tirto.id - Koeswoyo adalah bagian penting dari musik Indonesia. Anak-anak dan cucu-cucunya telah mengambil bagian penting dalam sejarah musik Indonesia. Mereka mewarisi jiwa seni dari Koeswoyo. Meskipun Koeswoyo sendiri notabene bukanlah seorang musisi. Ia adalah seorang pegawai yang hobi bermain gitar.
Koeswoyo muda cukup beruntung karena bisa mengenyam pendidikan di zaman Belanda. Ia adalah lulusan MULO (SMP zaman Belanda). Setelah lulus dari MULO, Koeswoyo berniat bekerja di ANIEM, dan akan ditempatkan di Banjarmasin. Lantaran Koesman, ayah Koeswoyo, yang mantan Kepala Penjara Tuban, tidak mau jauh dari anaknya, Koeswoyo akhirnya dia menganggur sebentar dan jadi juru tulis di Kabupaten Tuban.
Menurut Koesnomo alias Nomo, di masa mudanya, ketika musik hawaiian sedang berjaya, Koeswoyo merupakan salah satu pemain gitar di sebuah orkes hawaiian. Namun, bermain gitar hanya untuk melampiaskan hobi, bukan untuk gantungan hidupnya.
Koeswoyo menikahi dengan perempuan pilihan ibunya. Atmini, perempuan itu, adalah salah keponakan Bupati Tuban. Di zaman pendudukan Jepang, setelah anak-anak laki-lakinya yang belakangan jadi anak band lahir, Koeswoyo diangkat menjadi Camat di Krek. Setelah Proklamasi, Koeswoyo didepak kembali ke kantor kabupaten. Namun, ketika tokoh Masyumi, Haji Mustain jadi bupati, Koeswoyo jadi Camat Krek lagi.
Desember 1948, Koeswoyo digrebek Militer Belanda. Dia diberi pilihan oleh perwira Belanda: “mau meneruskan pemerintahan di bawah kekuasaan militer (Belanda) atau kamu saya tangkap sebagai pejuang Republik?” cerita John dalam buku sejarah lisan Siapa Dia? Tokoh Seni Indonesia terbitan Arsip Nasional Republik Indonesia (2013). Karena anaknya banyak dan masih kecil-kecil, Koeswoyo memilih menuruti Belanda. Namun, diam-diam dia juga membantu pihak Republik. Bantuan diam-diam itu membuat Koeswoyo nyaris ditangkap Militer Belanda. Namun, Koeswoyo selamat karena keburu terjadi gencatan senjata dan setelahnya ada pengembalian kedaulatan.
Setelah pengembalian kedaulatan, Koeswoyo ditarik ke Departemen Dalam Negeri. Setelah tiga tahun di Jakarta seorang diri, Koeswoyo memboyong semua anggota keluarganya di Tuban hijrah ke Jakarta. Anak-anaknya mulai dewasa dan juga menikmati musik pop barat.
Sebagai orang mapan dengan profesi pegawai, Koeswoyo tak rela anaknya jadi musisi. Padahal Koeswoyo sendiri pernah bermain musik waktu muda. Koeswoyo pernah marah ketika John dan adiknya Koestono alias Tonny, ke Solo untuk beli alat-alat band. Koeswoyo takut musik akan merusak hidup anak-anaknya. Namun, John punya pertimbangan yang tak kalah penting, jika tidak bermusik, adik-adiknya justru akan keluyuran dan berpeluang jadi crossboy (anak nakal).
Beruntung sekali, Koeswoyo yang tidak suka anak-anaknya main musik itu bekerja di Solo. Menurut buku Panggung Kehidupan Yon Koeswoyo (2005), rumahnya yang di Jakarta ditempati anak-anak laki-lakinya yang keranjingan musik. Beruntungnya lagi, John sebagai anak tertua dan sudah bekerja, sebagai kontraktor di HI, membelikan alat-alat musik juga. Padahal John sudah menikah.
Setelah alat musik itu tiba di Jakarta, setiap sore adik-adik John tak keluyuran. Mareka pun makin serius bermusik. Di zaman Koeswoyo muda tak ada musisi kaya, kebanyakan malah melarat. Sayangnya, anak-anak laki-lakinya menyukai musik melebihi hal apapun di zaman itu.
Anak-anak Koeswoyo dan Sejarah Musik Pop
Dari semua anak laki-lakinya, Tonny, anak nomor empat, adalah yang paling gila musik. Dua adik laki-laki paling muda, Koesyono alias Yon dan Koesroyo alias Yok, diajari bermusik. Keduanya dilatih sebaga penyanyi. Semula hanya John, Tonny, Yon dan Yok berlatih sebagai band. Sementara Nomo sedang bekerja di Surabaya. Nomo baru pulang setelah saudara-saudaranya asyik main band di rumah mereka di Jakarta. Semula band keluarga itu bernama Koes Brothers atau Koes Bros.
Sebelum bermusik dengan saudara-saudaranya, menurut Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia (2015), Tonny sudah belajar bermain musik sejak remaja. Di SMA dia membentuk band Gita Remaja. Pernah juga, bersama Jan Mintaraga dan Sophan Sophian membentuk Teenage's Voice dan Teruna Ria. Bersama band-band remaja itu, Tonny tidak bertahan lama. Jan belakangan terkenal sebagai komikus, sementara Sophan belakangan jadi bintang film dan politisi. Sementara Tonny terus bermusik.
Menurut buku Apa dan Siapa Orang Indonesia (1981), Tonny Koeswoyo pernah kuliah sebentar di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Rawamangun, yang kala itu bagian dari Universitas Indonesia dan belakangan menjadi Universitas Negeri Jakarta. Jika lulus, barangkali Tonny akan jadi Guru Bahasa Inggris. Namun Tonny hanya sampai tingkat tiga saja. Tonny muda sempat bekerja di Perusahaan Perkebunan Nusantara. Namun keluar ketika dia merasa harus fokus menulis lagu.
Titik terang Tonny dan saudara-saudaranya terlihat setelah Tonny bertemu Irama Record milik mantan Komodor Angkatan Udara Sujoso Karsono dengan supervisor musisi legendaris Jack Lesmana. Menurut Budi Setiono dalam artikel Ngak Ngik Ngok di buku Jurnalisme Sastrawi (2008), keduanya menantang Tonny dan saudara-saudara untuk membuat lagu sendiri setelah mendengar lagu "Terpesona" dan Wenny.
Hal itu disanggupi Tonny. Kala itu, jarang ada musisi yang membawakan lagu bagus ciptaan sendiri. Kebanyakan mendaur ulang lagu-lagu yang sudah ada. Rekaman pertama Tonny dan saudara-saudaranya itu, menurut tulisan Denny Sakrie, terjadi tahun 1962. Ketika di Inggris Beatles mulai merajai industri musik.
Tonny--yang wafat pada 27 Maret 1987, tepat hari ini 35 tahun lalu--dan saudara-saudaranya dibantu Jan Mintaraga dan Iskandar membantu mengisi drum karena Nomo belum begitu mahir. Setelah rekaman lagu-lagu yang ditulis Tonny, maka nama Koes Bros berganti menjadi Koes Bersaudara. Namun, John akhirnya mundur karena dia makin sibuk dengan pekerjaannya. Band ini tinggal berempat, Tonny pada gitar melodi, Nomo pada drum, Yon pada gitar pengiring ,dan Yok pada bass.
Tonny jujur mengaku terpengaruh musik Everly Brother dan sejenisnya di cover album pertama mereka. “ kalau seandainya dalam penyajian musik saya, Saudara menemukan pengaruh-pengaruh dari penyanyi Barat terkenal seperti Kalin Twin dan Everly Brothers, atau barangkali asosiasi saudara dalam mendengar musik kami tertuju ke arah mereka, itu tidak kami sangkal dan salahkan mereka karena memang merekalah yang mengilhami kami.”
Lagu-lagu mereka di awal-awal masuk industri musik antara lain: Senja, Telaga Sunyi, Pagi Yang Indah Sekali, Bis Sekolah dan lainnya. Mereka belum langsung kaya dengan album dan singel-singel pertama mereka. Terkadang mereka harus manggung di panggung-panggung kecil. Seperti hajatan kawinan, pesta ulang tahun bahkan acara sunatan. Setelah manggung dan membawakan lagu I Saw Her Standing There milik Beatles, mereka dipenjara tanpa pengadilan, dan baru bebas setelah G 30 S.
Koes Bersaudara jadi band pertama yang pertama kali muncul dalam sejarah pidato Presiden Republik Indonesia. Karena Koes Bersaudara dianggap kebarat-baratan, Presiden Soekarno pun memberikan peringatan."Jangan seperti kawan-kawanmu, Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu Indonesia kenapa mesti Elvis-elvisan?,” katanya.
Setelah bebas, mereka rekaman album To The So Called The Guilties di Dimita Record pada 1967. Album kali tak seceria di tahun 1962an. Lagu-lagunya ditulis dari dalam penjara. Lagu Jadikan Aku Dombamu boleh dibilang agak psikedelik. Meski kesederhanaan yang menjadi ciri khas anak-anak Koeswoyo ini masih terasa seperti di album sebelum dan sesudahnya. Bedanya agak melankolis dan mengawang-ngawang liriknya.
Nomo kemudian keluar dari band, karena ingin serius berbisnis. Yok pun juga ikut ogah-ogahan bermusik. Sementara waktu, Tonny dan Yon yang masih serius. Mereka berdua lalu mengajak Totok AR untuk bermain bass dan Kasmuri alias Murry mengisi untuk sementara. Setelah Yok berhasil mau ikut lagi, Totok pun cabut. Murry bertahan. Nama Koes Bersaudara tak bisa dipakai karena tak ada Nomo. Karena ada Murry mereka pun memakai nama Koes Plus.
Kehadiran Murry, yang semula main di band Patas, membuat band ini lebih berbeda dari Koes Bersaudara. Pukulan drum Murry lebih bertenaga dan penuh variasi. Begitu tulis buku Musisiku (2007). Gebrakan pertama Koes Plus adalah album Dheg Dheg Plas (1969). Sayangnya kurang kurang diapresiasi publik.
Padahal, di album ini ada lagu-lagu Koes Plus yang belakangan mengabadi seperti Manis dan Sayang, Derita, Kembali Ke Jakarta dan Cintamu Tlah Berlalu. Namun, album-album setelahnya meledak dan laris manis bak kacang goreng. Meski dicap lagu gampangan oleh musisi-musisi yang dianggap idealis. Koes Plus pun rajin menelurkan puluhan album.
Rupanya, Nomo yang keluar dari band tak bisa jauh dari musik. Nomo pun terjun ke bisnis rekaman dan membangun band baru bernama No Koes. Bahkan membuat band dengan nada mirip Bimbo dengan nama No Bo. No Koes sempat membuat album. Koes Bersaudara bahkan sempat diaktifkan lagi bersama Nomo.
Tonny berusaha menjadikan band berbasis keluarga ini sebagai band produktif membuat lagu. Tak sekadar membuat lagu “kacang goreng” yang laris manis di pasar, Tonny berusaha membuat lagu yang memperlihatkan sisi keindonesiaan di masa jayanya.
“Tonny Koeswoyo tak hanya seorang pemusik yang terampil bermain gitar, main keyboard, bikin lagu, dan menyanyi sekalipun, tapi Tonny Koeswoyo pun seorang visioner,” tulis Denny Sakrie. Tonny di tahun 1970-an, tidak lagi terpengaruh musisi barat seperti dekade sebelumnya. Tonny tak seperti dalam pandangan Soekarno di tahun 1965. Di masa orde baru, Tonny adalah musisi paling produktif se-Indonesia.
Generasi Ketiga Koeswoyo
Koeswoyo barangkali harus geleng-geleng kepala akan sukses anak-anaknya di dunia musik. Jadi musisi itu bisa dipuja orang, namun seringkali akan miskin. Menurut Jacky Chauzaky dkk, Koes Plus: Dari Pagi Hingga Senja (2000), Koeswoyo pun menulis lagu Penyanyi Tua, Muda Mudi, Layang Layang yang dimainkan Koes Plus.
Tak hanya Koeswoyo senior yang membuatkan lagu untuk anak-anaknya di Koes Plus. Nomo pun juga membuatkan lagu untuk putri sulungnya Mirza Riadiani Kesuma. Nomo, yang menurut John berbakat jadi makelar, berhenti bermusik karena harus serius mencari uang untuk anak. Rupanya bisnis Nomo akhirnya tak jauh dari musik. Nomo ditunjuk manajer Yukawi Record.
Nomo melihat potensi dari anaknya. Dengan nama panggung Chicha Koeswoyo, putri sulungnya itu menyanyikan Helii (1976). Saudari Chicha, Hellen juga pernah menyanyi ketika kecil.
Selain anak Nomo, anak Yon, Gerry, juga ikut jadi penyanyi anak. Dua album sekaligus namun gagal dipromosi. Sayang Gerry kalah sukses dan sekolahnya justru terganggu. Yon menyesali hal itu. Anak Yok, Herning Hapsari atau Sari Koeswoyo, juga ikut bernyanyi. Album pertamanya Kemarau dirilis Golden Record.
Kiprah Sari tidak semelejit Chicha. Sari juga belakangan justru terjun sebentar di layar kaca setelah dewasa. Angga Koeswoyo, adik Sari juga pernah ikut berduet dengan Sari. Kejayaan keluarga besar Koeswoyo ini di dunia musik terjadi di tahun 1970an. Setelahnya mereka masih eksis, meski agak menurun popularitasnya.
Anak-anak laki-laki dari Tonny, Yok, Yon bahkan dibantu anak John dan anak saudari mereka bernama Miyiek, pernah mengibarkan bendera Koes Plus Junior. Dalam band ini terdapat juga Angga anak Yok. Sayangnya, Angga meninggal di usia muda. Lalu muncul David anak Yon, bersama anak Murry, Rico, mengibarkan bendera Junior.
Damond, anak Tonny juga pernah ikut disini. Band ini kadang diisi musisi di luar keluarga besar Koes Plus. Damond juga pernah ikut memperkuat Koes Plus setelah Tonny meninggal. Meski Koes Plus tidak seproduktif seperti di tahun 1970an. Kebanyakan hanya meramaikan panggung. Di luar band yang terkait Koes Plus, Damond pernah bermain bersama Katrina Kidnap dan Rico Murry bersama Scope. Anak-anak ini memainkan alat band yang juga dimainkan oleh ayah mereka.
==========
Artikel ini sebelumnya terbit pada 9 September 2016 dengan judul yang sama. Redaksi melakukan penyuntingan ulang untuk rubrik Mozaik.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Fadrik Aziz Firdausi