Menuju konten utama
17 Mei 2008

Dunia Politik Sophan Sophiaan, Tak Seromantis Kisah Filmnya

Panggung juang sang
aktor. Bergerak pelan
melawan zaman.

Dunia Politik Sophan Sophiaan, Tak Seromantis Kisah Filmnya
Ilustrasi Mozaik Sophan Sophiaan. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 17 Mei 2008, tepat hari ini 10 tahun lalu, di jalan raya perbatasan Sragen-Ngawi, Sophan Sophiaan mengalami kecelakaan dalam sebuah konvoi Harley Davidson Club Indonesia (HDCI). Dalam acara bertajuk Tour Jalur Merah Putih yang menyambut 100 tahun Kebangkitan Nasional, ada banyak penggede di sana. Antara lain Mayor Jenderal Purnawirawan Muchdi Purwoprandjono alias Muchdi PR yang jadi penggagas acara.

Sophan memang punya kegemaran pada motor besar. Ia bergabung dengan HDCI yang banyak beranggotakan para penggede. Meski Sophan banyak dikenal sebagai aktor, ia tak jauh dari lingkaran penggede. Sophan adalah mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sejak 1992 hingga 2002. Suryadi, ketua PDI yang dikenal sebagai rival Megawati, adalah orang yang mengajaknya masuk politik.

“Awal tahun 90an, Sophan diajak Suryadi bergabung di PDI,” tulis Ilham BIntang dalam Mengamati Daun-daun Kecil Kehidupan (2007: 1).

Politisi yang Melawan Arus

Sophan Sophiaan bukan orang pertama dalam keluarganya yang masuk dunia politik lalu jadi anggota parlemen. Ayahnya, Manai Sophiaan (1915-2003), adalah politisi dan pernah jadi Sekretaris Jenderal Partai Nasional Indonesia (PNI) yang jadi anggota DPR. Pernah ada mosi bernama Mosi Manai Sophiaan di DPR pada 1950an.

Ayahnya termasuk tokoh pergerakan nasional yang sohor di Sulawesi Selatan era kolonial. Setelah Indonesia merdeka, ia tak hanya pernah jadi anggota parlemen, tapi juga Duta Besar di Uni Soviet pada era Sukarno. Alif We Onggang dalam Tentang Sejumlah orang Sulawesi Selatan (1998:276) menulis bahwa sejak kecil Sophan telah sering berkeliaran di gedung parlemen mengikuti ayahnya untuk melihat orang berdebat di persidangan. Jadi di dunia politik, "itu sudah mendarah daging,” aku Sophan.

Sebagai politisi zaman Orde Baru, Sophan punya sikap terbilang tidak biasa di zaman itu. Jika ayahnya jadi penandatangan Petisi 50 pada 1980 yang mengkritisi Soeharto di kala Orba masih berjaya, Sophan melakukan hal yang serupa. Tahun 1993, ketika Sophan baru setahun jadi anggota DPR, ia sudah menentang pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden. Bersama Megawati Sukarnoputri alias Mega dan Mangara Siahaan, Sophan termasuk salah satu Kelompok 19—sembilan belas anggota DPR yang menolak dalam Sidang Umum MPR 1993.

Meski ia diajak masuk politik oleh Suryadi, Sophan termasuk salah satu pemimpin massa PDI yang menentang Suryadi terpilih jadi Ketua PDI dalam Kongres PDI di Medan pada Juni 1996. Sophan akhirnya dikenal pro Mega. Sebelum ikut Kelompok 19 dan aksi menentang Suryadi, banyak orang mengira Sophan yang selebritas itu hanya akan jadi pemanis di dunia politik. Mereka salah besar.

Setelah Megawati jadi Presiden, Sophan mundur jadi jadi anggota DPR pada 1 Februari 2002. Saat itu, Sophan adalah Ketua Fraksi PDIP dan partainya sedang berkuasa. Sikapnya banyak dipuji. “Pengunduran diri Sophan Sophiaan merupakan pukulan moral yang telak di tengah suasana, di mana PDIP dikesankan sebagai partai yang 'mabuk kekuasaan'.

PDIP juga mempunyai masalah sendiri dengan sorotan publik tentang tingkah laku politik Taufik Kiemas yang dianggap amat berpengaruh, sehingga melampaui posisi pejabat-pejabat eksekutif dalam pemerintahan yang dipimpin oleh isterinya,” tulis Ciil alias Sjahrir dalam Transisi Menuju Indonesia Baru (2004: 15).

Infografik Mozaik Sophan Sophiaan

“Setelah saya jalani, ternyata berada di MPR dan DPR ini bertentangan dengan hati nurani saya,” ujarnya, seperti dikutip dalam buku Partai Politik Rame-Rame Pecah Kongsi: di Saat Ekonomi Terpuruk (2002:157).

Dia kemudian pernah membangun Partai Demokrasi Pembaruan—bersama Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, Roy BB Janis, Sukowaluyo Mintohardjo, Noviantika Nasution, Didi Supriyanto, Tjiandra Wijaya, Postdam Hutasoit dan RO Tambunan. Kebanyakan adalah politisi yang pernah bergabung di PDIP.

Kondang dari Layar Putih

Sebelum diajak masuk ke dunia politik, anak Manai Sophiaan ini dikenal sebagai aktor era 1970-an. Di layar putih alias perfilman, Sophan dikenal sering berpasangan dengan aktris cantik Widyawati. Semua tahu, mereka tak hanya berpasangan di film-film, mereka adalah pasangan di alam nyata. Mereka menikah pada 9 Juli 1972 di masjid Al-Azhar.

Mereka bermain dalam film Pengantin Remaja (1971)yang disutradarai Wim Umboh dan dengan Syumanjaya yang menjadi penulis skenarionya. Di film itu itu Widyawati berperan sebagai Yuli, sementara Sophan berperan sebagai Romi—yang belakangan jadi nama salah satu sulung mereka. Pernah juga dia bermain dalam film silat, tapi masih berbau percintaan, Si Bongkok(1972), yang disutradarai Syumanjaya juga dan turut bersama Widyawati. Dalam film Romi dan Juli (1974), Widyawati dan Sophan Sophiaan bermain bersama lagi.

Pertama kali main film, Sophan Sophiaan dapat peran figuran dalam Bunga-Bunga Berguguran (1971). Seperti Roma, putranya, yang bermain dalam band rock Killed By Butterfly, Sophan juga pernah bermain band. Sebelum terjun ke dunia perfilman, waktu masih belasan tahun, Sophan pernah bermain band bersama Tonny Koeswoyo—dedengkot band legendaris Koes Plus.

Tak hanya jadi aktor film bertema menye-menye percintaan, Sophan juga pernah jadi sutradara. Film Bung Kecil (1978) adalah karyanya sebagai sutradara. Selain Bung Kecil, ada juga Letnan Harahap (1978), Cinta Kasih Mama (1981), Bunga-Bunga Bangsa (1982), juga Kadarwati (1983).

“Dari 18 film yang dibuat, umumnya bertema konflik keluarga. Namun film Bung Kecil (1978) tidak pernah beredar sampai runtuhnya rezim Soeharto,” tulis Alif We Onggang. Bung Kecil adalah film yang menyinggung soal buruh. Film itu baru lulus sensor Badan Sensor Film (BSF) pada 1983 dengan potongan durasi 11 menit. Film idealis Sophan, antara lain di mata JB Kristanto adalah Letnan Harahap, yang bercerita tentang seorang polisi jujur.

“Sikap dan pemikiran seperti dalam film Letnan Harahap itu yang diwarisi dan dihidupinya ketika ia masuk dunia politik,” tulis Kristanto di rubrik Sosok koran Kompas (18/05/2008) dengan judul Sophan Sophiaan: Bintang yang Bersih, Nasionalis yang Lurus.

Sophan Sophiaan akhirnya tersadar jika di dunia nyata, terutama dunia politik, banyak hal tidak bisa seidealis yang dia inginkan. Dia hanya bisa memperjuangkannya meski pada akhirnya harus kecewa di lingkaran kekuasaan.

Baca juga artikel terkait AKTOR atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Mild report
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono