tirto.id - Raffi Ahmad kini menjelma sebagai salah satu artis paling berlimpah harta. Situs humor Mojok.co pernah bikin spekulasi kasar mengenai pemasukannya. Hasilnya bikin periset tulisan mules dan nyaris BAB di celana: puluhan miliar rupiah per bulan.
Raffi membintangi sejumlah acara televisi, laris jadi bintang iklan, hingga meraup uang endorsment yang konon mencapai puluhan juta per unggahan di media sosial. Di luar itu semua, sebagaimana artis-artis lain, ia juga bikin waralaba lintas sektor bisnis—pakaian, makanan, makanan ringan, pakaian, dan lain sebagainya.
Pada Oktober kemarin, melalui akun Instagram, Raffi memperkenalkan rumah produksi film barunya, RA Pictures. Mula-mula ia mengunggah acara peresmian bisnis baru ini dan tawaran casting untuk siapapun yang berminat main di proyek layar lebar perdana.
Modal melimpah Raffi bekerja dengan baik kali ini, ditandai dengan direkrutnya nama-nama tenar seperti Marshanda, Roy Marten, dan lain-lain, termasuk istrinya sendiri, Nagita Slavina.
Indonesia kini punya banyak sineas dengan talenta yang mampu memenangkan hati penonton sekaligus kritikus film—termasuk mengharumkan nama negeri di tingkat internasional. Tapi RA Film tidak (semoga belum) melirik mereka. Kursi sutradara justru jatuh ke tangan Arie Azis.
Browsing barang sebentar, Anda akan menemukan reputasinya yang telah membidani kurang lebih 11 film dengan dua tema utama: horor, esek-esek, atau kombinasi keduanya.
Oleh Rafi ia ditugaskan mengangkat lagi hantu di film layar lebar pertama Arie, Suster Ngesot (2007), ke dalam bentuk baru bertajuk The Secret: Suster Ngesot Urban Legend (2018).
Film-film Arie lain diberi judul yang sejak lama jadi bahan guyonan warganet: Tali Pocong Perawan (2008), Tiran: Mati di Ranjang (2010), atau Istri Bo'ongan (2010).
Arie menjajaki makhluk gaib jenis kuntilanak, hantu yang konon menghuni Jembatan Ancol, juga demit di pasar malam, hingga jualan tubuh artis-artis molek dengan kualitas akting medioker bahkan jongkok.
Tak Terkecuali The Secret
Film ini diawali dengan kepulangan Kanaya (Nagita Slavina) ke Indonesia setelah kuliahnya di Melbourne, Australia, selesai. Sayangnya, di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, ayah Kanaya, Wildan (Roy Marten), menggandeng istri baru bernama Sofie (Tyas Mirasih).
Baru di permulaan, saya terkesima dengan ekspresi kaget Kanaya saat pertama kali melihat Sofie. Slow motion, zoom in area muka, sambil diiringi scoring super-dramatis.
Anda paham dari mana semua gaya ini berasal 'kan?
Adegan-adegan selanjutnya menunjukkan betapa elit kesan yang ingin Raffi Ahmad suguhkan ke penonton. Ada pesta di sebuah rumah super-mewah, dengan orang-orang yang membawa mobil-mobil sport yang diparkir di halaman bak sedang pameran. Raffi, yang berperan sebagai Tedi Ahmad, jadi sorotan utama dengan menunggang BMW seri i8 warna biru.
Tedi adalah bekas pacar Kanaya. Keduanya putus jelang keberangkatan Kanaya ke Melbourne, namun Tedi setia menunggu kepulangan Kanaya. Ia tak ragu untuk mengungkapkan rasa cinta yang masih bersemayam di hati. Lalu muncullah dialog dimabuk asmara yang dikomunikasikan secara verbal dan super-eksplisit oleh kedua tokoh.
Di titik ini penonton paham bahwa bumbu utama dari The Secret bukan cuma kisah horor, melainkan juga percintaan Tedi dan Kanaya. Dan sebagaimana kisah drama lain yang memerlukan konflik, Tedi dan Kanaya terseret pertengkaran karena satu hal klise: Sofie mabuk berat di pesta, peluk-peluk Tedi, Kanaya ngambek, lalu cabut dari party.
Kanaya mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Tedi mengejarnya. Tiba di sebuah pinggiran kota dengan hutan lebat di sepanjang jalan, sekelebat bayangan hitam tiba-tiba muncul di depan mobil Kanaya. Kanaya banting setir, dan kembali memakai teknik slow motion khas sinetron. Pendeknya, mobil Kanaya menabrak pohon.
Kanaya bangun di sebuah rumah sakit dan di sinilah ia mulai diganggu hantu perempuan yang jalannya “ngesot”. Setelah itu jumpscare demi jumpscare berlanjut hingga film selesai.
Barangkali memang tak perlu berharap banyak dari The Secret. Film ini dipenuhi ihwal yang tak logis. Tempat Kanaya dirawat, misalnya, adalah jenis rumah sakit yang amat reyot. Kontras sekali dengan latar kenyataan bahwa Tedi dan Kanaya berasal dari keluarga ekonomi kelas atas.
Apakah karena darurat sehingga cari yang terdekat? Tapi mengapa Kanaya tak kemudian dirujuk ke rumah sakit elite sampai ia diperbolehkan pulang? Ataukah kecelakaan telah membuatnya insyaf, bunuh diri kelas, lalu jadi proletariat dalam waktu semalam?
Ruangan menginap Kanaya juga bukan kamar eksklusif. Ia sekamar dengan beberapa pasien lain dengan hanya dibatasi selembar korden. Salah satunya nenek berwajah seram yang pada suatu malam berjalan sendiri, diikuti Kanaya, suster ngesot mengganggunya, dan keesokan hari si nenek sudah meninggal.
Penjelasan paling masuk akal dari pemilihan rumah sakit tua ini adalah ... supaya film kelihatan seram.
Demikian juga saat Kanaya memutuskan untuk tidak pulang ke rumah Wildan, tapi ke sebuah vila sepi milik neneknya, di pelosok wilayah Jawa Barat (dengan tetangga sekitar yang fasih berbahasa Sunda).
Di rumah yang cukup terpencil, tempat Kanaya menghabiskan masa kecil bersama ibunya yang sudah meninggal, ia masih diteror oleh suster ngesot. Misteri lain hadir dari dua sosok yang jadi teman baru Kanaya: anak kecil dari tetangga sebelah bernama Lala, dan guru les privatnya, Marsha (Marshanda).
Latar tempat, karakter, hingga kemunculan arwah Ibu Kanaya yang memperingatkan putrinya akan bahaya si suster ngesot membuat The Secret terlihat berusaha untuk menduplikasi banyak elemen dari Pengabdi Setan (2017). Film horor Indonesia terlaris sepanjang masa itu memang membangkitkan lagi tren film horor dalam beberapa bulan terakhir—yang sayangnya rata-rata berkualitas jongkok.
Resep basi menakut-nakuti penonton lain yang digunakan The Secret adalah scoring musik yang dramatis tanpa ampun. Seni menyajikan nuansa seram tanpa musik pengiring memang sulit. Tantangan ini tak diambil oleh Arie Aziz. Ia ingin bermain aman, dan hasilnya memang bikin tak nyaman.
Misteri siapa suster ngesot plus alasan mengapa ia meneror Kanaya dijelaskan di bagian akhir. Saya tidak suka berbagi spoiler, namun khusus kali ini saya merasa perlu mengupasnya, dan lagi-lagi disebabkan oleh alur cerita yang tak logis serta terlalu dipaksakan.
Lala adalah 'anak indigo' yang tahu jika Marsha adalah arwah yang sudah meninggal, namun ia tak memberi tahu Kanaya. Marsha sebenarnya suster di RS tempat Kanaya dirawat, yang pada malam kecelakaan terjadi ditabrak oleh Kanaya. Kanaya yang sedang tak fokus berkendara tidak melihat Marsha dengan jelas, kecelakaan terjadi, dan jatuh pingsan.
Saat Tedi datang menyelamatkan Kanaya, ia juga melihat Marsha yang sedang sekarat dan meminta pertolongan. Tedi yang ingat pernah berjanji untuk selalu menjaga Kanaya pun bingung. Ia dihadapkan pada dilema untuk memilih menyelamatkan Kanaya atau Marsha.
Kenapa tidak dua-duanya? Entahlah. Mungkinkah karena Tedi memakai mobil sport yang cuma bisa muat dua orang?
Didorong oleh rasa cinta yang luar biasa besar agar Kanaya tidak berurusan dengan aparat, Tedi juga memutuskan untuk tidak menghubungi ambulans, pihak rumah sakit, atau kepolisian.
Apakah Marsha ditinggalkan begitu saja? Tidak. Marsha kemudian diseret ke sebuah area pemakaman untuk dikubur hidup-hidup.
Tedi tiba-tiba saja sudah memakai mantel ponco dan menggenggam sekop. Dari mana ia dapatkan sekop itu? Entahlah. Kenapa kebetulan ada kuburan di dekat lokasi kecelakaan? Tidak tahu. Demi nuansa angker, barangkali. Di mana Kanaya saat kejadian ini berlangsung? Sudah di RS? Atau jika masih pingsan di mobil?
Ketika Tedi sedang asyik menggali lubang, Marsha berusaha kabur. Tedi tahu, lalu mematahkan kakinya. Kenapa tidak dibikin tidak pingsan dengan pukulan di kepala saja? Tentu saja tidak, sebab selain kurang dramatis, nanti kalau Marsha jadi hantu, dia pasti tidak akan ngesot. Terlalu maksa? Mau tak mau, jika tidak ingin mengkhianati judul film.
Di akhir cerita, Kanaya sendiri menjelaskan bahwa Marsha meneror dirinya untuk memancing Tedi ke vila, agar Marsha bisa balas dendam. Kenapa Marsha tidak langsung balas dendam ke Tedi? Sepanjang film, teror Marsha hanya ke Kanaya, Lala dan beberapa petugas RS. Tidak ke Tedi, sebab Tedi sendiri sampai beberapa kali menenangkan Kanaya bahwa yang dilihatnya hanya halusinasi.
Geregetan enggak sih?
Pada akhirnya Raffi hanya buang-buang duit. Waktu penayangannya The Secret saja sudah tidak tepat karena muncul bersamaan dengan Avengers: Infinity War, blockbuster terbaru Marvel yang pertengahan pekan ini menguasai hampir 90 persen slot tayang di beberapa jaringan bioksop.
Ada kemungkinan The Secret akan berakhir tragis seperti film Raffi sebelumnya, Rafathar (2017). Rafathar menghabiskan biaya belasan miliar rupiah untuk penggunaan teknologi motion capture dan Computer Generated Imagery (CGI), tapi tak mencapai target jumlah penonton yang diharapkan.
Apa Raffi tidak belajar dari pengalaman sebelumnya? Yang jelas, amat disayangkan jika melimpahnya modal Raffi tidak dipakai untuk memajukan perfilman Indonesia, yakni dengan lebih serius menjajaki sineas yang diajak kerja sama, pemilihan tema, penjajakan tokoh dan karakter, penulisan naskah, scoring, hingga proses editing.
Kecuali memang Raffi tak pernah mempermasalahkan rugi. Yah, namanya saja “horraang kayaaahh..”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf