membuatnya rasis. Saat pada akhirnya terungkap pun, motifnya klasik, bak penjahat di film-film jadul: uang.

Saya paham, Lola ingin menjabarkan sila Persatuan Indonesia dalam kasus Fara. Namun bangunan konfliknya yang terlalu dikotomis dan hitam-putih itu lagi-lagi menunjukkan kemalasan si penulis naskah dalam proses riset.

Mengapa kebanyakan sineas Indonesia seakan tidak tertarik untuk menyajikan polemik yang abu-abu, sehingga jauh lebih menggigit, dan jika perlu, mengguncang zona nyaman penonton? Atau memang tidak mampu? Atau mampu tapi tak melihatnya sebagai lumbung profit?

LIMA saya analogikan seperti PMP atau Pendidikan Moral Pancasila. PMP adalah sepaket kurikulum berisi tafsir nilai-nilai Pancasila yang sempat jadi tren selama masa Orde Baru (dan kini dirindukan keberadaannya sebab ketiadaannya diklaim jadi sumber 'kebobrokan' moral generasi muda “zaman now”).

Seingat saya, cara guru-guru mengajarkan PMP serupa narasi LIMA. Ada contoh-contoh pelanggaran nilai sila kesekian, di mana si pelaku diibaratkan tokoh antagonis, yang pokoknya jahat. Saya, dan anak-anak Indonesia lain, mesti menjadi tokoh-tokoh protagonis, yang baik hati, dan meneladani butir-butir mulia Pancasila, agar kasus yang sama tidak terulang di masa depan.

Jika harus mengalami proses pendidikan yang sama, barangkali saya lebih suka membongkar isi lemari dan membaca Lembar Kerja Siswa (LKS) lawas. Tak perlu menghabiskan beberapa puluh ribu untuk tiket bioskop, disuguhi pelajaran moral yang serupa, dalam bangunan narasi yang tak jauh berbeda, dan dijejali kasus-kasus lama.

Di satu momentum, saat masih menonton film yang diproduseri Lola Amaria dan bernuansa terlampau didaktis itu, memori saya justru terlempar ke masa-masa sekolah dasar.

Di depan saya bukan lagi layar sinema, tapi Ibu Guru kelas enam yang sedang menjelaskan bahwa perbuatan baik yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila itu contohnya membantu nenek-nenek menyeberang zebra cross, atau mengembalikan uang yang terjatuh di jalanan.

Hingga dewasa saya belum pernah melakukan keduanya. Bukan karena tidak mau, tapi memang tak pernah menemui kondisi yang mendukung lahirnya tindakan heroik tersebut.

Saya bukan Fara atau Adi, yang kebetulan punya pengalaman Pancasialis. Saya cuma warga negara biasa yang bertindak baik berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Bukan ideologi negara, atau tafsiran-tafsirannya.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf