tirto.id - 212: The Power of Love adalah film yang miskin konteks.
Drama keluarga tentang hubungan ayah dan anak ini mengambil latar Aksi Bela Islam II (sering disebut “aksi 411”) dan Aksi Bela Islam III (atau “Aksi ‘Super Damai’ 212”)—dua peristiwa yang sampai hari ini terekam kuat di ingatan warga Jakarta bahkan Indonesia secara umum, dan terus aktual untuk dibicarakan.
Namun, sejak awal, kita justru diajak untuk melupakan konteks politik gerakan protes yang hanya ditampilkan sesaat melalui siaran berita di televisi. 212 The Power of Love (selanjutnya Power of Love) rupanya malu-malu menjelaskan mengapa ribuan (mungkin jutaan) orang bisa bergerombol di Monas untuk memprotes sesuatu yang mereka yakini sebagai “penistaan agama”.
Sasaran demonya pun tak jelas. Tak disebut siapa yang “menista agama”. Hanya ada petunjuk samar bahwa “umat” bergerak karena penyataan seorang pejabat yang dianggap “menghina Islam”. Respons “umat” diwujudkan dengan jalan kaki ke Monas atas nama cinta. Cinta apa? “Cinta Allah dan cinta Quran, kira-kira itulah yang terus diulang oleh Ki Zainal dan sejumlah karakter lain dalam Power of Love.
Nama pejabat yang dituduh menghina Islam serta proses kemunculan tudingan itu sendiri bahkan tak diungkit. Juga, tak disinggung sedikit pun konteks Pilkada Jakarta yang melatarbelakangi aksi 212.
Tentu mustahil memisahkan protes 212 dari Pilkada Jakarta ketika anjuran semacam “jangan pilih gubernur kafir” atau “jangan pilih calon penista agama” terus digaungkan menjelang, ketika, dan setelah aksi—kendati para penggeraknya bersikeras bahwa protes mereka tak ada hubungannya dengan Pilkada dan politik nasional.
Pengaburan konteks ini jelas mengherankan. Padahal itulah yang mengikat Power of Love dengan penontonnya. Lagipula, untuk sebuah gerakan yang terus dibanggakan para alumninya karena telah membikin keok seorang petahana dan mengirimnya ke penjara, tidakkah mengherankan jika unsur-unsur kunci dalam gerakan itu justru tidak dihadirkan?
Jawabannya mungkin sangat sederhana: persis seperti gerakan 212, Power of Love berusaha untuk tampil apolitis, padahal politis. Jika gerakan 212 selalu mem-branding diri sebagai gerakan dakwah seraya menyangkal hubungan antara Aksi Bela Islam dan Pilgub Jakarta 2017, demikian pula filmnya yang tampil apolitis lewat jualan konflik bapak-anak dan kesalehan individual dengan embel-embel cinta.
Memang benar ada orang-orang yang tulus ikut protes 212 dan sama sekali tak mengira aksi ini dipolitisir. Namun, hari ini, siapa bisa menyangkal konsekuensi sosial dan politik Aksi Bela Islam? Siapa pula yang tak mengamini bahwa sejumlah politisi bergabung dalam aksi itu?
Hampir dua tahun pasca Aksi Bela Islam jilid II, rasanya percuma pura-pura polos—kecuali jika kepolosan semacam itu memang menguntungkan secara politis dan, well, komersil.
Dus, alih-alih berjudul 212: The Will to Power, jadilah film 212: The Power of Love.
Drama Keluarga
Jadi, begini ceritanya.
Fauzi Baadila memerankan Rahmat, seorang jurnalis yang congkak lagi sinis pada agama. Rahmat, lulusan Harvard yang mengklaim pernah didapuk jadi jurnalis terbaik di Indonesia, percaya bahwa agama kerap diperalat politisi. Dalam sebuah laporan utama yang dimuat Majalah Republik, tempatnya bekerja, ia menuding aksi-aksi “bela Islam” yang marak di Jakarta pada 2016-2017 lalu telah ditunggangi politisi.
Di tengah-tengah kesibukannya di lapangan, ia diberitahu bahwa ibunya baru meninggal. Bersama, Adhi, kawannya yang gondrong, eksentrik, lagi saleh, Rahmat langsung berangkat ke Ciamis, kampung halaman yang sudah 10 tahun ia tinggalkan.
Lingkungan di sekitar rumah orangtua Rahmat teramat agamis. Yasna, kawan masa kecil Rahmat, mengajari anak-anak kampung mengaji tiap sore. Adik Yasna adalah aktivis Rohis di sekolah yang bercita-cita melanjutkan pendidikan ke Al-Azhar, Mesir. Ayah Rahmat sendiri, Ki Zainal, ternyata seorang ulama yang cukup kondang.
Konflik dimulai ketika Rahmat keberatan dengan rencana ayahnya ikut jalan kaki ke Jakarta untuk aksi 212 di Monas. “Abah ‘kan sudah tua, sakit-sakitan. Nanti kalau di jalan pingsan, siapa yang nolong? Udah naik mobil aja,” desak Rahmat seraya menawari tumpangan. Namun, karena Ki Zainal terus ngotot ikut long march, Rahmat pun terpaksa menemaninya. Di tengah jalan, ia mendapat informasi bahwa aksi 212 dirancang untuk memancing kerusuhan besar dengan tujuan makar. Skenarionya, ucap Rahmat, “seperti 1998.”
Setelah beberapa kali cekcok dengan Zainal, Rahmat akhirnya berubah sikap. Lambat laun ia terenyuh, lantas kembali ke pangkuan Islam dan keluarganya.
Gara-Gara Karl Marx
Dalam balutan drama keluarga, relasi dan watak antarkarakter dalam Power of Love dirancang untuk merespons pro dan kontra yang berlangsung di masyarakat luas seputar Aksi Bela Islam. Konflik yang bergulir adalah konflik nilai, lebih khususnya lagi perbedaan pandangan tentang agama. Rahmat dan ayahnya mewakili dua kutub yang saling berseberangan.
Ki Zainal merepresentasikan segala hal yang dilawan oleh Rahmat. Sementara Rahmat mewakili apapun yang bertentangan dengan keyakinan dan kebiasaan sehari-hari bapaknya. Ki Zainal hidup rukun dan guyub bersama tetangga, sementara Rahmat tak punya banyak teman.
Ki Zainal ulama, Rahmat agnostik. Ki Zainal percaya bahwa agama adalah sesuatu yang sakral dan perlu dirawat dengan cinta. Rahmat yakin jika agama sekadar alat yang sering dipakai politisi untuk memanipulasi umat demi dukungan politik. Jalan hidup Rahmat juga sengaja dikontraskan dengan orang-orang di kampungnya dan yang ia temui ketika long march. Misalnya lewat penegasan berulangkali bahwa Rahmat kuliah di Harvard, sementara adik Yasna yang anak rohis ingin lanjut belajar agama di Al-Azhar.
“Agama”, “Allah”, “Rasul”, “Quran” adalah istilah-istilah yang sering dibicarakan Pak Zainal dan orang-orang saleh di Power of Love. Sementara kata yang berkali-kali diumbar Rahmat adalah “ideologi”. Namun, sebenarnya apa ideologi yang diyakini Rahmat? Film ini tak secara lugas menjawab. Hanya menyiratkan saja.
“Saya nggak takut diancam entah oleh ulama, aparat, dan politisi karena ideologi saya,” tegasnya kepada Adhi sambil memandangi foto-foto Karl Marx di layar komputernya. Di lain waktu dia bilang, “Kuliah itu waktu di mana lo bisa bebas menuangkan ideologi lo, berorganisasi.”
Dalam sebuah percakapan soal agama, Rahmat mengatakan: “Agama adalah napas orang-orang yang putus asa”, seakan merujuk pada kalimat tersohor Marx yang berbunyi “Religion is the sigh of the oppressed creature…”.
Di lain waktu, ketika Rahmat sedang jalan bersama teman perempuannya, ia bilang: “Gue hanya mau menghabiskan waktu dengan orang-orang bisa gue ajak ketawa, yang peduli sama gue, yang mau bantu ketika susah.” Sang kawan membalas sambil senyum-senyum: “Well, Karl Marx.” Tak cuma sekali, kalimat yang sama ia ucapkan lagi menjelang film selesai.
Sisipan-sisipan kecil itu ingin menunjukkan bahwa Rahmat adalah seorang Marxis—atau setidaknya pembaca hardcore karya-karya Marx.
Sedikit catatan untuk biro riset film ini. Kalimat asli yang dua kali dikutip Rahmat berbunyi: “Surround yourself with people who make you happy. People who make you laugh, who help you when you’re in need. People who genuinely care. They are the ones worth keeping in your life. Everyone else is just passing through.”
Sayangnya, kutipan yang sering direpro dalam banyak postingan Tumblr itu bukan berasal dari Karl Marx (1818-1883), sang filsuf Jerman yang gambarnya muncul di layar komputer Rahmat, melainkan dari KarlMarx (1897-1985), seorang komposer fasis Jerman penggubah mars-mars Pemuda Hitler. Jauh sekali toh?
Karakter-karakter sekuler selain Rahmat, mulai dari Pemred Majalah Republik dan kawan perempuan Rahmat yang non-Muslim, tidak digambarkan keras menentang agama. Mereka sekadar skeptis apabila aksi tersebut benar-benar murni demi agama. Jadi dari manakah sinisme Rahmat berasal? Tentu dari Karl Marx.
Meski salah kutip, Power of Love rupanya sedang memainkan salah satu klise terbesar dalam politik Indonesia: orang yang mengkritik peran agama dalam politik pasti ateis, ateis jelas komunis, komunis tentulah anti-agama. Tentu peristiwa 1965 dan warisan Orde Baru-lah yang membuat Marx—alih-alih ateis proto-fasis macam Nietzsche atau ateis neokonservatif seperti Christopher Hitchens—jadi sasaran empuk di sini. Dan mungkin inilah cara termudah menanggapi kritik terhadap 212: melabeli si pengkritik sebagai komunis, ateis, atau PKI.
Berakhirkah cobaan untuk kaum Marxis di sini? Ternyata belum.
Sekali lagi, pangkal dari konflik nilai ini adalah perdebatan tentang “penyalahgunaan agama” vs “cinta agama”. Sikap cinta agama dalam Power of Love ditunjukkan oleh orang-orang saleh dan penuh cinta, sementara tesis “penyalahgunaan agama” dipegang teguh oleh seorang Marxis dengan masa lalu yang bermasalah, penuh kebencian, terkucil dari pergaulan—dengan kata lain: semua sifat yang diwakili Rahmat.
Setelah berusaha menjelaskan—lengkap dengan salah kutipnya—mengapa Rahmat benci agama, bagian akhir film ini mengungkap kenapa Rahmat menjauhi keluarganya sendiri. Alkisah, karena pernah tak sengaja membakar sebuah surau, Rahmat kecil dikirim ayahnya ke pesantren. Ketika berusia 16 tahun, ia pun semakin dijauhkan dari rumah setelah mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan menewaskan adiknya.
Rupanya memang berat jadi Marxis di Indonesia. Selain menanggung stigma “ateis”, “pembunuh Jenderal”, “pembenci agama”, mereka juga harus ditampilkan sebagai manusia durhaka dan brutal sejak kecil.
Upaya Menetralisir Kebencian
Ketika protes 212 pecah di Jakarta, ada banyak orang menyayangkan penggunaan slogan-slogan rasis seperti “Ganyang Cina”. Tak sedikit pula pihak (dari berbagai latar belakang) yang mengecam aksi tersebut dengan argumen bahwa gerakan ini mengeksploitasi sentimen agama untuk pemenangan pilkada. Video intimidasi sejumlah peserta aksi terhadap seorang wartawan Metro TV juga sempat viral.
Power of Love memang tak sepenuhnya menyangkal isu kebencian yang dilayangkan kepada gerakan 212. Film ini justru menyertakan tindak kekerasan oleh beberapa aktivis 212 yang kemudian dikritik oleh pegiatnya sendiri. Di awal film, Rahmat diintimidasi akibat menulis secara kritis tentang Aksi Bela Islam. Di tengah-tengah aksi, ia dituduh sebagai provokator yang memfitnah bahwa 212 adalah gerakan makar. Sang jurnalis kemudian diselamatkan oleh Yasna, yang membentak para perisak Rahmat dan mengingatkan bahwa “Islam itu agama damai", bahwa Rahmat tak sungguh-sungguh tahu apa yang dia kritik.
Sutradara Jastis Arimba juga menyelipkan adegan (dari kisah nyata) pernikahan pasangan Kristen di Gereja Katedral yang berlokasi di sekitar Monas. Para pendemo diperlihatkan menyediakan jalan bagi pasangan pengantin itu begitu keluar dari gereja. Jastis pun menambahkan sekuens pembicaraan Ki Zainal dengan kawan akrabnya, seorang pedagang bakso yang kebetulan beretnis Tionghoa. Ki Zainal menjelaskan bahwa protes 212 tak memusuhi warga Tionghoa. Selain itu, ada pula kawan perempuan Rahmat yang bertugas meliput protes 212 namun merasa ragu karena statusnya sebagai non-Muslim. Keragu-raguannya pupus manakala ia diperlakukan secara sopan oleh peserta aksi.
Solusi-solusi cepat inilah yang diharapkan mampu menjawab kritik bahwa protes 212 menciptakan gelombang baru rasisme di Indonesia, seraya menggambarkan bahwa para peserta Aksi Bela Islam punya kapabilitas otokritik dan disiplin untuk menjaga gerakan agar tak tercoreng oleh tindakan tak bertanggungjawab.
Cukupkah? Mungkin cukup buat simpatisan 212—target penjualan tiket film ini—namun tidak untuk orang-orang biasa yang merasa dirugikan oleh ujaran-ujaran rasis pasca-protes Monas, serta siapapun yang kritis terhadap eksploitasi sentimen agama dalam politik elektoral. Lalu apa kompensasi buat mereka?
Dalam semesta Power of Love, siapapun yang mengkritik dan menentang gerakan 212—atau praktik politisasi agama secara umum selama Pilgub Jakarta—bukan Cina, bukan Kristen, bukan non-Muslim, melainkan pembaca Karl Marx dan orang sekuler dengan masa lalu yang traumatik. Maka, kritik-kritik terhadap gerakan 212—dan konsekuensinya, tafsir dan praktik keagamaan yang menindas dan diskriminatif—takkan dipandang berangkat dari studi dan refleksi mendalam tentang relasi agama dan politik, melainkan bersumber dari perasaan dengki si pengkritik.
Jadi, kira-kira pesan moral Power of Love adalah: semua orang terlahir suci, agamis, dan mendukung Aksi Bela Islam sampai ia baca "Karl Marx" dan/atau punya masa lalu kelam.
Editor: Suhendra