Menuju konten utama

Teguh Karya: Teater, Sinema, dan Capaian Seorang Maestro

Ditempa di teater, Teguh Karya menjelma jadi sutradara bernas tanah air. Film-filmnya mengangkat narasi pertentangan kelas dan pencarian identitas—sesuatu yang terus ia pertanyakan sebagai seorang minoritas.

Teguh Karya: Teater, Sinema, dan Capaian Seorang Maestro
Teguh Karya; 1982. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Tak butuh waktu lama untuk menyebut Teguh Karya sebagai maestro sinema Indonesia. Berlebihan? Rasanya tidak. Jika melihat kiprahnya dalam belantika film tanah air, terutama pada era 1970-1980an, pernyataan ini sah belaka.

Banyak orang bilang, salah satu alasan mengapa Teguh Karya pantas mendapat predikat maestro adalah film Badai Pasti Berlalu yang ia bikin pada 1977. Film yang diadaptasi dari novel karangan Marga T. yang berjudul sama ini memang satu dari sekian magnum opus Teguh Karya.

Badai Pasti Berlalu mengisahkan kehidupan asmara Siska (Christine Hakim) yang remuk karena batal bertunangan. Sikapnya lantas berubah dingin. Baginya, segala hal tentang cinta adalah omong kosong. Suatu hari muncul Leo (Roy Marten), playboy kedokteran yang mencoba meluluhkan hati Siska. Motivasi Leo, sayangnya, bukanlah cinta melainkan taruhan dengan teman sekampusnya.

Persoalan makin rumit tatkala Leo justru jatuh hati betulan. Belum lagi, Siska kedatangan Helmy (Slamet Rahardjo) yang hendak menikahinya dengan tujuan memeras. Sebab, si ayah Siska diketahui main gila bersama adik Helmy.

Yang tersaji setelahnya ialah gambaran betapa kompleksnya pergumulan Siska demi cinta sejati. Iringan musik latar yang menggugah ciptaan Eros Djarot makin membuat suasana Badai Pasti Berlalu mengharu biru.

Sampai akhirnya, di titik tertentu, kita bakal meyakini bahwa film ini pantas untuk menyabet gelar salah satu film terbaik Indonesia sepanjang masa.

Berawal dari Teater

Teguh karya lahir di Pandeglang, Banten, pada 22 September 1937, dengan nama Liem Tjoan Hok. Ia anak pertama dari lima bersaudara. Di usianya yang ke-10, ia dan keluarganya terpaksa mengungsi ke Jakarta karena konflik etnis yang meletus di kampung halamannya.

Jakarta menjadi permulaan Teguh untuk mengenal dunia seni. Di gereja tempatnya beribadah, ia bergabung dengan kelompok drama yang tampil saban Natal dan Paskah. Pengalaman itu membuat Teguh jatuh hati dengan semesta seni peran. Pada 1954, Teguh merantau ke Yogyakarta untuk kuliah di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi). Dari Asdrafi, Teguh melanjutkan pendidikannya di Akademi Teater Nasional Indonesia (1957-1961), lalu di East West Center Honolulu, Hawaii (1962-1963).

Pada masa itu, seperti dicatat Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Teguh sibuk menggembleng diri dalam seni peran. Selain mengajar di ATNI, ia pun turut serta dalam pelbagai pementasan yang diadakan ATNI. Teguh begitu intens mempelajari olah peran. Ia juga tak ragu menimba ilmu kepada senior macam Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma yang kelak mengilhaminya dalam berkesenian.

Pada 1968 merupakan momen Teguh untuk berdikari tatkala ia mendirikan Teater Populer, teater modern pertama di Indonesia. Pendirian Teater Populer didorong oleh faktor bahwa usai ATNI tutup akibat masalah finansial, tak ada lagi tempat untuk belajar teater. Maka dari itu, Teguh membulatkan tekad guna menciptakan fasilitas berlatih dan belajar ilmu teater.

Teater Populer mulanya bernama Teater Populer Hotel Indonesia. “Hotel Indonesia” disematkan karena mereka banyak tampil di Hotel Indonesia, tempat di mana Teguh bekerja sebagai manajer panggung. Baru pada 1972, bersamaan dengan keluarnya Teguh dari kerja kantorannya, nama Teater Populer Hotel Indonesia berubah jadi Teater Populer.

Pementasan Teater Populer, terang Gaston Soehadi dalam disertasinya berjudul Teguh Karya: A Film Auteur Working within Collective (2015), banyak mengadaptasi naskah klasik karangan Tennessee Williams, Robert Andersen, Noel Coward, Harold Pinter, Nikolai Gogol, August Strindberg, Georg Buchner, dan Hendrik Ibsen. Selain itu, mereka mengusung semangat realisme yang diusung Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma saat mendirikan ATNI pada tahun 1950-an.

Mayoritas anggota Teater Populer adalah anak didik Teguh di ATNI dan beberapa penggiat teater independen. Mereka sering berkumpul di rumah Teguh di Jalan Kebon Kacang, Tanah Abang dari 1972-1980, sebelum pindah ke tempat yang lebih besar di Jalan Kebon Pala yang juga berlokasi di Tanah Abang.

Di markas yang akrab disebut "laboratorium kreatif" itu, Teguh dan anggota lainnya disibukkan oleh berbagai macam aktivitas seperti diskusi, pelatihan peran, penulisan naskah, workshop, pemutaran film, sampai pertunjukkan kecil-kecilan. Antusiasme di Kebon Pala ini diakui salah satu murid Teguh, Nano Riantiarno.

“Setiap jam delapan pagi hingga empat sore, saya dan Slamet [Rahardjo] belajar tentang hal-hal dasar dari seni teater bersama Teguh,” ujar Nano kepada CNN Indonesia.

Kawah candradimuka Teater Populer lantas melahirkan seniman-seniman bernas di eranya seperti Slamet Rahardjo, Nano Riantiarno, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex Komang, Dewi Yul, Ray Sahetapy, Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon, George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, hingga Ninik L. Karim.

Tak cuma bergerak di bidang teater, Teguh bersama Teater Populer juga melebarkan sayapnya ke dunia film. Yang unik, Teguh hanya ingin membuat film dengan para anggota kolektif di Kebon Pala. Ia bersikeras bahwa semua anggota Teater Populer harus terlibat dalam berbagai kapasitas dalam proyek filmnya dengan ia duduk di kursi penyutradaraan. Di sini pula, nama Teguh diakui dunia perfilman Indonesia sebagai sutradara andal.

Total, bersama kolektif Teater Populer, Teguh menghasilkan 13 film: Wajah Seorang Laki-Laki (1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan dalam Semusim (1976), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1978), Usia 18 (1980), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1984), Doea Tanda Mata (1985), Ibunda (1986), serta Pacar Ketinggalan Kereta (1989).

infografik teguh karya

Film-Film Teguh: Melodrama, Diskriminasi Etnis, dan Kelas Sosial

Pada 1960-an, industri film dalam negeri kolaps akibat larangan impor film-film Amerika yang sebelumnya dikampanyekan oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) serta Komite Aksi untuk Boikot Film-Film Imperialis Amerika. Pemboikotan ini sejalan dengan kebijakan Presiden Sukarno yang anti-Barat. Bagi Sukarno, pengaruh Barat dalam sendi-sendi kehidupan negara ibarat virus yang harus dimusnahkan.

Situasi perlahan berubah ketika Orde Baru berkuasa. Di tengah situasi serba krisis, Soeharto membangkitkan kembali industri film. Ia percaya bahwa film mampu menjadi “sumber pendapatan negara melalui pajak penjualan tiket.”

Dari situlah berbagai kebijakan taktis ditempuh. Larangan impor film asing dicabut, aksi kekerasan dan adegan seksual diperbolehkan masuk bioskop guna menarik penonton, hingga menggenjot produksi film nasional yang nantinya bisa membantu mengembangkan ekonomi negara.

Langkah-langkah itu pun menghasilkan capaian signifikan. Dalam kurun waktu 1970-1988, mengutip S.M Ardan lewat Dari Gambar Idoep ke Sinepleks (1992), rata-rata jumlah film yang diproduksi per tahun mencapai angka sekitar 70 judul. Jumlah terbanyak dihasilkan pada 1977 dengan angka 120 judul.

Bergairahnya produksi film nasional itu, menurut David Hanan, peneliti dan pengkaji film Indonesia dari Monash University, memunculkan salah satu genre film yang paling diminati yaitu drama percintaan. Indikatornya adalah kesuksesan film garapan Wim Umboh, Pengantin Remaja (1971), yang dibintangi Sophan Sophiaan dan Widyawati.

Teguh pun terdorong bikin film bertema serupa. Terlebih, debut filmnya, Wajah Seorang Laki-Laki, gagal secara komersil. Agar dapat bertahan di industri film, Teguh akhirnya membuat film-film populer yang menarik perhatian masyarakat.

Niat itulah, sebagaimana ditulis Gaston Soehadi dalam disertasinya berjudul Teguh Karya: A Film Auteur Working within Collective, yang lantas diwujudkan dalam Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), dan Badai Pasti Berlalu (1977) yang berorientasi komersil, penuh melodrama keluarga, serta mengusung narasi konflik kelas sosial.

Dalam “Identitas dalam Film-Film Teguh Karya” Veronica Kusuma mengatakan melodrama khas Teguh dapat disimak lewat sejumlah ciri naratif serta estetika yang berpusat pada keluarga, dari Cinta Pertama, Ranjang Pengantin, Perkawinan dalam Semusim, Badai Pasti Berlalu, Usia 18, Di Balik Kelambu, Secangkir Kopi Pahit, Ibunda, dan Pacar Ketinggalan Kereta.

Ia menambahkan, melodrama Teguh Karya melahirkan sosok sentral (keluarga borjuis) yang sedang mengalami krisis atau ancaman berupa kemungkinan diambilnya sesuatu berharga oleh pihak yang dianggap kurang sesuai dengan standar kelas mereka.

Contohnya: dalam Badai Pasti Berlalu, keluarga Siska berupaya keras agar kehormatan dan kekayaan mereka tidak diambil oleh Helmy. Kemudian dalam Ibunda, Fitri dilarang menjalin hubungan dengan Luke, pemuda asal Papua. Sedangkan dalam Cinta Pertama, Ade yang notabene putri tunggal direktur perusahaan jatuh cinta pada mantan narapidana.

Film-film Teguh, masih menurut Veronica, juga menjajaki ketidakmampuan tokoh utama dalam menghadapi kenyataan. Tokoh utama dalam film Teguh selalu jadi korban yang terus disakiti dan nampak nelangsa. Misalkan, Siska dalam Badai Pasti Berlalu yang berkali-kali hatinya dihancurkan lelaki. Atau Secangkir Kopi Pahit yang memperlihatkan inkompetensi Togar dalam menghadapi berbagai persoalan keluarganya.

Soehadi berpendapat bahwa kombinasi antara kisah melodrama romansa antar kelas yang berulang kali hadir dalam film-film Teguh adalah alasan mengapa karya-karyanya laris. Dua hal itu, tulisnya, memungkinkan Teguh untuk mendapatkan dukungan keuangan dari produser yang memastikan karya-karyanya bakal berlanjut.

Namun, tak sekadar mengangkat narasi kelas sosial dan melodrama semata, film-film Teguh juga menyentil masalah diskriminasi yang diterimanya sebagai keturunan Tionghoa di era tiran Orde Baru. Walaupun tidak menampilkan karakter Tionghoa, pendekatan dan karakterisasi dalam film Teguh, mengutip Veronica, "mencerminkan kebimbangan dan pencarian identitas yang melandanya selaku anak seorang pendatang Tionghoa dan ibu dari golongan pribumi." Dilema identitas tersebut kemudian diubah menjadi konflik psikologis dan (lagi-lagi) keluarga yang menandai keterasingan maupun pencarian.

Krisna Sen dalam “’Chinese’ Indonesians in National Cinema” (2006) yang dipublikasikan Media and the Chinese Diaspora menjelaskan, film Teguh, Wajah Seorang Laki-Laki (1972), berhasil mengisahkan bagaimana kebijakan asimilasionis Orde Baru justru membuat keluarga Tionghoa sulit menjalin hubungan dengan tetangganya. Sen melanjutkan, melalui Wajah Seorang Laki-Laki dan November 1828, Teguh menyampaikan sikap politisnya yang terbentuk oleh pengalamannya sebagai seorang keturunan Tionghoa yang merasakan kebijakan diskriminatif Orde Baru.

Pada akhirnya, Teguh Karya membuktikan bahwa sekali maestro, akan terus jadi maestro. Sepak terjangnya dan rekam karyanya adalah bukti bagaimana ia berproses tanpa henti dalam meramu kreasi yang banyak terinspirasi kondisi sosial-politik di era Orde Baru. Semua ia sampaikan dalam satu wadah bernama keluarga.

"Ia [Teguh] adalah pekerja yang baik. Ia yang mengajarkan kami bagaimana mencintai pekerjaan. Kalau kamu menjadi orang film, maka kamu harus mencintai film itu dengan segala cara. Bagaimana caranya? Kerja keras dan belajar," ujar Slamet Rahardjo kepada CNN.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Film
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf